web analytics
Connect with us

Opini

Menjaga Kehormatan Suami; Kewajiban Siapa?

Published

on

perempuan dan laki laki

Rindang Farihah

Oleh : Rindang Farihah (Direktur Mitra Wacana Periode 2013 – 2017)

Sebagai anak perempuan, sejak kecil kita dididik menjadi orang yang manut, berpenampilan lembut, dan pandai menjaga kehormatan keluarga.  Pun demikian ketika kita menjadi seorang isteri. Untuk mencapai label isteri yang baik, seorang perempuan harus taat kepada suami, selalu mengiyakan segala yang menjadi keputusan suami.

Mengiyakan, di antaranya termasuk mematuhi setiap larangan suami, bersedia dimadu (dipoligami), juga berdiam diri ketika menerima kekerasan fisik seperti pemukulan. Perempuan tidak diijinkan keluar rumah tanpa ijin suami, meskipun itu pulang ke rumah orangtuanya. Perempuan akan disalahkan ketika dia pulang ke rumah orangtua tanpa didampingi suaminya. Perempuan juga tabu untuk menceritakan persoalan rumah tangganya kepada orang lain.

Pandangan-pandangan di atas merupakan pandangan yang umum berlaku di masyarakat kita yang dipengaruhi oleh pemaknaan pada teks-teks agama. Sehingga, perempuan yang mampu menyimpan rapat-rapat persoalan rumah tangganya dan menaati seluruh keputusan suami meskipun itu tidak adil bagi dirinya adalah perempuan saleh dan terhormat.

Teks-teks berikut merupakan rujukan dan tuntutan bagi perempuan untuk taat kepada laki-laki atau suami. Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 34 “arrijalu qowwamuna ala annisa…” selama ini dimaknai laki-laki adalah pemimpin perempuan. Selanjutnya kita juga menemui kata “…wadhribuuhunna….”  Yang artinya ‘dan pukullah mereka’, teks yang banyak dirujuk tentang kebolehan seorang suami melakukan pemukulan terhadap isteri ketika dianggap membangkang (nusyuz). Di dalam ayat yang sama juga terdapat kalimat “….Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” Teks ini banyak dipakai sebagai dasar mewajibkan isteri menjaga kehormatan suami. Teks inilah yang menjadi rujukan bahwa para isteri harus berdiam diri di rumah (meskipun mereka sedang menghadapi persoalan yang harus diselesaikan di luar rumah).

Praktek Konseling dalam Menyelesaikan Persoalan Rumah Tangga

Konseling adalah sebuah upaya yang biasa dipakai ketika seseorang mengalami persoalan dan kebuntuan dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Dalam kasus tertentu, konseling ditujukan untuk membantu meringankan seseorang dari rasa trauma akibat situasi yang pernah dideritanya. Konseling sangat dibutuhkan perempuan terutama dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Menceritakan permasalahan yang bersifat pribadi, menceritakan secara detail tidak bisa dihindarkan dalam praktek konseling. Praktek demikian sangat dibutuhkan apalagi jika kita tahu bahwa ada banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kasus kekerasan seksual yang sulit dibuktikan oleh korban. Bahkan termasuk kasus perkosaan dalam rumah tangga (marital rape) yang dialami oleh isteri akibat kelainan perilaku seksual suami. Sering kali isteri harus menyimpan sendiri penderitaannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga kehormatan suami di masyarakat dan demi menjaga keutuhan rumah tangga.

Sedangkan kita tahu dampak dari kekerasan dalam rumah tangga dan marital rape tidak hanya luka secara fisik namun juga psikis. Luka fisik mungkin lebih mudah disembuhkan, namun luka psikis tidak, bahkan butuh proses yang panjang. Dalam luka psikis, korban mengalami trauma, depresi, yang jika dibiarkan berlarut-larut dapat menimbulkan situasi di mana korban kekerasan menganggap kekerasan sebagai sebuah hal yang normal. Tak jarang persoalan ini menambah mata rantai kekerasan pula dalam bentuk ‘reproduksi kekerasan’, di mana korban kemudian turut menjadi pelaku kekerasan. Misal ‘pelampiasan’ dalam bentuk kekerasan terhadap anak.

Betulkah Menjaga Kehormatan Suami adalah Tugas Isteri?

Sebuah pernikahan pada dasarnya dibangun atas dasar cinta, kebersamaan dengan komitmen atau niat ibadah mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Jika masing-masing pihak menyadari tentang pentingnya komitmen ini, maka konflik dalam rumah tangga (bahkan yang berujung pada perceraian sekalipun) bisa diminimalisir.

Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 187 disebutkan “…Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka”.  Ayat tersebut secara mafhum dan manthuq baik laki-laki maupun perempuan sama-sama disebut.  Dalam ayat tersebut keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pakaian dalam hal ini kita maknai bukan baju dalam makna sebenarnya, melainkan sikap saling melindungi, mengasihi, menutup aib masing-masing dengan tidak mengumbarnya kepada orang lain, dan hal-hal lain yang berorientasi pada sakinah mawaddah wa rahmah. Tentunya hal ini tidak akan mungkin tercapai jika tidak ada rasa kebersamaan, kesetaraan, dan keadilan dalam bangunan relasi keduanya.

Lalu bagaimana ketika terjadi konflik di antara keduanya? Al-Qur’an  surah an-Nisa ayat 35 mengungkapkan, “jika terjadi perselisihan hendaklah  mendatangkan hakim dari kedua belah pihak (suami dan isteri) Fungsi hakim ini bisa menjadi penengah agar mereka mencapai kata damai (islah). Hakim akan memerankan fungsi konselor (melakukan konseling) dalam proses merujukkan keduanya.

Suami dan isteri memiliki kewajiban yang sama dalam menjaga kehormatan diri dan rumah tangga. Baik di dalam maupun di luar rumah. Mereka wajib secara bersama-sama menahan diri untuk tidak saling mengumbar kejelekan dan kelemahan satu sama lain.  Dalam mencapai sebuah kemaslahatan semua upaya harus dilakukan. Sebagai bagian dari ikhtiar menggali dan menyelesaikan persoalan, kegiatan konseling menjadi alternatif penting dilakukan. Konseling karenanya adalah sebuah jembatan untuk mencapai hakikat ibadah pernikahan yakni salah satu ibadah dan proses membangun ketakwaan diri sebagai hamba kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bi asshowab

Opini ini juga tayang di website Fatayat DIY  https://fatayatdiy.com/menjaga-kehormatan-suami-kewajiban-siapa/

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

25 Juta Jiwa Jadi Korban Perdagangan manusia

Published

on

Pegiat Mitra Wacana

   Wahyu Tanoto

Oleh Wahyu Tanoto

Perdagangan manusia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang maha serius dan bersifat global. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia adalah “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan cara seperti ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lainnya. Pemaksaan, penculikan, penipuan atau penipuan untuk tujuan eksploitasi.” Eksploitasi tersebut dapat berupa kerja paksa, perbudakan, pelacuran, atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Rumit dan Multidimensi

Perdagangan manusia adalah masalah yang terbilang rumit dan multidimensi. Pelakunya boleh jadi berasal dari berbagai latar belakang, termasuk individu, kelompok, atau bahkan organisasi. Korban perdagangan manusia juga berasal dari berbagai latar belakang, termasuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak.

Merujuk United Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Labour Office (ILO), terdapat hampir 25 juta korban; perempuan, laki-laki dan anak-anak di seluruh dunia untuk tujuan eksploitasi seksual dan kerja paksa. Karenanya, perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan menargetkan kelompok rentan seperti migran, serta pengungsi pada khususnya. Salah satu tren yang paling memprihatinkan adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang menjadi korban, meningkat tiga kali lipat dalam 15 tahun. Kejahatan ini dilaporkan menghasilkan lebih dari $150 miliar per tahun di seluruh dunia. Hal ini semakin dianggap sebagai masalah keamanan global karena memicu korupsi, migrasi tidak teratur, dan terorisme.

Pada 2023, Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan besar dalam mengatasi kasus Tindak Pidana Perdagangan manusia (TPPO). Menurut data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), mencatat dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO yang dilaporkan. Dari data tersebut  menunjukkan sebanyak 96% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak

Bahkan, yang paling gres sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman (ferienjob) pada Oktober sampai Desember 2023. Diadaptasi dari Tempo.co, perihal kronologi kejadiannya, para mahasiswa mendapat sosialisasi dari CVGEN dan PT. SHB. Mereka dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000, dan membayar 150 Euro untuk membuat LOA (Letter of Acceptance).

Dampak yang mengerikan

Perdagangan manusia memiliki dampak yang menghancurkan bagi korban. Mereka, para korban perdagangan manusia kerapkali mengalami kekerasan fisik, psikologis, seksual (termasuk di ranah luring). Mereka juga mengalami kerugian ekonomi dan sosial.

Meskipun perdagangan manusia merupakan masalah yang bersifat global, namun, hal ini sering kali terlupakan dan luput dari perhatian. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ketidaktahuan masyarakat tentang perdagangan manusia, termasuk: (1) Perdagangan manusia sering terjadi di belakang layar dan sulit dideteksi; (2) Korban perdagangan manusia kerap takut untuk bersuara dan melapor; (3) Masyarakat sering tidak menyadari bahwa perdagangan manusia sebagai masalah serius yang bisa menimpa siapa saja; (4) Peraturan perundangan-undangan dan kebijakan belum sepenuhnya dipahami oleh semua lapisan masyarakat, dan (5) Bentuk dan upaya pencegahan biasanya  dianggap seremonial.

Upaya Negara

Untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum. Upaya-upaya tersebut diantaranya mencakup: 1) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang perdagangan manusia, 2) Peningkatan dukungan bagi korban perdagangan manusia.  3) Peningkatan upaya penegakan hukum untuk memerangi perdagangan manusia.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah perdagangan manusia. Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan manusia. Undang-undang tersebut didukung oleh pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan manusia melalui ditetapkannya Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008.

Meskipun begitu, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah perdagangan manusia di Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban mengoptimalkan pencegahan, pemantauan berkala, mengimplementasikan penegakan hukum, dan berkolaborasi dengan warga masyarakat demi meningkatnya kesadaran tentang kerentanan, bahaya dan dampak perdagangan manusia. Hadirnya organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap isu perdagangan manusia memang relatif belum massif, namun, pemerintah perlu memberikan apresiasi terhadap mereka yang telah berkontribusi-memiliki kepedulian-untuk memerangi perdagangan orang. ***

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending