Para aktivis perempuan, peggiat LSM, organisasi perempuan dan organisasi kemasyarakatan menghadiri diskusi berseri “Gender dan Pemberdayaan Perempuan” yang merupakan kerjasama beberapa LSM di Yogyakarta; Mitra Wacana WRC, PKBI DIY, LSPPA dan PSKK UGM di gedung PKBI Yogyakarta Jl. Tentara Rakyat Mataram Gg Kapas JT/702, Badran pada Kamis (28/4).
Diskusi yang dibuka oleh Basilica dari PSKK UGM yang menyatakan bahwa perayaan hari Kartini setiap tanggal 21 April jangan sampai hanya menjadi agenda rutin saja. Sarasehan hari ini mencoba ingin menelaah ulang pemikiran Kartini, karena pemikiran Kartini kadang hanya ditangkap namun tanpa dicerna, Basilica menambahkan. Dalam sambutannya, ia menuturkan bahwa diskusi direncanakan diselenggarakan secara berseri yaitu pada bulan Juli (perempuan dan pendidikan), September (perempuan dan agama) dan Desember (perempuan dan keluarga).
Diskusi yang dipandu oleh Sri Wiyanti, aktivis perempuan Yogyakarta mencoba mengupas beberapa pemikiran Kartini mulai dari emansipasi, pendidikan dan agama dengan menghadirkan narasumber; Sri Marpinjun (LSPPA), Enik Maslahah (Mitra Wacana), Vissia Ita (akademisi/dosen). Menurut Enik Maslahah, ada perbedaan perayaan hari Kartini dari zaman orde lama hingga orde reformasi. Pada zaman orde lama, perayaan dilakukan dengan menyelenggarakan seminar, diskusi tentang pemikiran-pemikiran Kartini. Pada zaman orde baru, ada komersialisasi dan salonisasi. Hal ini tampak pada besarnya tawaran diskon di pusat perbelanjaan menjelang dan saat hari Kartini serta penuhnya salon kencantikan untuk berdandan mengikuti peragaan busana dan pasang konde, ungkapnya. Enik menambhakan pada era reformasi ada perubahan signifikan karena sudah muncul otonomi daerah maka mempengaruhi dalam merayakan hari Kartini. Intinya tergantung kondisi sosial politik, akhirnya cenderung dipaksanakan, Enik mengungkapkan.
Vissia ita memaparkan bahwa pada era orde lama, Kartini ditampilkan sebagai sosok pahlawan perempuan yang berpengaruh di Indonesia, namun pada era orde baru Kartini dibalik menjadi perempuan domestik (sumur, dapur, kasur). Ita menambhakan bahwa pengetahuan kita tentang Kartini sebenarnya dangkal karena kita belum membaca surat-suratnya namun hanya mendapat cerita Kartini secara turun temurun dan guru di sekolah. Menurut Ita, Kartini adalah sosok perempuan penentang kolonialisme, pendidik, penulis dan menentang feodalisme.
Sedangkan menurut Sri Marpinjun, semua orang bisa jadi memiliki pandangan yang berbeda beda terhadap Kartini. Namun kita sepakat satu hal bahwa Kartini adalah pejuang perempuan yang diakui dunia sebagai pembebas manusia dari ketertindasan. Sri menuturkan bahwa kita perlu memaknai kembali semangat hari Kartini supaya substansinya tidak hilang. (tnt).