web analytics
Connect with us

Seksual dan Reproduksi Berbasis Gender

Bagi yang Menikah

Isu seksual dan reproduksi berbasis gender (SRBG) saling berkaitan. Munculnya konsep gender karena ada kondisi yang menunjukan ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki, yaitu pembagian peran yang belum setara. Perempuan sering kali diidentikkan dengan urusan rumah tangga dan melahirkan, sedangkan laki-laki dianggap sebagai pembuat keputusan dan pencari nafkah utama.

Ketidakadilan gender perlu mendapatkan perhatian karena menimbulkan dampak, antara lain; terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD), perundungan, pernikahan dini dan layanan kesehatan reproduksi yang belum ramah pada perempuan muda.

Ketidakadilan gender juga terjadi dalam hubungan seksual, misalnya penggunaan alat kontrasepsi dalam program KB. Alat kontrasepsi lebih banyak digunakan oleh perempuan dan seolah hanya menjadi tanggung jawabnya. Terjadinya ketidakadilan seperti ini karena dipengaruhi oleh kebiasaan di masyarakat yang menganggap bahwa KB sebagai kewajiban perempuan. Selain itu, Negara dalam menyediakan alat kontrasepsi bagi laki-laki masih terbatas jenisnya.

Untuk menuju kesetaraan dan keadilan gender diperlukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman bagi semua orang baik di tingkat individu, keluarga, institusi dan masyarakat. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman ini dapat diwujudkan salah satunya melalui kesadaran mendukung program Suami Siap Antar Jaga (SIAGA 1). Program ini dalam rangka peningkatan peran aktif suami, keluarga, dan masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan pemakaian alat kontrasepsi.

Hadirnya program suami SIAGA, semestinya disambut dengan gembira sebagai bentuk dukungan mengurangi AKI. Faktor Terlambat menjadi salah satu penyebab munculnya AKI, yaitu terlambat mengambil keputusan. Pengambilan keputusan juga berkaitan dengan kebiasaan keluarga. Semestinya dalam proses persalinan sudah dirundingkan jauh-jauh hari oleh istri, suami dan anggota keluarga agar memiliki kesiapan fisik, mental, dan finansial.

Harapannya, suami memiliki pengetahuan mengenai tanda bahaya selama kehamilan, persalinan, atau nifas, maka sebagai mitra dalam mengambil keputusan dalam keluarga, mengantarkan istri ke fasilitas kesehatan yang memadai. Artinya, ada harapan besar terhadap suami supaya terlibat aktif dalam proses perencanaan kehamilan, persalinan, dan pada masa nifas sehingga dapat tercipta keluarga yang sehat, bahagia, dan sejahtera.

Suami juga penting berpartisipasi dalam pemilihan dan penggunaan alat kontrasepsi. Ketersediaan alat kontrasepsi lebih banyak untuk perempuan daripada alat kontrasepsi bagi laki-laki. Hal ini dikarenakan masyarakat yang masih melihat persoalan reproduksi hanya menjadi urusan perempuan. Menurut BKKBN (2005), bentuk partisipasi pria dalam KB dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: partisipasi secara langsung adalah sebagai peserta KB dengan menggunakan salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan.

Partisipasi pria secara tidak langsung adalah mendukung dalam ber-KB. Dengan cara (1) memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kondisi istrinya, (2) membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti mengingatkan saat minum pil KB, dan mengingatkan istri untuk kontrol, (3) membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupun komplikasi dari pemakaian alat kontrasepsi, (4) mengantarkan istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan, (5) mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan saat ini terbukti tidak memuaskan, (6) membantu menghitung waktu subur, apabila menggunakan metode pantang berkala, dan (7) menggantikan pemakaian kontrasepsi bila keadaan kesehatan istri tidak memungkinkan.

Selain sebagai peserta KB, suami juga dapat berperan sebagai motivator, yang dapat berperan aktif memberikan motivasi kepada anggota keluarga atau saudaranya yang sudah berkeluarga dan masyarakat disekitarnya untuk menjadi peserta KB, dengan menggunakan salah satu kontrasepsi.

Masa Perencanaan Kehamilan

  • Suami dan istri melakukan musyawarah perencanaan kehamilan
  • Suami dan istri melakukan pemeriksaan kesehatan
  • Suami dan istri mempersiapkan kondisi psikis
  • Suami dan istri menjalankan konseling kesehatan genetik serta melakukan konsultasi penggunaan obat-obatan yang berisiko dalam masa kehamilan
  • Suami turut mengetahui (menghitung) masa subur bagi istri
  • Suami dan istri mengonsumsi makanan yang bergizi dan bernutrisi
  • Melakukan musyawarah untuk memilih alat kontrasepsi yang paling cocok dan aman bagi keduanya
  • Suami mengetahui jenis golongan darah istri dan mempersiapkan jika dalam proses
  • persalinan membutuhkan transfusi darah Masa Kehamilan
  • Suami dan istri merencanakan tempat persalinan yang nyaman (contoh: pilihan dokter/ bidan), dan menyiapkan kendaraan yang akan digunakan
  • Suami dan istri menyiapkan tabungan atau dana cadangan untuk biaya persalinan dan biaya lainnya
  • Suami terlibat aktif ketika istri mengakses layanan pemeriksaan kehamilan /Antenatal Care (ANC) terpadu
  • Suami menyiapkan kebutuhan darah sesuai dengan golongan darah istri
  • Suami mengetahui sistem rujukan persalinan
  • Suami turut melakukan rangsangan pada janin dengan cara mengelus-elus perut dan mengajak komunikasi anak
  • Suami mencegah istri melakukan pekerjaan berat atau yang berisiko terhadap ibu dan janin
  • Menghindari makanan dan minuman yang berisiko terhadap ibu dan janin
  • Menghindarkan istri dari paparan asap rokok
  • Suami menciptakan suasana yang menyenangkan seperti: berkata dengan lembut, saling mengingatkan dengan bahasa sopan, memenuhi kebutuhan pribadi sendiri tanpa minta dilayani
  • Suami dan istri menyadari bahwa dalam proses persalinan ada risiko kematian
  • Suami mengetahui tanda-tanda kelahiran (usia kandungan, ketuban pecah lainnya)
  • Suami mengambil alih peran rumah tangga
  • Suami selalu mendampingi istri saat periksa di fasilitas kesehatan

Masa Persalinan

  • Mengambil cuti kerja dan fokus menemani istri
  • Mempersiapkan perlengkapan persalinan untuk ibu dan bayi
  • Memberikan dukungan moril kepada istri
  • Mendampingi istri saat melahirkan
  • Membuat istri tetap tenang dan nyaman ketika proses melahirkan mendampingi dari awal sampai istri melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) Berikan kesempatan keluarga lain mengurus bayi, agar suami tetap mendampingi istri
  • Menciptakan suasana yang menyenangkan. Contoh: mengusap keringat, mengelus tangan, punggung, dahi dan kaki istri
  • Berpikir jernih dan siap mengambil keputusan yang sudah dibicarakan terlebih dahulu dengan istri
  • Ikhlas menerima keadaan janin. Contoh: menginginkan anak laki-laki namun yang lahir anak perempuan
  • Suami mempersiapkan peralatan penyimpanan kebutuhan ASI bagi istri yang bekerja
  • Bertanya dan konsultasi dengan tenaga medis Masa Nifas
  • Suami berperan dalam pemberian ASI eksklusif
  • Pengasuhan bayi tidak hanya menjadi tanggungjawab istri
  • Suami merawat, menjaga istri dan anak
  • Suami mengganti popok, baju, dan selimut bayi di malam hari
  • Suami memandikan bayi
  • Suami menjadi teman ngobrol dan curhat istri
  • Menyediakan alat-alat bagi kebutuhan istri dan bayi
  • Saling mendukung baik istri dan suami dengan kondisi fisik istri setelah melahirkan
  • Belanja dan menyediakan kebutuhan istri selama masa nifas
  • Mengantar dan memeriksakan istri dalam masa nifas minimal (1) kali
  • Memastikan dan mengantar pemberian imunisasi wajib untuk anak
  • Menjaga kebersihan lingkungan selama nifas

Bagi yang belum menikah

Sekitar 33,3% remaja perempuan dan 34,5% remaja laki-laki di Indonesia telah berpacaran sejak di bawah usia 15 tahun. Dari data yang sama, sekitar 19,1% remaja lakilaki dan 2,5% remaja perempuan mengaku telah melakukan hubungan seksual (Survei Kementerian Kesehatan, 2012). Selanjutnya, mari kita lihat kasus kekerasan yang terjadi pada hubungan pacaran.

Kekerasan dalam pacaran (dating violence) adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas. Kekerasan ini merupakan kasus yang sering terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga, namun masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya. Data menunjukkan bahwa 2.090 dari 10.847 kasus kekerasan dilakukan oleh pacar.

Berikut bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dalam pacaran diantaranya yaitu:

Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik yang lain.

Kekerasan emosional atau psikologis seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan lainnya.

Kekerasan ekonomi seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan.

Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman.

Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam. Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjerat dalam bentuk kekerasan pembatasan aktivitas, karena dianggap sebagai hal yang wajar sekaligus bentuk rasa peduli dan rasa sayang dari pasangan.

Upaya meminimalisir terjadinya kekerasan dalam pacaran (KDP), seseorang yang akan menjalin hubungan pacaran sebaiknya memahami terkait pacaran sehat. Pacaran sehat adalah pacaran dengan sikap dan perilaku yang tidak merampas hak satu sama lain. Pacaran yang sehat dapat dilihat dari beberapa aspek, salah satunya adalah kontrak atau perjanjian dalam pacaran yang disetujui oleh kedua belah pihak saat akan memulai sebuah hubungan. Perjanjian tersebut dapat mengatur segala hal diantaranya:

Membayar makanan kewajiban bersama

Faktanya, laki-laki masih menjadi penanggung pendanaan dalam pacaran. Laki-laki seolaholah diwajibkan untuk membayar makanan yang dibeli bersama. Padahal, membayar makanan yang dibeli dan di makan bersama adalah kewajiban bersama, bukan salah satu pihak

Menjemput dan mengantar bukan kewajiban salah satu pihak

Seperti halnya beraktivitas seperti biasa, sebuah pasangan dapat pergi ke suatu tempat tanpa harus dijemput satu sama lain. Laki-laki tidak diwajibkan untuk menjemput dan mengantar.

Menghargai privasi pasangan

Seorang pasangan berhak untuk menyimpan atau membuka privasinya kepada orang lain termasuk kepada pasangannya. Ada banyak hal yang bersifat privasi yang harus dihargai oleh pasangan jika pasangannya tidak menginginkan untuk membukanya. Tindakan menguasai telepon genggam, media sosial, dan sebagainya, termasuk tindakan yang tidak menghargai privasi pasangan.

Pacaran ≠ aktivitas seksual

Ketika menjalin hubungan pacaran, tidak berarti bahwa di dalamnya harus dilakukan aktivitas seksual. Kedua belah pihak dapat menyepakati batasan-batasan agar keduanya saling menghargai kesepakatan yang telah dibuat

Advertisement
Advertisement

Twitter