web analytics
Connect with us

Opini

Sekolah Bagi Perempuan, Mitra Wacana WRC Tawarkan OPSD

Published

on

OPSD

Agar kelompok perempuan semakin memahami seluk beluk perdagangan orang, kesehatan reproduksi, gender dan UU Nomor 6 Tentang Desa Tahun 2014, Mitra Wacana WRC menyelenggarakan sekolah bagi perempuan di desa yang diberi nama Omah Perempuan Sinau Desa (OPSD) di Balaidesa Demangrejo, Sentolo, Kulonprogo selama dua hari dimulai Senin (5/12/16) hingga Selasa (6/12/16).

Kepala Desa Demangrejo, Gunawan dalam sambutannya menyatakan sangat mengapresiasi pelaksanaan OPSD yang di desanya. Atas nama desa Demangrejo saya berharap peserta yang mengikuti mampu memberikan informasi kepada orang lain,  keluarga atau tetangga tentang bekal pengetahuan apa yang harus dibawa supaya ketika berada di luar negeri aman. Ungkap Gunawan. Saya juga pernah merantau keluar negeri, sehingga tahu bagaimana suka dukanya ketika kita merantau lanjutnya, Gunawan menambahkan

 “ Untuk OPSD materi yang diajarkan adalah gender, kesehatan seksual dan reproduksi, perdagangan orang dan UU Desa”, ungkap Astriani, panitia sekolah tersebut. Kami berharap setiap peserta yang mengikuti OPSD mampu menularkan pengetahuannya kepada orang lain, terutama lingkungan terdekatnya, Astri menambahkan.

Ika Septi Wulandari, fasilitator OPSD dari Mitra Wacana WRC menyatakan bahwa desa perlu mempunyai data warga yang sedang bekerja di luar negeri.  Data itu sebagai salah satu dokumen yang disimpan di desa dan dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan warganya yang sedang migrasi,  Septi mengungkapkan.

Melalui OPSD Septi berharap mampu menguatkan warga desa terutama perempuan agar mampu memperjuangkan kepentingannya dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Menurut septi, ada tiga tujuan dari pelaksanaan OPSD ; a) Peserta memahami gender, perdagangan orang dan implementasi UU Desa, b) Peserta mampu melakukan pemetaan situasi masyarakat terkait migrasi dan c) Peserta mampu melakukan pendokumentasian hasil pemetaan desa terkait migrasi. (As3/Tnt)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Gelar Haji di Indonesia: Mencari Makna dalam Jejak Sejarah

Published

on

Sumber: freepik

Akbar Pelayati, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Alauddin Makassar, Juga merupakan Aktivis HMI MPO Cabang Makassar.

Apakah Anda pernah berpikir bahwa membanggakan gelar Haji di Indonesia bisa menjadi hasil dari warisan masa lampau yang tak bisa dielakkan? Tidak dapat disangkal bahwa gelar Haji telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya dan tradisi Indonesia. Namun, apakah Anda pernah berpikir tentang bagaimana sejarah dan konteks gelar ini dapat memberikan makna yang lebih mendalam?

Saat pertama kali diperkenalkan, gelar Haji memang diberikan sebagai tanda penghargaan atas pelaksanaan ibadah haji oleh individu yang bersangkutan. Namun, jangan terkecoh oleh kesederhanaan konsep ini. Gelar ini ternyata juga membawa jejak-jejak masa kolonial, ketika rezim penjajah mencoba memanfaatkannya untuk mencapai tujuan mereka.

Gelar Haji dalam konteks masa kolonial dapat diartikan sebagai alat kekuasaan yang memanipulasi komunitas Muslim. Pemberian gelar ini tidak hanya tentang penghormatan agama, tetapi juga menjadi instrumen untuk mendefinisikan struktur sosial berdasarkan otoritas penjajah. Ternyata, gelar yang seharusnya mewakili spiritualitas juga memiliki dimensi politik yang tak terhindarkan.

Namun, dalam kerumitan sejarah gelar ini, masyarakat Indonesia juga menemukan makna dan penghormatan yang berasal dari keyakinan pribadi. Bagi sebagian besar orang, gelar Haji bukan sekadar simbol status, tetapi juga cerminan dedikasi terhadap iman dan perjalanan rohaniah yang mendalam. Namun, pertanyaan mendasar muncul: Apakah membanggakan gelar Haji masih tetap relevan ataukah sebaiknya direfleksikan ulang dalam konteks sejarahnya yang rumit? Di tengah perubahan zaman yang terus berlangsung, kita memiliki peluang untuk menggali makna lebih dalam dari tradisi ini dan mengenali bagaimana hal ini berdampak pada identitas kita.

Sebagai masyarakat yang beragam dan inklusif, apakah kita dapat menemukan jalan tengah antara melihat gelar Haji sebagai warisan masa kolonial dan penghargaan pribadi terhadap keyakinan? Dalam refleksi ini, kita tidak hanya menggali akar sejarah, tetapi juga mencari cara agar tradisi ini tetap relevan dan bermakna dalam perjalanan rohaniah kita di dunia yang terus berubah.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending