web analytics
Connect with us

Opini

Menebar Spirit Hari Ibu Bagi Perlindungan Buruh Migran

Published

on

mothers day
Titik Istiyawatun Khasanah

Titik Istiyawatun Khasanah

Oleh Titik Istiyawatun Khasanah

Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember sesungguhnya mengandung makna penting tidak saja bagi perempuan tetapi juga seluruh bangsa. Kongres Perempuan Indonesia I merupakan peristiwa penting dalam sejarah bangsa ini yang menjadi tonggak bagi ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Agenda-agenda penting dibahas dan diperjuangkan dalam kongres yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 dan dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera tersebut.

Di dalamnya, perempuan berjuang untuk mendapatkan kesempatan yang sama merebut kemerdekaan dan terlibat dalam berbagai aspek pembangunan bangsa. Issue mengenai perdagangan anak-anak dan perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan dibahas pada kongres tersebut. Situasi ini menunjukkan betapa perempuan kala itu telah mampu melepaskan diri dari belenggu patriarkhi, menunjukkan eksistensi dirinya, memiliki kemampuan kritis dan semangat untuk bersatu padu mencapai satu perubahan bermakna bagi bangsa.

Persoalannya, spirit yang terkandung dalam Kongres Perempuan Indonesia I ini seolah terus tereduksi oleh waktu dan kepentingan rejim penguasa. Hari Ibu sepertinya telah mengalami distorsi makna yang cukup signifikan oleh rangkaian domestifikasi terhadap perempuan yang dilakukan penguasa Orde Baru selama 32 tahun. Perempuan menjadi terbelenggu kembali oleh budaya patriarkhi yang seolah sengaja dilanggengkan oleh rejim demi status quo. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan penting dalam masyarakat praktis terbatasi. Sehingga, perempuan menjadi sulit untuk menyuarakan kepentingannya. Akibatnya, persoalan perempuan marak terjadi mulai dari peminggiran perempuan dalam berbagai pengambilan keputusan public, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hingga kekerasan yang dihadapi oleh para buruh migran perempuan.

Derita Buruh Migran Perempuan

Beberapa waktu belakangan ini, media banyak melansir berbagai bentuk kekerasan yang menimpa para buruh migran perempuan kita. Nasib tragis banyak dialami mereka, mulai dari kekerasan seksual, tidak menerima gaji, terancam hukuman mati, hingga eksekusi hukuman pancung. Masih lekat dalam benak kita bagaimana penderitaan keluarga Ruyati, buruh migran perempuan asal Sukatani Bekasi yang menerima hukuman pancung pada 18 Juni 2011 lalu karena dituduh membunuh majikannya. Juga Kikim Komalasari yang dibunuh oleh majikannya, Satinah asal Semarang, Tuti Tursilawati asal Majalengka, Tarsini, yang kesemuanya terancam hukuman mati di negara tempat mereka bekerja.

Ketika dilihat lebih dalam lagi, penderitaan yang dialami oleh para buruh perempuan kita tersebut sebenarnya telah dimulai sejak mereka berada di dalam negeri. Mereka tergiur untuk bekerja di luar negeri karena kondisi yang memaksa dalam keluarganya. Kemiskinan menjadi satu dorongan kuat mengapa mereka memutuskan untuk bekerja sebagai buruh migran. Persoalan KDRT seperti yang dialami oleh Satinah, juga merupakan factor pendorong kuat dalam hal ini. Akibat ditinggalkan oleh suaminya, Satinah terpaksa harus menghidupi keluarganya sendirian. Sehingga tidak ada pilihan lain baginya selain menerima tawaran bekerja ke luar negeri demi untuk bertahan hidup.

Bukan itu saja, dari pengalaman bekerja penulis dengan masyarakat di akar rumput, terlihat betapa banyak buruh migran perempuan kita mengalami penderitaan berlipat. Eksploitasi ekonomi tidak hanya dilakukan oleh majikan mereka, tetapi juga oleh pasangan mereka di rumah. Pada saat para buruh migran perempuan ini sedang berjuang memperpanjang nafas keluarga, mereka harus mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Belenggu budaya yang mengunggulkan laki-laki merupakan biang dari segala penderitaan yang dialami oleh para buruh migran perempuan. Konstruksi dan stigma bahwa perempuan adalah sosok yang lemah menjadikan mereka rentan mengalami kekerasan. Konstruksi ini pula yang mengakibatkan banyak di antara para buruh migran kita mengalami penderitaan berlipat. Di tempat kerja, kekerasan seksual dan fisik mengancam mereka. Sementara di saat yang sama, pasangan yang ditinggalkannya di rumah berpotensi menjadikan mereka sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Parahnya, negara sebagai pihak yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka pun hingga saat ini belum bisa menjalankan fungsinya secara optimal.

Spirit Hari Ibu Membebaskan Derita buruh Migran Perempuan

Melihat penderitaan yang dialami oleh para buruh migran perempuan tersebut, sudah menjadi tuntutan agar persoalan ini segera bisa diatasi. Banyaknya kasus kekerasan yang dialami para buruh migran kita, menunjukkan betapa negara hingga saat ini belum cukup mampu menangani persoalan yang ada. Benar bahwa banyak kebijakan dan tindakan telah dilakukan, mulai dari penertiban administrasi pemberangkatan TKI hingga moratorium. Hanya saja, di banyak tempat, pelaksanaan dari kebijakan yang ada masih kurang optimal. Seperti dalam pengurusan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Sepertidilansir oleh Kedaulatan Rakyat pada September lalu, proses penerbitan KTKLN di Cilacap misalnya, masih demikian rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Mereka arus mondar mandir ke satu ruangan ke ruangan lain untuk menanyakan prosedur yang jelas mengurus KTKLN. Itu baru persoalan administratif. Dalam hal yang lebih substantif, berkaitan dengan bargaining position pemerintah kita terhadap pemerintah tempat para buruh migran kita bekerja juga masih cenderung kurang. Hal ini nampak pada banyaknya eksekusi hukuman mati yang dialami oleh para pekerja migran kita.

Sudah saatnya negara meningkatkan kapasitas diplomasinya juga kapasitas membongkar mafia penyalur tenaga kerja yang mengakibatkan tingginya kekerasan terhadap buruh migran. Negara juga harus segera meningkatkan komitmennya memberantas tindakan-tindakan korup aparat yang mengakibatkan terjadinya berbagai tindakan pemalsuan dan penipuan terhadap para buruh migran yang pada gilirannya berakibat pada kekerasan di negara tempat mereka bekerja.

Pada tingkatan masyarakat, penting bagi kelompok-kelompok perempuan hingga akar rumput merubah paradigma gerakannya menjadi lebih substantif. Spirit Kongres Perempuan tahun 1928 sudah semestinya menjadi pendorong bagi munculnya gerakan yang lebih bermakna. Dalam konteks perlindungan terhadap buruh migran perempuan, penting bagi kelompok-kelompok perempuan untuk melakukan gerakan yang memberdayakan, mulai dari transformasi informasi mengenai bagaimana agar menjadi buruh migran yang aman, melakukan penguatan ekonomi, hingga berdialog dengan penyelenggara negara untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap buruh migran perempuan serta melakukan upaya pencegahan agar kasus-kasus kekerasan terhadap buruh migran tidak semakin meluas.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

25 Juta Jiwa Jadi Korban Perdagangan manusia

Published

on

Pegiat Mitra Wacana

   Wahyu Tanoto

Oleh Wahyu Tanoto

Perdagangan manusia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang maha serius dan bersifat global. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia adalah “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan cara seperti ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lainnya. Pemaksaan, penculikan, penipuan atau penipuan untuk tujuan eksploitasi.” Eksploitasi tersebut dapat berupa kerja paksa, perbudakan, pelacuran, atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Rumit dan Multidimensi

Perdagangan manusia adalah masalah yang terbilang rumit dan multidimensi. Pelakunya boleh jadi berasal dari berbagai latar belakang, termasuk individu, kelompok, atau bahkan organisasi. Korban perdagangan manusia juga berasal dari berbagai latar belakang, termasuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak.

Merujuk United Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Labour Office (ILO), terdapat hampir 25 juta korban; perempuan, laki-laki dan anak-anak di seluruh dunia untuk tujuan eksploitasi seksual dan kerja paksa. Karenanya, perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan menargetkan kelompok rentan seperti migran, serta pengungsi pada khususnya. Salah satu tren yang paling memprihatinkan adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang menjadi korban, meningkat tiga kali lipat dalam 15 tahun. Kejahatan ini dilaporkan menghasilkan lebih dari $150 miliar per tahun di seluruh dunia. Hal ini semakin dianggap sebagai masalah keamanan global karena memicu korupsi, migrasi tidak teratur, dan terorisme.

Pada 2023, Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan besar dalam mengatasi kasus Tindak Pidana Perdagangan manusia (TPPO). Menurut data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), mencatat dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO yang dilaporkan. Dari data tersebut  menunjukkan sebanyak 96% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak

Bahkan, yang paling gres sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman (ferienjob) pada Oktober sampai Desember 2023. Diadaptasi dari Tempo.co, perihal kronologi kejadiannya, para mahasiswa mendapat sosialisasi dari CVGEN dan PT. SHB. Mereka dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000, dan membayar 150 Euro untuk membuat LOA (Letter of Acceptance).

Dampak yang mengerikan

Perdagangan manusia memiliki dampak yang menghancurkan bagi korban. Mereka, para korban perdagangan manusia kerapkali mengalami kekerasan fisik, psikologis, seksual (termasuk di ranah luring). Mereka juga mengalami kerugian ekonomi dan sosial.

Meskipun perdagangan manusia merupakan masalah yang bersifat global, namun, hal ini sering kali terlupakan dan luput dari perhatian. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ketidaktahuan masyarakat tentang perdagangan manusia, termasuk: (1) Perdagangan manusia sering terjadi di belakang layar dan sulit dideteksi; (2) Korban perdagangan manusia kerap takut untuk bersuara dan melapor; (3) Masyarakat sering tidak menyadari bahwa perdagangan manusia sebagai masalah serius yang bisa menimpa siapa saja; (4) Peraturan perundangan-undangan dan kebijakan belum sepenuhnya dipahami oleh semua lapisan masyarakat, dan (5) Bentuk dan upaya pencegahan biasanya  dianggap seremonial.

Upaya Negara

Untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum. Upaya-upaya tersebut diantaranya mencakup: 1) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang perdagangan manusia, 2) Peningkatan dukungan bagi korban perdagangan manusia.  3) Peningkatan upaya penegakan hukum untuk memerangi perdagangan manusia.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah perdagangan manusia. Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan manusia. Undang-undang tersebut didukung oleh pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan manusia melalui ditetapkannya Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008.

Meskipun begitu, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah perdagangan manusia di Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban mengoptimalkan pencegahan, pemantauan berkala, mengimplementasikan penegakan hukum, dan berkolaborasi dengan warga masyarakat demi meningkatnya kesadaran tentang kerentanan, bahaya dan dampak perdagangan manusia. Hadirnya organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap isu perdagangan manusia memang relatif belum massif, namun, pemerintah perlu memberikan apresiasi terhadap mereka yang telah berkontribusi-memiliki kepedulian-untuk memerangi perdagangan orang. ***

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending