Berita
Prostitusi Waria Ada karena Laki-Laki Heteroseksual
Published
5 years agoon
By
Mitra WacanaOleh : Masthuriyah Sa’dan (Peneliti dan Anggota Fatayat NU DIY)
Akhir pekan Juli 2019, tepat ketika malam yang dingin di Kota Yogyakarta, saya bersama Maria Sattwika, mahasiswa magister International Institute of Social Studies di Erasmus University Rotterdam Belanda, menikmati segelas teh panas bersama kawan seorang waria.
Komunitas waria, baik muslim atau nonmuslim, di Yogyakarta adalah bagian dari relasi pertemanan saya. Dengan mereka, hidup saya lebih berwarna. Karena kehadiran mereka memperkaya perspektif dan paradigma berpikir saya tentang relasi sosial bahwa manusia itu beragam; ada perempuan, laki-laki, dan ada di antara kedua-duanya. Obrolan makin hangat manakala kawan waria berbagi pengalaman hidupnya dalam hal aktivitas seksual, pekerjaan, dan kebutuhan hidup.
Kawan waria mengatakan, “Pelacuran waria ada karena ada laki-laki heteroseksual yang menikmati tubuh kami, tapi mengapa yang disalahkan hanya kami para waria?” Pertanyaan itu membuat saya terdiam. Saya mencoba berpikir dan bertanya kepada diri sendiri, mengapa dalam kasus prostisusi waria, hanya waria yang mendapat stigma, marginalisasi, dan persekusi? Sedangkan mereka laki-laki heteroseksual berada dalam posisi aman. Seolah-olah kesalahan itu bersumber pada waria secara personal, dan tidak melihat pada sebab-akibat; bahwa pelacuran waria adalah akibat, disebabkan oleh laki-laki heteroseksual.
Tanpa mengeneralisasi bahwa waria adalah Pekerja Seks Komersial (PSK), tulisan ini merupakan dokumentasi sharing pengalaman kawan waria sebagai seorang PSK. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengubah cara pandang mayoritas masyarakat agar adil berpikir dan melihat bahwa persoalan prostitusi waria tidak berdiri tunggal, ia ada karena laki-laki heteroksual yang menjadi faktor (salah satunya).
Mengenal Gayatri
Gayatri adalah nama kawan waria saya (nama samaran). Dia lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Lahir dari keluarga petani dan muslim yang taat. Gayatri adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Sebagai anak pertama, sejak kecil Gayatri sering menggendong dan bermain bersama adik-adiknya. Gayatri melakukan apa yang dilakukan oleh ibunya, mulai dari merawat anak kecil, memasak, mencuci baju, mencuci piring, membersihkan rumah, hingga membantu bertani di sawah.
Menurut Gayatri, ibu Gayatri secara tidak sadar telah memperlakukan Gayatri sebagai seorang perempuan meski dirinya berjenis kelamin laki-laki. Kondisi hidup dan keluarga menuntut Gayatri untuk melakukan ”semua” pekerjaan domestik yang diasosiasikan secara sosial budaya sebagai pekerjaan perempuan. Secara ekonomi, keluarga Gayatri termasuk keluarga miskin. Pendidikan terakhir Gayatri adalah Sekolah Dasar (SD). Pasca usia 12 tahun inilah Gayatri merasa bahwa dirinya bukan laki-laki. Dalam proses pengembaraannya, dengan bermodal bisa baca dan tulis, mengantarkannya hingga sampai ke Kota Yogyakarta.
Hidup di kota tidak semudah seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Bagi Gayatri, Kota Yogyakarta adalah tempat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan sekaligus ruang untuk menunjukkan ekspresi gendernya. Usaha mewujudkan ke arah itu, bagi Gayatri, penuh dengan perjuangan. Tuntutan hidup untuk makan dan bayar kos menuntut Gayatri untuk melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Dengan bemodalkan dandanan minor dan bentuk tubuh yang ”menyerupai” perempuan, Gayatri mengamen di sudut-sudut Kota Yogyakarta, mulai dari Pasar Beringharjo, trotoar Malioboro, lampu merah, kafe-kafe kecil, hingga menjadi PSK.
Cerita Gayatri Menjadi PSK
Dalam sehari, Gayatri mendapatkan uang hasil mengamen antara 50.000 rupiah hingga tidak terhingga. Besar-kecilnya penghasilan dari mengamen, menurut Gayatri, tergantung pada kemujuran (lucky). Jika sedang beruntung, mendapatkan uang banyak; jika sedikit, ya hanya cukup untuk makan sehari dan rokok. Seiring dengan bertambahnya usia, Gayatri menyadari akan kebutuhan hidupnya yang makin meningkat. Mulai dari biaya makan, living kos, perawatan tubuh, pulsa, hingga biaya kesehatan. Desakan kebutuhan tersebut ”menuntut” Gayatri dengan penuh kesadaran untuk melakukan jalan pintas, yaitu kerja minimal tapi penghasilan maksimal.
Satu-satunya pekerjaan yang menjanjikan uang banyak, menurut Gayatri, hanya bekerja di sektor ”esek-esek”, yaitu dunia malam. Pekerjaan menjadi PSK tidak meminta keharusan untuk menyertakan ijazah pendidikan terakhir, skill, pengalaman, persyaratan gender, dan permintaan lainnya yang tidak ”dimiliki” oleh seorang waria seperti Gayatri. Menurut Gayatri, pelanggan PSK waria adalah laki-laki heteroseksual. Mereka berasal dari golongan yang variatif, mulai dari anak sekolahan SMA, mahasiswa, tukang ojek, tukang becak, pedagang kaki lima, pengusaha, hingga pejabat negara.
Uniknya, alasan laki-laki heteroseksual menggunakan jasa seks para waria karena beragam faktor. Ada yang karena ingin nyoba-nyoba, ingin mencicipi nge-seks bersama waria, ingin sensasi seks yang lain, sebagai pelampiasan seks karena ”bosan” dengan istri, ingin ”jajan” dengan harga murah, dan alasan lainnya. Pengakuan Gayatri, tarif PSK waria beragam, bergantung pada kondisi ekonomi pelanggan. Jika pelanggannya adalah laki-laki kelas ekonomi menengah ke bawah bahkan di bawah, maka tarifnya per sekali meong (nge-seks) antara 100.000-200.000 rupiah.
Jika pelanggannya adalah laki-laki menengah ke atas, maka tarifnya bisa naik; tergantung pada kesepakatan antara PSK waria dengan pelanggan.Pengalaman Gayatri, dalam semalam dia bisa mendapatkan pelanggan 1-3 orang laki-laki. Sedikit dan banyaknya pelanggan lagi-lagi bergantung pada faktor keberuntungan. Gayatri mempromosikan dirinya sebagai PSK waria melalui media sosial, yaitu Facebook, Instagram, WeChat, dan berlanjut hingga komunikasi personal di WhatsApp. Brand yang digunakan oleh Gayatri adalah ”Jasa Pijat Plus-Plus”.
Media Sosial adalah satu-satunya media promosi Gayatri untuk mendapatkan customer. Di medsos tersebut, Gayatri mem-publish foto dirinya dengan gaya maksimal, yaitu ber-make up menor, menggunakan baju seperti tank top dan rok/celana di atas lutut. Tampilan foto Gayatri yang terkesan beauty juga didukung oleh kamera HP yang canggih, tentunya dengan harga yang tidak murah. Teman-teman Gayatri di media sosial yang mengomentari foto-fotonya adalah mereka laki-laki heteroseksual. Foto-foto Gayatri menjadi daya tarik tersendiri untuk mendapatkan ”pembeli” sebanyak-banyaknya.
Proses transaksi bermula melalui pesan baik di Inbox Facebook, Direct Message (DM) di Instagram, pesan di WeChat, kemudian mengatur transaksi dan pertemuan di WhatsApp. Setelah disepakati mau bertemu di mana, barulah kemudian Gayatri dan pelanggan bertemu; bayar sesuai harga yang disepakati dan melakukan meong (having sex/one night stand).
Tempat yang biasa digunakan oleh Gayatri adalah hotel-hotel kelas Melati di area sekitaran Kota Yogyakarta, sedangkan jasa menggunakan kamar hotel ditanggung oleh customer. Artinya, Gayatri hanya menerima uang jasa meong, sedangkan laki-laki menanggung jasa meong dan penginapan hotel. Di usia Gayatri yang sudah tidak lagi ”Muda”, yaitu 56 tahun. Gayatri tidak lagi menerima jasa meong seperti dulu ketika ia masih muda. Di samping karena faktor usia, juga karena faktor kesehatan. Maka, menurut pengakuan Gayatri, dalam sebulan dia ”kuat” menerima customer 5-10 orang laki-laki.
Kenapa Pelacur Waria yang Disalahkan?
Pengalaman Gayatri bekerja sebagai PSK juga dialami oleh banyak kawan-kawan waria yang lain. Tuntutan ekonomi untuk hidup dan makan ”memaksa” kawan-kawan waria melakukan sesuatu untuk sekadar bisa bertahan hidup. Ijazah terakhir Gayatri yang tidak laku di bursa kerja ekonomi kapitalis, kemudian penolakan dari keluarga, masyarakat, lingkungan, dan agama, menjadikan persoalan hidup Gayatri menjadi makin kompleks. Padahal tuntutan hidup secara individu terus berjalan.
Ketika Gayatri dan waria yang lain hanya punya satu pilihan lapangan pekerjaan, yaitu sebagai PSK, yang mana pekerjaan itu dalam perspektif mayoritas masyarakat sebagai ”anomali sosial”, maka di situlah kemudian stigma itu melekat kepada waria. Seolah-olah pelacuran waria itu ada karena waria sendiri. Padahal waria tidak akan menjadi PSK manakala keluarga, masyarakat, dan pemerintah memberikan akses pekerjaan positif kepadanya. Tetapi faktanya, hampir semua lini pekerjaan yang dianggap ”keren” oleh masyarakat, waria tereliminasi.
Di samping itu, pelanggan PSK waria adalah laki-laki heteroseksual. Kondisi hidup PSK waria dengan tuntutannya, ditambah tuntutan seks laki-laki heteroseksual, inilah yang ”dicurigai” melanggengkan praktik prostitusi waria. Itulah kenapa prostitusi waria tumbuh subur karena berjalan beriringan dengan kebutuhan seks laki-laki heteroseksual. Mengutip pertanyaan Gayatri, jika laki-laki heteroseksual yang tidak bisa membatasi nafsunya, mengapa PSK waria yang disalahkan?
Di akhir tulisan ini, saya akan mengutip pendapat Prof. Nur Syam (Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya) dalam buku ”Konsep Tuhan Perspektif Pelacur” (2016) bahwa dunia pelacuran menjadi institusi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan tempat yang menarik para laki-laki untuk menghampirinya. Karenanya, dunia pelacuran akan terus eksis karena selalu ada yang membutuhkan.
Artikel ini sudah terbit di https://www.qureta.com/post/prostitusi-waria-ada-karena-laki-laki-heteroseksual
You may like
Berita
P3A Rengganis melakukan Asistensi Administrasi Organisasi & Analisis SWOT
Published
2 months agoon
31 January 2024By
Mitra WacanaOleh Alfi Ramadhani
Minggu, 28 Januari 2024 P3A Rengganis melakukan Asistensi administrasi organisasi. Dalam pertemuan kali ini dihadiri banyak peserta dari anggota P3A Rengganis, suami, dan bahkan anak-anak anggota karena memang tidak ada batasan atau larangan membawa anggota keluarga. Terlebih lagi karena kegiatan dilakukan di hari Minggu yang merupakan hari keluarga bagi mereka. Jadi selama orang tua melakukan diskusi, anak-anak bermain disekitar lokasi, dengan pengawasan.
Acara dipandu oleh MC yaitu mbak Atun. Meski mbak Atun masih malu-malu, namun akhirnya bersedia menjadi MC. Acara ddibuka dengan berdoa menurut kepercayaan yang dianut, selanjutnya adalah perayaan ketua P3A Rengganis. Dalam Berbagai Bu Sekti merasa senang karena kelompok sangat kompak hadir pada hari ini, bahkan membawa orang-orang ke rumahnya. Ini menampilkan bahwa P3A Rengganis ini adalah keluarga. Mungkin baru pak Harijo dan mas Ari yang mau hadir sebagai suami dari anggota P3A.
Acara selanjutnya adalah Asistensi yang difasilitatori oleh CO. Co menjelaskan apa arti asistensi itu dan tujuan. Setelah itu juga menjelaskan pentingnya kelengkapan administrasi di dalam sebuah kelompok. Setelah berdiskusi, Co menyimpulkan bahwa sebenarnya anggota sudah paham tentang pentingnya kelengkapan administrasi, namun karena kekurangan anggota, sehingga banyak yang mendobel kerjaan. Bu Udi mengatakan bahwa meskipun orangnya sedikit tetapi bisa memberikan semua kebutuhan. Hal ini dinilai positif, karena kualitas kelompok dapat diandalkan. Namun negatifnya adalah jika ada satu atau dua orang saja yang tidak datang, maka akan keteteran. Sehingga, diharapkan anggota lain bisa belajar untuk melakukan tugas-tugas seperti MC dan notulensi.
Melihat banyaknya anggota yang datang pada pertemuan ini, dan masih ada banyak waktu untuk berdiskusi. Bersama menyepakati kepada peserta untuk menganalisis kondisi kelompok. Hal ini juga ditujukan untuk menambah rasa kepemilikan kelompok bagi anggota yang baru.
Sebelum memulai, ada icebreaking terlebih dahulu untuk meningkatkan konsentrasi. Setelah itu anggota dibagian menjadi 2 kelompok dengan berhitung. Setiap kelompok diminta untuk menganalisis kondisi P3A Rengganis dengan SWOT. Setelah itu, setiap kelompok mendiskusikan hasil diskusi mereka. Setiap orang mendapat giliran menyampaikan poin dan menjelaskan poin yang dimaksud. Hal ini bertujuan menumbuhkan rasa percaya diri anggota, terutama yang masih baru dan belum berani untuk menyuarakan pendapat.
Acara dilanjutkan dengan diskusi dan diskusi serta penyampaian pendapat terkait apa yang dipresentasikan kelompok. Acara ditutup oleh CO dan dilanjutkan dengan yang lain-lain. Lain-lain diisi dengan pengumuman dari Bu Sekti tentang acara pembuatan proposal pembudidaya ikan. Selain itu mbak Yuni juga menawarkan program dari kalurahan yang juga tentang pemberian bantuan pengembang ikan.
karena infonya belum lengkap, mbak Yuni diminta untuk mencari info mendaftar sebagai anggota kelompok tersebut. Karena kalau bisa mendapat dua sumber bantuan, maka lebih baik. Selanjutnya acara menentukan lokasi pertemuan bulan depan, yaitu di Bu Atik. Nantinya karena harus melihat kondisi rumah sebelum pemilu.