News
Ahmadi in Indonesia – a case for Altruism and Pluralism
Published
9 years agoon
By
Mitra WacanaOn Wednesday (6 April 2016) several Mitra Wacana WRC team members attended the “Wednesday Forum”, hosted by the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) and the Centre for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) at Universitas Gadjah Mada in Yogyakarta, Indonesia. This week’s discussion was called “Indonesian Ahmadi Women’s Strategies in Resisting and Preventing Violent Conflicts”. Dr Nina Mariani Noor presented her PhD dissertation about the narrative of Ahmadi women dealing with daily conflicts in relation to their faith since 1998, the post-Reformasi period in Indonesia.
When we arrived (a little bit late), Bu Nina was talking about altruism and how Ahmadi women in Indonesia had used it as a way to build good relationships with their local communities. Knowing that Bu Nina was interested in gender issues, one of the audience members from CRCS asked her how Ahmadi view women. Bu Nina admitted that Ahmadi is a patriarchal society, the highest positions are held by men. However, they believe it is important for women to participate in religious activities so they have groups for both men and women. Bu Nina highlighted how Ahmadi women in Indonesia are active in social and humanitarian domains, and gave examples of the programs the women she interviewed were running in their communities. Their efforts constituted non-violent defence mechanisms to resolve and prevent conflicts.
For some Mitra Wacana team members, this was their first introduction to Ahmadi. Luckily, Bu Nina gave an overview of their beliefs. She explained that the key difference between Ahmadi and other Muslims is their interpretation of Khatam Nabiyyin (the Seal of the Prophets). For Ahmadi, Muhammad was the seal of the Prophets, not the last of the Prophets, as other Muslims believe. This means that, for Ahamdi, there is the possibility of a new Prophet, however, she stressed, a new Prophet would not bring new law. Ahmadi also believe that the second coming of Jesus Christ has already occurred in the form of Ghulam Ahmad (who founded the sect in 1889).
Bu Nina also outlined some key misconceptions about Ahmadi. Some people say that the Prophet for Ahmadi is Ghulam Ahmad, but it is actually Muhammad. Some say that their holy book is the Tazkirah, but it is actually the Qur’an. Some people also say that Ahmadi are required to perform a pilgrimage to Rabwah, whereas it is actually Mecca (read an article with more details about misconceptions spread about Ahmadi here). Bu Nina emphasised that Ahmadi follow the same five pillars of Islam as all Muslims, the Declaration of faith, obligatory prayer, compulsory giving, fasting in the month of Ramadan and (if financially and physically able), pilgrimage to Mecca (read more about the five pillars of Islam here).
One of the questions raised by the audience was the difference between how Ahmadi are treated in Indonesia compared to Pakistan. Bu Nina clarified that Ahmadi is legal in Indonesia, so they are protected by the law and can solve any problems constitutionally. In Pakistan, however, Ahmadi are classified as a non-Muslim minority and many of them have fled to Europe, the United States and Australia. Globally it is estimated there are around 200 million Ahmadi people, although it is difficult to confirm because many surveys do not specifically count Ahmadi Muslims. It is estimated that about one or two percent of Muslims in Indonesia are Ahmadi.
Another audience member questioned how Ahmadi feel about democracy in Indonesia since they had more religious freedom under the authoritarian government. The fact that there had been a significant increase in attacks on Ahmadi in Indonesia since 1998 suggests that democracy gave people the freedom to discriminate against minorities including Ahmadi. To this Bu Nina said that Ahmadi still have freedom but they have to be aware. Ahmadi accept that democracy has already arrived in Indonesia and Ahamdi are Indonesian so it’s where they want to live. A recurring theme in Bu Nina’s presentation was that Ahmadi are part of the Indonesian community. The women she interviewed for her PhD thesis all shared their hope for a harmonious and peaceful life, where all Indonesians received protection and equal treatment from the government. She expressed her personal desire as an Ahmadiah that her people could “Negotiate our space to be accepted as Indonesians with our own faith”. Sophia.
You may like
News
Apakah Perempuan Amerika dan Indonesia Sangat Berbeda?
Published
5 years agoon
18 February 2020By
Mitra Wacanaoleh Jacqueline Lydon – Volunteer di Mitra Wacana
Saya tumbuh dan besar di Amerika, saat ini tinggal di Indonesia sudah lima bulan, dan sudah tiga bulan ini magang di Mitra Wacana, saya terkejut ternyata adanya kesamaan kondisi antara perempuan di Indonesia dan Amerika.
Kalau dilihat sekilas, perempuan Amerika dan Indonesia mungkin memiliki perbedaan yang sepenuhnya berlawanan.
Saat membandingkan keduanya, biasanya orang-orang fokus pada perilaku dan penampilan perempuan. Perempuan dihakimi tentang cara mereka berpakaian, cara mereka bertindak, dan betapa independennya mereka, misalnya.
Orang Amerika mungkin menilai perempuan Indonesia berpakaian konservatif, tinggal di lingkungan rumah tangga, dan tampaknya tunduk pada suami mereka. Sementara itu, orang Indonesia mungkin menilai perempuan Amerika tidak menutupi tubuh mereka, merangsang secara seksual, tidak fokus pada peran domestik, atau terlalu keras dan menuntut.
Apa yang saya catat sejak berada di sini adalah yang pertama, bahwa perbedaan-perbedaan ini kurang terlihat daripada yang saya pikirkan, dan kedua, bahwa mereka tampaknya berasal dari budaya dan norma sosial yang berbeda. Ada berbagai cara untuk memahami gender dan peran gender, namun perempuan di Amerika dan Indonesia menginginkan keamanan, rasa hormat, dan memiliki suara.
Ada banyak kesamaan antara perilaku dan masalah perempuan di kedua negara.
- 51,9% perempuan Indonesia adalah pekerja, dibandingkan dengan 57,1% perempuan Amerika.
- 17,4% dari parlemen Indonesia adalah perempuan, dibandingkan dengan 23,9% dari legislatif Amerika.
- Perempuan Indonesia terpilih pertama kali sebagai presiden pada tahun 2001, sementara belum ada seorang perempuan yang pernah menjadi presiden di Amerika.
- Perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Indonesia, Sri Widoyati Wiratmo Soekito, dilantik pada tahun 1968, sedangkan perempuan pertama yang bergabung dengan mahkamah agung Amerika adalah Sandra Day O’Connor pada tahun 1981, sekitar 15 tahun kemudian.
Ada banyak masalah — dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan — yang memiliki dampak luas pada perempuan di kedua negara, tetapi sulit untuk memiliki statistik yang akurat karena banyak perempuan tidak (atau tidak bisa) melaporkan insiden ini. Tetapi berdasarkan apa yang dilaporkan, jelas bahwa ini adalah masalah utama di kedua negara.
- 3 dari 5 perempuan Indonesia dan 81% perempuan Amerika telah mengalami pelecehan seksual
- 15% perempuan Indonesia dan lebih dari 1 dari 3 perempuan Amerika melaporkan menjadi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan
- 16% perempuan Indonesia dan sekitar 25% perempuan A.S. telah melaporkan menjadi korban kekerasan pasangan intim (kekerasan fisik, seksual, atau psikologis dari pacar atau pasangan)
Dua negara dengan sikap dan perilaku perempuan dilihat sangat berbeda, mengejutkan bahwa ada persamaan keberhasilan dan perjuangan perempuan.
Baru tahun lalu, sebuah jajak pendapat di Amerika menemukan bahwa hanya 29% perempuan Amerika yang mengidentifikasi sebagai feminis. (Feminis: seorang yang percaya laki-laki dan perempuan harus punya hak sama). Di kedua negara, ada gerakan feminis dan anti-feminis (di Amerika, “meninism”; di Indonesia, “Indonesia tanpa feminisme”). Dalam kedua gerakan tersebut, suara perempuan ditekan; perempuan yang mengadvokasi diri mereka sendiri sering dianggap terlalu menuntut, dan masalah mereka diabaikan.
Mengapa ada begitu banyak penilaian untuk pilihan perempuan di kedua negara?
Sebagian dari hal tersebut didasarkan pada stereotip, yang terus dibangun tentang perempuan yang bertindak berbeda. Perempuan di setiap negara diajarkan bahwa peran budaya, perilaku, dan nilai-nilai mereka adalah pilihan yang lebih baik, dan jika mereka berpegang teguh pada itu, mereka akan menghindari masalah yang dihadapi oleh perempuan dalam budaya yang berbeda. Misalnya, untuk perempuan di Amerika, diajarkan bahwa menjadi lebih asertif akan membantu mereka mencapai lebih banyak perwakilan politik, dan perempuan di Indonesia diajarkan bahwa berperilaku sopan akan membantu mereka menghindari kekerasan atau pelecehan seksual. Namun kesamaan dalam statistik membuktikan bahwa bukan perilaku perempuan yang menyebabkan masalah ini, dan nasihat budaya untuk perempuan tidak akan menyelesaikan masalah.
Tentu saja, tidak ada jawaban sederhana untuk masalah sistemik ini. Tapi, penyebab utama seksisme di seluruh dunia adalah patriarki — sistem yang telah dibangun untuk memperkuat laki-laki dan memperlemah perempuan. Sistem patriarki inilah yang telah menciptakan gagasan menyalahkan korban — untuk menghakimi dan menyalahkan perempuan atas penindasan yang mereka alami alih-alih sistem yang menyeluruh.
Daripada melihat pilihan perempuan atau menilai mereka, kita harus melihat sistem patriarki yang lazim di kedua negara.
Menurut saya, kita perlu berhenti fokus pada perilaku perempuan dan sebaliknya fokus pada cara masyarakat menilai dan menindas semua perempuan, dan kemudian kita harus membangun solidaritas untuk memecah sistem itu. Cita-cita bagaimana seorang perempuan seharusnya dan harus bertindak mungkin berbeda di kedua budaya, tetapi hal yang universal bahwa perempuan harus bebas dari kekerasan dan diperlakukan dengan bermartabat dan hormat.
Editor: Arif Sugeng W