web analytics
Connect with us

Opini

Stop Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Desa Bondolharjo

Published

on

Dokumentasi Pelatihan Fasilitator P3A di Punggelan Banjarnegara

Oleh Sunarti (P3A SEJOLI Punggelan, Banjarnegara)

Pada bulan Mei tahun 2013 dikumpulkan sebanyak kurang lebih 100 orang dari 2 desa; desa Bondolharjo dan Petuguran. Melibatkan para perangkat desa, PKK, Posyandu, masyarakat dll.Kegiatan tersebut bertempat di bale desa Bondolharjo danbbberisiTentang Sosialisasi tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak oleh MitraWacana yang saat itu CO nya mas Hakim dan Mbak Ovie.Pembicara pada sosialisasi tersebut Bu Devi dari POLRES Banjarnegara. Banyak yang hadir termasuk Pak Kades Bondolharjo dan Petuguran serta para perangkat desa.

Saya kira kegiatan sosialisasi tersebut hanya dilaksanakan pada saat itu saja, ternyata saya mendengar ada survey di dusun atas (Sipoh, Tembelang, Pinisihan) yang dilakukan oleh Tim Mitra Wacana WRC. Dan setelah itu saya mendengar ada kegiatan sekolah perempuan oleh Mitra Wacana WRC.Saat itu saya belum ikut sekolah perempuan, kemudian Bu Mahmudah (istri Kadus Sipoh) mengajak saya untuk ikut sekolah perempuan.Saya pun kemudian ikut dan aktif dalam sekolah perempuan tersebut.

Dari sekolah tersebut saya mendapatkan ilmu dan materi yang banyak seperti Materi dasar tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak, penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, macam dan bentuk-bentuk kekerasan, bahayadandampakkekerasan, mekanismepelayanandanpenanganankasus, public speaking dan lain-lain. Saya dan ibu-ibu di Bondolharjo merasa sangat senang karena mendapatkan pengetahuan yang baru, sejak dulu belum ada yang member informasi atau sosialisasi tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal tersebut membuat matahati dan pikiran kami terbuka tentang kasus-kasus kekerasan yang terjadi di desa Bondolharjo yang sejak dulu hanya didiamkan dan diselesaikan dengan cara damai.

Sejak Mitra Wacana WRC ada di desa Bondolhajo, kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan mulai terbuka sudah ada yang berani melapor.Hal ini membuat kami merasa takut juga karena ilmu, status, serta kepandian kita masih rendah dan belum memiliki pengalaman dalam menangani kasus.Hal inilah yang menjadi kekhawatiran dan ketakutan kami selaku penggerak dan aktivis perempuan dalam SEJOLI yang bergerak dalam bidang perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Hingga pada akhir tahun 2015, satu kasus kekerasan seksual terhadap anak terkuak. Kasus ini mendapat perhatian dari Propinsi sehingga penanganan kasus ini membuat pelaku masuk penjara.Kasus ini menjadi perhatian desa dan masyarakat Bondolharjo, terutama perangkat desa dan kepala desa karena baru kali ini kasus kekerasan sampai masuk pengadilan dan tertangani dengan jalur hukum. Pihak desa merasa dilancangi dan tidak diajak koordinasi dengan pihak-pihak terkait yang melaporkan kasus tersebut. Dari kasus itu membuat pemerintahdesa Bondolharjo tidak begitu suka dengan pergerakan Mitra Wacana WRC dan SEJOLI di Bondolharjo.

Dari kasus tersebut akhirnya membawa dampak banyak para anggota SEJOLI yang berstatus sebagai istri perangkat mengundurkan diri dari SEJOLI . Hal ini membuat SEJOLI menjadi kolaps karena pendukungnya semakin sedikit. Ditambah lagi Pemerintah Desa Bondolharjo yang sampai sekarang belum mendukung SEJOLI membuat perjalanan SEJOLI serta perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan di Bondolharjo menjadi semakin sulit.

Saya sendiri juga sempat putus asa karena beberapa kali audiensi dengan Pemerintah Desa Bondolharjo untuk pengajuan dana, kerjasama dan dukungan gagal, Pemerintah Desa belum mau memberikan dukungan karena melihat SEJOLI masih belum memiliki manfaat bagi desa. Saya dan teman-teman semakin putus asa dengan tanggapan Pemerintah Desa tersebut.Namun mengingat banyak sekali kasus kekerasan di desa Bondolharjo dan korban-ko rban yang musti mendapatkan perlindungan maka kami SEJOLI bertekad untuk terus menngedukasi masyarakat Bondolharjo untuk peduli terhadap sesama untuk mengkampayekan STOP KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dongeng Sepiring Nasi Dalam Tatanan Negara Demokrasi

Published

on

Oleh : Denmas Amirul Haq (Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Islam Malang)

“Sebelum Pesta Demokrasi Mereka Selalu berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada Satupun sungai Disana”. Nikita Krushchev : 1970

Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum yang dilakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, tidak hanya mekanisme penyelenggaraan semata. Oleh karenanya, Pemlilihan umum menjadi suatu rutinitas bagi kebanyakan negara demokrasi, meskipun kadang-kadang praktek politik di negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan Pemilu tetap dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif; sebagai prasyarat prosedural demokrasi.

Tak jarangpula kita sering menemukan Pemilu hanya dijadikan sebagai ajang kompetisi untuk meraih jabatan-jabatan publik, apakah menjadi anggota legisltaif ?, eksekutif ?, atau paling penting menjadi kepala daerah ?, menteri ?, bahkan tak jarang presiden ?. (Puspitasari, 2004)

Ihwal, di Indonesia mulanya pemilihan umum masih banyak dimaknai sebagai realisasi kedaulatan rakyat dan juga dimaknai sebagai sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. Meskipun secara realnya mereka hanya ibarat membangun jembatan yang kadang tak satupun didapati sungai. Buawaian tersebut makin memperkuat bahwa negara demokrasi hanyalah bungkus dari kepentingan yang tersusun rapi untuk mendapatkan suara dan lagitimate rakyat.

Dewasa kini, Hubungan demokrasi dan Pemilu dapat dirangkaikan dalam sebuah kalimat;

“Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu”.

Pemilu menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan demokrasi. Pemilu menjadi sebuah jalan bagi terwujudnya demokrasi. Tetapi mewujudkan pemilu yang demokratis bukanlah pekerjaan mudah sebab hari ini kita ketahui bersama praktek pemilu hanya digunakan sebagai sebuah perhelatan prosedural untuk menggantikan kekuasaan atau untuk membentuk lembaga-Iembaga politik.

Secara prosedural praktek pemilu selanjutnya dibedakan menjadi dua. Sebagai formalitas politik; dan kedua pemilu sebagai alat demokrasi. Meskipun kebanyakan kita jumpai pemilu hanya sebatas formalitas politik, alat legalitas pemerintahan dan yang lebih parah dijalankan dengan cara yang tidak demokratis dengan mahakarya rekayasa demi memenangkan pasangan dan partai politik tertentu.

Bagi bangsa Indonesia, relasi antara pemilu dan demokrasi terletak pada nilai keadilan bagi seluruh kehidupan bernegara yang tecermin dalam Pancasila. Falsafah ini lahir sebagai jawaban atas peristiwa masa lalu; eksploitasi kolonialisme.

Perwujudan itu sejatinya harus ditilik dari subtansi nilai Keadilan meskipun hal inilah yang paling kompleks. Hari ini melalui gelaran pesta demokrasi, kita banyak menyaksikan rakyat yang masih sangat setia melaksanakan amanat konstitusi. Bahkan hingga akar runput  mereka masih sangat teguh menjunjung tinggi moral.

Meskipun faktanya begitu cepat, politisi bersekongkol dengan birokrasi hingga tega menjual kekayaan negara. begitu cepat, aparatur negara gesit menghalalkan segala cara memburu tahta dengan menimbulkan bencana dan angkara murka. Selamat datang di negeri dongeng yang dipenuhi begitu banyak drama pencitraan dan janji. Demkokrasi dalam sepiring nasi adalah benar adanya yang hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki piring sementara bagi rakyat kesejahteraan hanya mimpi yang terus jadi harapan semu.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending