web analytics
Connect with us

Opini

Press conference

Published

on

Mitra Wacana

Preventing radicalism, extremism and terrorism for village communities, as well as optimising the role of women.

Radicalism, extremism and terrorism (RET) has become a discourse that is sucking up the energy of Indonesia. Discussions about radicalism, extremism and terrorism are not new in Indonesia. Since the beginning of independence, until reformasi, terrorist actions have appeared in various forms, movements as well as counter-terrorism policies. During the period of the old order, the government approached security in a way that subverted the law. The new order period wasn’t much different, with the government just to emphasise security and strengthening intelligence operations. Meanwhile in the reformasi period, there are significant differences, people are able to freely express their opinion, the government has become a democracy, and a human rights perspective is used in influencing policy, and law enforcement. This was symbolised with the creation of Law 15, 2003, about Eradicating Terrorists Acts, after the 2002 Bali Bomb tragedy.

The National Agency of Counter Terrorism notes that having a radical attitude and understanding alone does not necessarily make a person fall into the ideology and acts of terrorism. There are other factors that cause a person to join in with terrorism networks. First, domestic, that is situation and conditions in the country, such as poverty, injustice or feeling dissatisfied with the government. Second, international influence, namely the influence of the foreign environment that provides the impetus for the growth of religious sentiments such as global injustices, arrogant foreign policy, and modern imperialism in other countries. Third, cultural factors that are linked with not having a comprehensive understanding of religion, and textual scripture interpretation. Radical attitudes are often motivated by the above factors, and are often the reasons people will choose to join in a terrorism network as well as commit terrorist actions.

Sharing knowledge to audiences about the dangers of RET, its roots, impacts and the scope of it is one of the methods to prevent the spread of networks, and the dangers of RET. Besides this thing, preventing RET through various methods is done through including all of the elements, either instituational or village communities, as well as optimising womens groups, especially those that are in the village. Remember, at this moment the village is suspected to become a new recruiting groud for groups or people that want to spread radical ideas.

Mitra Wacana WRC notes that there are two important issues that need to be addressed in the prevention of radicalism, extremism and terrorism, starting from the village, as well as encouraging the optimisation of the role of womens groups in the village. First, Mitra Wacana WRC encourages village governments to start including RET prevention programs to be discussed in village development planning meetings, so that the community is increasingly alert and aware of the importance of preventing the spread of radicalism. Second, to encourage all elements of society to not ignore the role of women’s groups. Women have shown that they have the ability to strongly consolidate either in organisations, groups or activities that include their communities. For example, at this moment there are 9 villages that have an organisation known as Children and Women’s Learning Center (P3A) that is supported by Mitra Wacana WRC. Through these P3A we have seen that there is the potential to include them as conveyors of the message about preventing RET.

There are several goals from carrying out this seminar, such as; First, describing the results of Mitra Wacana WRC’s research, which was carrried out in 3 District of Kulonprogo Regency about the potential for village resilience to tackle RET and discuss a prevention model through community organizing. Second, to share information about the importance of preventing RET. Third, describe the RET prevetion strategy in Kulonprogo regency. Fourth, optimise the role of women in preventing RET.

In this, Mitra Wacana WRC feels we need a role in carrying out RET prevention measures, through activities that are aimed to create awareness, caring and increase the capacity of society in the village through seminars, public campaigns, cadre training as well as distributing RET prevention material. Mitra Wacana WRC views it as necessary that there are cadres in the village, especially women’s groups that have been supported so that they consider, and understand the message, and we also aim to build their resilience so that they are not impacted by unfriendly religious discourse, and the presence of violent actions.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

25 Juta Jiwa Jadi Korban Perdagangan manusia

Published

on

Pegiat Mitra Wacana

   Wahyu Tanoto

Oleh Wahyu Tanoto

Perdagangan manusia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang maha serius dan bersifat global. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia adalah “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan cara seperti ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lainnya. Pemaksaan, penculikan, penipuan atau penipuan untuk tujuan eksploitasi.” Eksploitasi tersebut dapat berupa kerja paksa, perbudakan, pelacuran, atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Rumit dan Multidimensi

Perdagangan manusia adalah masalah yang terbilang rumit dan multidimensi. Pelakunya boleh jadi berasal dari berbagai latar belakang, termasuk individu, kelompok, atau bahkan organisasi. Korban perdagangan manusia juga berasal dari berbagai latar belakang, termasuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak.

Merujuk United Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Labour Office (ILO), terdapat hampir 25 juta korban; perempuan, laki-laki dan anak-anak di seluruh dunia untuk tujuan eksploitasi seksual dan kerja paksa. Karenanya, perdagangan manusia merupakan pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan menargetkan kelompok rentan seperti migran, serta pengungsi pada khususnya. Salah satu tren yang paling memprihatinkan adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang menjadi korban, meningkat tiga kali lipat dalam 15 tahun. Kejahatan ini dilaporkan menghasilkan lebih dari $150 miliar per tahun di seluruh dunia. Hal ini semakin dianggap sebagai masalah keamanan global karena memicu korupsi, migrasi tidak teratur, dan terorisme.

Pada 2023, Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan besar dalam mengatasi kasus Tindak Pidana Perdagangan manusia (TPPO). Menurut data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), mencatat dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO yang dilaporkan. Dari data tersebut  menunjukkan sebanyak 96% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak

Bahkan, yang paling gres sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman (ferienjob) pada Oktober sampai Desember 2023. Diadaptasi dari Tempo.co, perihal kronologi kejadiannya, para mahasiswa mendapat sosialisasi dari CVGEN dan PT. SHB. Mereka dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000, dan membayar 150 Euro untuk membuat LOA (Letter of Acceptance).

Dampak yang mengerikan

Perdagangan manusia memiliki dampak yang menghancurkan bagi korban. Mereka, para korban perdagangan manusia kerapkali mengalami kekerasan fisik, psikologis, seksual (termasuk di ranah luring). Mereka juga mengalami kerugian ekonomi dan sosial.

Meskipun perdagangan manusia merupakan masalah yang bersifat global, namun, hal ini sering kali terlupakan dan luput dari perhatian. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ketidaktahuan masyarakat tentang perdagangan manusia, termasuk: (1) Perdagangan manusia sering terjadi di belakang layar dan sulit dideteksi; (2) Korban perdagangan manusia kerap takut untuk bersuara dan melapor; (3) Masyarakat sering tidak menyadari bahwa perdagangan manusia sebagai masalah serius yang bisa menimpa siapa saja; (4) Peraturan perundangan-undangan dan kebijakan belum sepenuhnya dipahami oleh semua lapisan masyarakat, dan (5) Bentuk dan upaya pencegahan biasanya  dianggap seremonial.

Upaya Negara

Untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum. Upaya-upaya tersebut diantaranya mencakup: 1) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang perdagangan manusia, 2) Peningkatan dukungan bagi korban perdagangan manusia.  3) Peningkatan upaya penegakan hukum untuk memerangi perdagangan manusia.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah perdagangan manusia. Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan manusia. Undang-undang tersebut didukung oleh pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan manusia melalui ditetapkannya Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008.

Meskipun begitu, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah perdagangan manusia di Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban mengoptimalkan pencegahan, pemantauan berkala, mengimplementasikan penegakan hukum, dan berkolaborasi dengan warga masyarakat demi meningkatnya kesadaran tentang kerentanan, bahaya dan dampak perdagangan manusia. Hadirnya organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap isu perdagangan manusia memang relatif belum massif, namun, pemerintah perlu memberikan apresiasi terhadap mereka yang telah berkontribusi-memiliki kepedulian-untuk memerangi perdagangan orang. ***

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending