Pernikahan dini masih menjadi masalah yang kerap di bicarakan saat ini, dalam kata lain pernikahan dini masih sering terjadi dilingkungan desa bahkan kota. Masih ingat dengan berita yang sempat menggemparkan jagat Indonesia, yaitu di Sulawesi Selatan pernikahan sepasang anak SD yang masih berumur 13 tahun dan 14 tahun. Kasus tersebut menambah daftar rentetan pernikahan dini. Pernikahan dini terjadi salah satunya akibat kekerasan dalam pacaran, posisi perempuan yang dianggap lemah dan hamil di luar nikah, sehingga menuntut anak-anak di bawah umur untuk menikah. Namun, ada pula kasus pernihakan dini karena tingkat pendidikan yang relatif rendah, serta minimnya pemahaman akan dampak pernikahan dini pada perempuan dan laki-laki.
Sekolah perempuan perdusun kembali diselenggarakan untuk para perempuan, program kerja ini dirintis oleh Pusat Permbelajaran Perempuan dan Anak (P3A) Pelita Wanita Petuguran (PWP) yang di laksanakan di Kroya, Jombok, Petuguran, Punggelan, Banjarnegara, Jawa Tengah. Acara ini dihadiri oleh ibu-ibu warga Kroya, sekitar 50 orang yang terdiri dari warga dusun, pengurus P3A Serikat Bondolharjo Peduli (Sejoli), Mitra Wacana WRC serta Elvince dan Elay dari AWO Internasional Kantor Regional Manila, Philipina dalam rangka kunjungan lapangan ke Indonesia pada Selasa, (9/10/2017).
Dalam pertemuan ini tema yang dijadikan bahan diskusi adalah Hak Anak dan pencegahan pernikahan usia dini, dimana acara ini para peserta diajak untuk sharing mengenai hak-hak apa saja yang wajib diberikan kepada anak-anak, serta bagaimana pencegahanan pernikahan dini pada anak.
Dalam sekolah perempuan per-dusun kali ini, warga masyarakat khususnya di Kroya diminta untuk mewaspadai akibat dan dampak pernikahan dini. Pernikahan dini akan berdampak pada hak pendidikan anak, kesehatan seksual dan reproduksi, munculnya permasalahan pkisis, serta berhentinya sosialisasi anak terhadap teman sebayanya.
Beberapa orang masih ada yang menganggap jika menikahkan anak-anaknya di usia dini, maka beban orang tua khususnya pada masalah ekonomi akan berkurang. Padahal dalam kenyataannya, justru menghilangkan hak anak untuk berproses menuju kemapaman, baik mapan secara psikis, sistem produksi siap untuk di buahi, ekonomi yang memadai dan pemikiran kedewasaan pada anak. (Vitrin/Yani).