web analytics
Connect with us

Opini

BERJILBAB DAN BERCADAR NAMUN TIDAK BERHIJAB

Published

on

Sumber gambar: Freepik

Akbar Pelayati
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Indonesia merupakan negara yang tingkat kereligiusitasnya cukup tinggi. Menurut survei yang dilakukan oleh Majalah CEOWORLD pada tahun 2024, Indonesia menempati peringkat ketujuh di dunia dalam hal tingkat religiusitas, dengan 98,7% responden di Indonesia mengaku bahwa mereka religius. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia sangat mengutamakan agama dalam kehidupan mereka sehari-hari, menempatkan Indonesia di antara negara-negara paling religius di dunia. Survei ini menegaskan bahwa religiusitas di Indonesia sangat tinggi, sejalan dengan berbagai survei lain yang juga menunjukkan tingginya kepercayaan dan praktik beragama di negara ini.

Karena itu, dalam masyarakat Indonesia, berbagai simbol keagamaan sangat umum ditemui, seperti penggunaan hijab yang kerap dilakukan oleh perempuan Muslim. Karena Islam merupakan mayoritas agama di Indonesia, melihat perempuan yang mengenakan hijab atau cadar sudah lazim di kalangan kita.

Namun, yang seringkali menjadi perdebatan di tengah-tengah masyarakat adalah perihal wanita bercadar. Cadar adalah penutup wajah yang digunakan oleh beberapa wanita Muslim sebagai bagian dari pakaian mereka. Cadar biasanya menutupi seluruh wajah kecuali mata, dan sering dipadukan dengan jilbab atau hijab yang menutupi kepala dan leher. Dalam beberapa budaya, cadar bisa berarti penutup wajah penuh, seperti niqab, yang hanya memperlihatkan mata, atau burqa, yang menutupi seluruh tubuh termasuk wajah dengan jaring di bagian mata untuk melihat.

Cadar digunakan oleh beberapa wanita Muslim sebagai bentuk ketaatan terhadap ajaran agama Islam, di mana menutupi wajah dianggap sebagai cara untuk menjaga kesopanan dan mentaati perintah Tuhan. Selain itu, cadar membantu menjaga privasi dan melindungi wanita dari pandangan yang tidak diinginkan, serta dianggap sebagai cara untuk menghormati diri sendiri dan orang lain. Dalam beberapa budaya, penggunaan cadar juga merupakan bagian dari identitas budaya dan tradisi yang mencerminkan nilai-nilai kesopanan dan kerahasiaan pribadi. Di wilayah tertentu, terutama yang berdebu atau memiliki iklim ekstrem, cadar berfungsi sebagai perlindungan fisik dari debu, angin, dan sinar matahari.

Dewasa ini, yang menjadi perdebatan besar adalah apakah penggunaan cadar memang bertujuan untuk mematuhi ajaran Islam, menjaga kesopanan sesuai perintah Tuhan, atau bahkan melindungi wanita dari situasi yang tidak diinginkan, seperti menghindari perbuatan zina?

Memang benar bahwa fungsi cadar sebenarnya adalah sebagai bentuk ketaatan terhadap ajaran agama Islam, menjaga privasi, dan mencerminkan nilai-nilai budaya yang menghargai kesopanan. Namun, sangat disayangkan bahwa di zaman sekarang, wanita yang menggunakan cadar sering kali tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut sebagaimana mestinya.

Saat ini, banyak bukti yang menunjukkan bahwa ada wanita bercadar yang tidak selalu mencerminkan nilai-nilai yang diharapkan. Banyak dari mereka yang terlibat dalam perilaku yang tidak sesuai, seperti berpacaran, dan fenomena ini sering ditemukan di kampus-kampus Islam, fakta lain juga memperkuat bahwa terdapat sangat banyak wanita becadar yang “odong-odong”. Media sosial kembali ramai dengan sebuah video yang menunjukkan aksi tidak pantas dari sepasang kekasih (wanitanya bercadar) yang diduga melakukan perbuatan mesum di tempat yang tidak semestinya. Video tersebut, yang dibagikan oleh akun gosip Instagram @lambeturah, memperlihatkan sepasang kekasih digerebek warga saat sedang berduaan (mesum) di dalam toilet masjid.

Fenomena yang tidak layak tersebut sangat menyimpang dari tujuan asli penggunaan cadar dan dapat merusak citra positif cadar yang sebelumnya dihargai sebagai simbol kebaikan dan kesalehan.

Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah “kok bisa gitu ya?” Apakah para oknum tersebut tidak memahami perbedaan antara Kerudung dan Hijab ?

Kerudung dan hijab sering digunakan dalam konteks yang sama, namun memiliki perbedaan dalam arti dan penggunaannya. Kerudung adalah selembar kain yang digunakan untuk menutupi kepala, leher, dan kadang-kadang bagian atas tubuh, yang umumnya digunakan oleh wanita Muslim di Indonesia sebagai bagian dari praktik agama atau untuk alasan budaya dan estetika. Sementara itu, hijab adalah istilah yang lebih luas yang mencakup tidak hanya penutup kepala tetapi juga konsep berpakaian dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam, mencakup pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan, serta berkaitan dengan kesopanan dalam berpakaian dan perilaku. Dengan demikian, kerudung dapat menjadi bagian dari hijab, tetapi hijab memiliki makna yang lebih mendalam dalam konteks agama Islam.

Secara keseluruhan, Indonesia sebagai negara dengan tingkat kereligiusitas tinggi menunjukkan bahwa simbol-simbol keagamaan seperti hijab dan cadar memiliki tempat yang penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Namun, penggunaan cadar sering kali menjadi perdebatan karena adanya fenomena yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang seharusnya diwakili. Meskipun fungsi asli cadar adalah sebagai bentuk ketaatan agama Islam, menjaga privasi, dan menghormati kesopanan, fenomena negatif seperti kasus-kasus tidak pantas yang melibatkan wanita bercadar dapat merusak citra positif cadar sebagai simbol kesalehan. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa penggunaan cadar seharusnya mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan bukan sebagai alasan untuk perilaku yang tidak pantas.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Pengalaman Magang di Mitra Wacana Yogyakarta

Published

on

Oleh Eni Nur Chayati
Mahasiswa Universitas Widya Mataram 
 

             Saya adalah mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang sedang menempuh semester akhir. Kewajiban magang membuat saya harus mencari tempat untuk menghabiskan setidaknya dua bulan berkegiatan di luar kampus. Saya mahasiswa jurusan Sosiologi, saya berminat pada pekerjaan sosial dan isu gender, khususnya perempuan. Maka ketika saya menemukan akun Mitra Wacana pada platform Instagram, saya segera mengonfirmasi tentang kesempatan magang di sana. Akhirnya, saya mendapat kesempatan magang di Mitra Wacana dari tanggal 1 Oktober – 30 November 2024 bersama dua teman saya.

               Kesan di hari pertama tiba di kantor Mitra Wacana adalah bingung dan tentu saja, canggung. Tetapi seperti kebanyakan LSM yang saya ketahui, suasana kantornya sangat homey. Kami memilih untuk bergabung ke divisi pendidikan dan pengorganisasian, yang setelah itu saya tahu, dikoordinatori oleh Mas Mansur. Kebingungan berlanjut sampai hari-hari berikutnya, sebab kami harus menentukan sendiri program kerja yang akan kami laksanakan. Dengan kesadaran untuk berkembang dan mencari pengalaman, kami mengajukan tiga proker untuk kegiatan kami selama dua bulan; building capacity, diskusi tematik, dan mini riset.

               Kami mulai berkegiatan pada minggu kedua bulan Oktober. Suasana antara staf dan mahasiswa magang mulai mencair. Saya dan kawan-kawan mulai bisa beradaptasi serta berdiskusi tentang latar belakang dan cerita masing-masing—tak lupa juga melontarkan banyak pertanyaan tanpa henti. Magang di Mitra Wacana sangat fleksibel. Jumlah agenda kami turun lapangan selama magang hanya satu kali, yaitu ke Kulon Progo untuk edukasi pencegahan KDRT. Hal ini dikarenakan pada bulan Oktober kemarin Mitra Wacana baru saja menyelesaikan program tahunan dan sedang dalam masa evaluasi. Maka kami berkegiatan sekenanya sambil berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan pengalaman.

               Banyak ilmu yang saya dapatkan lewat proker yang kami susun. Di diskusi tematik, saya belajar mengorganisir suatu acara, yang pada saat itu bertemakan perempuan marginal, sehingga saya juga mendapat pandangan terkini mengenai isu gender dan marginalisasi perempuan. Pada kegiatan building capacity, saya mengetahui manajemen kerja NGO dan tetek-bengeknya.

     Terakhir, yang menjadi pengalaman paling ‘nano-nano’ adalah pembuatan—pertama kalinya—sebuah mini riset. Pengerjaannya menuntut pikiran dan tenaga tetapi hasilnya begitu memuaskan. Kami berhasil merangkum pengetahuan serta pengalaman staf dalam riset yang berjudul “Perspektif Staf Mitra Wacana Terhadap Marginalisasi Perempuan di Desa Dampingan P3A”. Berbagai hasil dan hal-hal menyenangkan di Mitra Wacana tidak luput dari peran seluruh staf yang menciptakan lingkungan suportif dan sikap keterbukaan kepada mahasiswa magang. Magang di Mitra Wacana mendorong saya untuk berpikir lebih praktikal dan mengambil aksi mengenai isu gender yang selama ini hanya saya pahami dalam kepala.

Sekian, yang dapat saya tuliskan mengenai pengalaman ketika menjadi mahasiswa magang di Mitra Wacana. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending