Rilis
1Billion Rising Indonesia

Published
12 years agoon
By
Mitra Wacana
ONE BILLION RISING INDONESIA – BACKGROUNDER *
Apa itu One Billion Rising? Satu dari tiga perempuan di dunia mengalami perkosaan atau kekerasan dalam hidupnya. Satu miliar perempuan menjadi korban kekerasan adalah sebuah kekejaman. Satu miliar perempuan menari adalah sebuah revolusi.
Pada Peringatan ke 15 V-Day, 14 Februari 2013, ONE BILLION RISING Internasional mengundang SATU MILIAR perempuan dan siapa saja yang peduli untuk WALK OUT, MENARI, BANGKIT, dan MENUNTUT penghentian kekerasan terhadap perempuan. ONE BILLION RISING akan menggerakan dunia, mengaktifkan perempuan dan laki-laki di setiap negara. V-Day ingin dunia melihat kekuatan kolektif kita, jumlah kita, dan solidaritas lintas batas kita.
ONE BILLION RISING adalah Gerakan global.
Ajakan untuk menari, Seruan untuk laki-laki dan perempuan untuk menolak berpartisipasi dalam status quo sampai perkosaan dan budaya perkosaan berakhir.
Aksi solidaritas, menunjukkan kepada perempuan tentang kesamaan perjuangan dan kekuatan mereka dalam jumlah. Penolakan untuk menerima kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan sebagai sebuah takdir.
Jaman yang baru dan cara yang baru menjadi manusia.
Mengapa kita bergabung dengan One Billion Rising?
Secara statistik, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tidak jauh berbeda dari segi jumlah. Namun kekerasan terhadap perempuan di Indonesia adalah sebuah fenomena gunung es, dimana hanya sedikit kasus yang terlaporkan secara resmi. Perempuan memilih diam dan tidak melaporkan kasus kekerasan yang menimpa mereka dikarenakan banyak hal: sistem pelaporan dan perlindungan terhadap korban yang tidak berpihak terhadap korban dalam praktek hukum di Indonesia, stigma dan paradigma sosial yang menyalahkan korban kekerasan terutama kekerasan seksual, serta problem-problem psikologis lainnya.
Menurut catatan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2011 ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, dimana 4311 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sepanjang 2011 – 2012, banyak kasus perkosaan yang diberitakan oleh media dan mendapat perhatian dari masyarakat.
Beberapa kasus yang mendapat banyak sorotan adalah kasus perkosaan di angkutan umum yang marak terjadi, salah satunya adalah perkosaan dan pembunuhan terhadap Livia, seorang mahasiswi, oleh lima laki-laki. Oktober tahun lalu, seorang siswi SMP di Depok juga mengalami perkosaan. Saat tulisan ini ditulis, media melaporkan kasus perkosaan terhadap siswi kelas 5 SD (berusia 11 tahun) yang mengalami koma dan akhirnya meninggal dunia.
Kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah krisis global. Terjadi di semua negara di seluruh dunia, terhadap satu di antara tiga perempuan dari berbagai latar belakang yang berbeda. Maka menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama untuk berjuang secara kolektif untuk menghentikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sudah saatnya kita berhenti bersikap tidak peduli, sebab saya, anda, saudara perempuan, ibu, tante, anak perempuan, istri, kekasih kita bisa menjadi korban kapan saja.
Itu sebabya kita, ONE BILLION RISING INDONESIA akan bergabung bersama jutaan perempuan, laki-laki dan semua yang yang peduli untuk bangkit dan berteriak ‘CUKUP SUDAH!” terhadap kekerasan terhadap perempuan.
Apa yang akan kita lakukan di Indonesia?
ONE BILLION RISING INDONESIA akan mengadakan V-Dialogs di beberapa tempat di Jakarta untuk bicara tentang kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana membangun sebuah gerakan untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Selain V-Dialogs, ONE BILLION RISING INDONESIA juga akan mengadakan beberapa screening film.
Sebagai puncaknya, pada tanggal 14 Februari 2013, ONE BILLION RISING INDONESIA akan bergabung dengan One Billion Rising di seluruh dunia untuk menari bersama dan menyerukan Stop Perkosaan dan Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Sedangkan Jogja akan menari di Jalan Malioboro pada tanggal tersebut. Informasi lebih detail akan kami bagikan lewat fan page fb dan twitter.
Bagaimana anda bisa terlibat dalam One Billion Rising Indonesia?
Jika anda ingin terlibat langsung untuk acara-acara One Billion Rising Indonesia (Jakarta), silahkan kirimkan data diri anda (nama lengkap, usia, alamat e-mail, dan nomor telepon) ke vday.id@gmail.com. Anda juga bisa follow Twitter @OBR_Indonesia dan like page Facebook One Billion Rising Indonesia. One Billion Rising-Jogja, yang ingin terlibat silahkan hubungi Tia: 085743554134, Emma: 085234831703 dan selalu ikuti update dari kami lewat twitter @OBRJogja dan like page facebook One Billion Rising Jogja.
Salam,
Witri
* Facebook Kursus Parlemen Perempuan DIY diposting oleh Renny Frahesty
You may like
Publikasi
Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Published
2 days agoon
15 May 2025By
Mitra Wacana
Jumat, 2 Mei 2025 Mitra Wacana berkolaborasi dengan peserta magang YKPI mengadakan diskusi bersama dalam Program Sinau Sareng. Kegiatan yang berlangsung dalam suasana akrab ini mengangkat tema penting dan sering luput dari pembahasan publik: Mitigasi Bencana terhadap Kelompok Rentan yang Inklusif. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alfi Ramadhani, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana, yang membagikan wawasan mendalam tentang pentingnya pendekatan inklusif dalam penanganan kebencanaan.
Diskusi dimulai dengan penjelasan mendasar mengenai klasifikasi bencana. Kak Alfi, sapaan akrab narasumber, menguraikan tiga jenis bencana utama. Pertama adalah bencana alam seperti banjir, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, dan angin topan. Kedua, bencana antropogenik yang bersumber dari ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kecelakaan industri dan konflik peperangan. Ketiga, bencana kompleks, yang merupakan kombinasi dari faktor alam dan manusia, seperti kelaparan, ketimpangan sosial, dan konflik politik.
Menariknya, data menunjukkan bahwa di Indonesia, bencana paling banyak disebabkan oleh faktor hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem—menyumbang sekitar 90% dari total kejadian. Sementara itu, bencana geologi dan antropogenik masing-masing hanya menyumbang sekitar 7% dan 3%. Perbandingan dengan kondisi di belahan dunia lain, seperti di Palestina, menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Di sana, faktor antropogenik seperti konflik bersenjata, krisis politik, dan kemanusiaan memperparah dampak bencana. Bahkan perubahan iklim ekstrem turut menyumbang pada kelangkaan air bersih, yang berdampak luas pada kesehatan, ketahanan pangan, dan kondisi psikologis masyarakat Gaza.
Dari paparan tersebut, semakin jelas bahwa bencana tidak hanya soal alam yang murka. Cara manusia dan sistem sosial menanggapi bencana juga menentukan siapa yang selamat, siapa yang tertinggal. Dalam konteks ini, penanganan bencana yang inklusif menjadi keharusan moral sekaligus strategis.
Sayangnya, dalam praktiknya, kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih sering diabaikan. Mereka kesulitan dalam mengakses bantuan, proses evakuasi, maupun pemulihan pasca-bencana. Kebutuhan spesifik mereka seringkali tak terlihat dalam sistem yang seragam dan tidak responsif terhadap keragaman.
Lebih jauh, orang-orang dengan identitas gender non-normatif kerap mengalami diskriminasi ganda. Selain terdampak bencana, mereka juga menghadapi stigma sosial, keraguan dari pihak berwenang, bahkan penolakan untuk mengakses hak dasar. Infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, informasi yang tidak aksesibel, serta layanan yang bias gender menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari inklusif.
Permasalahan lain yang tak kalah serius adalah minimnya pelibatan kelompok rentan dalam perencanaan mitigasi bencana. Padahal, mereka memiliki pengalaman hidup dan perspektif yang berharga untuk merancang sistem penanggulangan yang lebih adil dan efektif. Ketimpangan dalam distribusi logistik dan layanan hanya akan terus terjadi jika kelompok yang paling terdampak justru tidak dilibatkan sejak awal.
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih berani dan berpihak. Tidak cukup hanya dengan memberi bantuan, pemerintah harus memastikan akses yang setara bagi semua, termasuk kelompok rentan. Pelibatan aktif mereka dalam proses perencanaan hingga evaluasi kebijakan kebencanaan sangat penting untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil. Pemerintah juga harus memastikan bahwa program penanggulangan bencana tidak hanya menjangkau, tetapi juga memberikan manfaat nyata yang setara bagi semua golongan.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal teknis dan logistik, melainkan juga tentang keadilan sosial. Saat kita bicara tentang inklusi, kita sedang bicara tentang siapa yang dianggap penting dalam sistem, dan siapa yang selama ini dikesampingkan. Maka, mari kita dorong semua pihak untuk menjadikan inklusivitas sebagai fondasi dalam setiap langkah penanggulangan bencana—bukan sebagai tambahan, melainkan sebagai prinsip utama.
Penulis : Thoha Ulul A.

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan
