Opini
Bukan Sekedar Pasangan

Published
11 years agoon
By
Mitra Wacana

Wahyu Tanoto
oleh Wahyu Tanoto
Dalam sebahagian besar pandangan masyarakat (baca; Jawa) suami hampir selalu dianggap sebagai sosok “pengatur”, baik dalam wilayah domestik (rumah tangga) maupun publik. Sebaliknya, tidak jarang istri dianggap sebagai “konco wingking” yang dicitrakan seperti cermin dan bedak yang hanya bisa melakukan kegiatan meliputi tiga hal; dapur, sumur dan kasur atau bahkan yang lebih kentara lagi istri kerapkali dipandang sebagai manusia nomer dua (inferior) yang digambarkan hanya bisa mamah (makan) dan mlumah (siap pakai).
Pandangan tersebut di atas sesungguhnya dilatar belakangi karena adanya persoalan kebiasaan yang seolah-olah telah menjadi budaya, yaitu “kultur” yang lebih mengunggulkan salah satu jenis kelamin saja, yaitu laki-laki (patriarkhi). Benarkah demikian? Mari kita tengok salah satu ajaran yang dijadikan pedoman serta telah diyakini kebenarannya selama puluhan bahkan ratusan tahun, yaitu bahwa suami adalah panutan istri sebaliknya istri adalah bayangan suami. Sebagai seorang suami, laki-laki seolah mendapatkan kekuatan penuh untuk mengkontrol kehidupan rumah tangga, dan otoritas yang dimiliknya memberikan keleluasaan berbuat sesuka hati tanpa ada batasan, artinya apapun boleh dilakukan seorang suami terhadap istrinya, meskipun hal ini tidak jarang dilakukan dengan alasan yang relatif tidak mudah diterima akal sehat.
Pendapat demikian ini, adalah pandangan umum yang sejauh ini diyakini kebenarannya secara sepihak tanpa mencoba melakukan kajian yang lengkap secara tekstual atau bahkan secara kontekstual; bahwa suami memiliki otoritas peran paling dominan, terutama dalam kehidupan berumah tangga. Sebagai seorang suami, menurut hemat saya tidaklah selamanya otoritas yang dimiliki oleh suami selalu bermakna baik dan menjamin kehidupan yang harmonis serta menjadi garansi kebahagiaan dalam berumah tangga.
Dalam catatan saya, sudah terlalu banyak peristiwa gugatan oleh istri kepada suami yang berujung pada perceraian karena persoalan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan atau karena alasan lain yang dibenarkan sebagai akibat dari “ketiadaan” nilai-nilai equality (kesetaraan), pembagian peran yang jauh dari kata sportif dan melestarikan doktrin yang berbunyi lanang (jawa; ala tapi wenang). Disini, sesunggunhya seorang istri sedang di eliminasi hak-haknya oleh suami. Meski demikian, ada pula masyarakat (perempuan) yang setuju dengan pendapat tersebut.
Banyak hal yang sebenarnya sebaiknya dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya dalam membina hubungan rumah tangga sebagai upaya untuk mencapai keluarga yang rukun (setara), harmonis (menghindarai kekerasan) sehingga impian semua orang dapat tercapai; menikmati keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Salah satu perbuatan yang dapat dilakukan, menurut Rizem Aizid penulis buku menjadi suami yang melengkapi kekurangan istri adalah dengan cara membangun kesepahaman dan kebersamaan dengan pasangan untuk bersedia saling melengkapi yaitu berusaha terus-menerus melakukan yang terbaik dan bertindak serta bersikap yang berafiliasi/bernuansa dengan nilai-nilai kesalehan, sebagaimana salah satu ajaran kitab suci, bahwa sesungguhnya istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri.
Sebagai pasangan yang saling melengkapi, sesungguhnya hal ini bukanlah pekerjaan yang ringan, karena keduanya pastilah dituntut akan tugas dan tanggung jawab yang setara; yakni saling menjaga, mengingatkan, menguatkan, mengayomi, dan melindungi pasangan serta mensuguhkan perilaku-perilaku lain yang mencerminkan akhlaqul karimah (perilaku mulia). Satu alasan paling terkenal kenapa suami/istri harus saling melengkapi karena manusia adalah makhluk sosial (cenderung) “lemah” yang selama ini dikonotasikan hanya dimiliki oleh satu jenis kelamin saja yaitu perempuan/istri. Dan, hanya karena faktor konstruksi budaya-lah sebagai salah satu penyumbang anggapan tersebut, menjadikan perempuan relatif tidak memiliki posisi tawar dibanding laki-laki di tengah kehidupan bermasyarakat.
Dalam pandangan saya yang tengah mengalami menjadi suami, sebenarnya baik istri maupun suami sifatnya berkait kelindan atau dalam bahasa sehari-hari biasa dimaknai saling terhubung. Oleh karenanya, salah satu hal yang relevan dilakukan dalam rumah tangga adalah melakukan pembicaraan dan diskusi atau yang sering disebut musyawarah. Lebih dari itu sebenarnya musyawarah merupakan ajaran mulia turun menurun yang tampaknya saat ini mulai tergerus keberadaannya.
Dalam kaca mata saya, musyawarah saat ini adalah cara terbaik yang dapat dilakukan oleh suami/istri sebagai suatu proses melakukan tukar menukar ide gagasan guna memperolah jalan keluar elegan/bijaksana tanpa merasa ada yang tersakiti atau dikalahkan. Dengan cara ini sangatlah dimungkinkan baik suami/istri di minta untuk dapat memahami, menemukan dengan sendirinya peran tanggung jawabnya masing-masing. Semoga.
You may like
Opini
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DALAM NOVEL BERGOLAK DERITA ANAK NEGERI

Published
2 days agoon
7 July 2025By
Mitra Wacana
Oleh : Natalia Zebua
Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Sosiologi berasal dari bahasa Latin, yaitu “socius” yang berarti “kawan” atau “teman”, dan “logos” yang berarti “ilmu pengetahuan”. Dengan demikian, sosiologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Sosiologi fokus pada mempelajari kenyataan masyarakat dan perubahannya, bukan tentang bagaimana masyarakat seharusnya. Sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat, sosiologi dapat dibedakan dari ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, sejarah, hukum, antropologi, dan psikologi. Namun, dalam prakteknya, sosiologi tidak dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu lain karena kehidupan masyarakat bersifat kompleks dan multidimensi.
Sosiologi sastra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat yang terkait dengan sastra. Bidang ini mempelajari karya sastra dalam konteks sosial, termasuk pengaruh latar belakang pengarang, ideologi, kondisi ekonomi, dan khalayak yang dituju. Sosiologi sastra berfokus pada hubungan antara karya sastra dan masyarakat, menjadikan karya sastra sebagai objek kajian yang tidak terpisahkan dari konteks sosialnya. Dengan demikian, sosiologi sastra menawarkan pendekatan yang komprehensif untuk memahami karya sastra dalam dimensi sosialnya.
Karya sastra adalah ekspresi kreatif manusia yang dituangkan dalam bentuk tulis atau lisan, mencerminkan pengalaman, perasaan, dan pemikiran imajinatif atau nyata melalui bahasa sebagai medianya. Salah satu bentuk karya sastra yaitu Novel. Novel adalah sebuah karya sastra yang berbentuk prosa dan biasanya memiliki narasi yang kompleks, karakter yang berkembang, dan plot yang terstruktur. Novel seringkali menggambarkan kehidupan nyata atau imajinatif. Novel Bergolak Derita Anak Negeri merupakan karya dari Armini Arbain dan Ronidin, yang terdiri dari 362 halaman, menampilkan karya sastra serius dengan gaya bahasa yang digunakan mudah untuk dipahami. Cara pengisahan dalam novel Bergolak Derita Anak Negeri cukup menggugah rasa ingin tahu, mengungkap suatu masalah dimasa lampau.
Novel Bergolak Derita Anak Negeri karya Armini Arbain dan Ronidin menceritakan tentang derita anak negeri yang dialami oleh laki-laki dan perempuan selama masa perang PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958-1961. Novel ini terbagi menjadi tiga bagian yang menceritakan tentang penderitaan dan kekerasan yang dialami oleh tokoh-tokoh utama. Pada bagian pertama menceritakan derita anak perempuan, bagian kedua menceritakan derita laki-laki dan pada bagian ke tiga menceritakan pertemuan dan bahagia. Armini Arbain dan Ronidin berhasil mengungkap kisah pada masa lampau dengan bahasa yang mudah dipahami dan mengalir sehingga pembaca tertarik dan ingin membacanya.
Pada bagian pertama novel Bergolak Derita Anak Negri menceritakan tentang derita perempuan yang dialami oleh Mainar dan Mirna. Mainar adalah seorang guru agama yang mengalami kegagalan dalam pernikahannya karena suaminya selingkuh. Sementara itu, Mirna adalah istri dari seorang wakil kepala sekolah yang tergoda oleh seorang guru baru bernama Suyono. Mirna akhirnya terjatuh dalam permainan Suyono dan melakukan perbuatan yang tidak pantas. Akibatnya, Mirna hamil di luar nikah dan suaminya ingin menceraikannya. Namun, Suyono membunuh Mirna dan membuatnya terlihat seperti bunuh diri.
Pada bagian kedua novel Bergolak Derita Anak Negri menceritakan tentang derita laki-laki yang dialami oleh Sarman dan adiknya, Karman. Sarman adalah seorang tentara dadakan yang bergabung dengan PRRI, sementara Karman adalah seorang mahasiswa yang ditangkap oleh tentara APRI karena dianggap sebagai anggota komunis. Karman mengalami siksaan dan penyiksaan di penjara, namun akhirnya dibebaskan setelah perang usai.
Pada bagian ketiga novel Bergolak Derita Anak Negri menceritakan tentang pertemuan antara Karman dan Rosna, seorang perempuan yang mengalami trauma masa lalu. Karman menyukai Rosna dan akhirnya melamarnya. Mereka menikah dan hidup bahagia. Novel Bergolak Derita Anak Negeri ini menggambarkan bagaimana perang dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Namun, novel ini juga menunjukkan bahwa ada harapan untuk memulai kembali dan hidup bahagia setelah melewati masa-masa sulit.
Dari cerita novel Bergolak Derita Anak Negeri, beberapa fakta sosial, gejala sosial, dan perubahan sosial.
Dalam novel ini menggambarkan bagaimana pengaruh perang PRRI dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Dalam novel ini juga menggambarkan tentang trauma perempuan akibat banyak tentara yang secara tidak hormat merenggut kehormatan para perempuan seperti yang dialami oleh Mirna dan Nur Aini. Tak hanya perempuan saja laki-laki pun juga banyak mengalami kekerasan, penyiksaan bahkan banyak yang terbunuh dapat disebut mendapati perlakuan dari tentara yang sudah termasuk kedalam pelanggaran hak asasi manusia. Dapat dilihat dari pernyataan berikut:
“Mereka membakar, menembaki, menyiksa, dan bahkan membunuh”
Dan juga pada masa itu muncul istilah:
“Tembak atas atau tembak bawah? Istilah tersebut adalah istilah yang dipakai untuk memberikan dua pilihan kepada perempuan oleh tentara OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat) maupun tentara pusat” (halaman 60).
Tak hanya itu, dalam novel ini juga menggambarkan pengaruh ideologi politik yaitu dengan terjadinya perang PRRI dan APRI mempengaruhi kehidupan masyarakat dan menyebabkan konflik antara kelompok yang berbeda. Juga menggambarkan perubahan sosial dan trauma juga penyembuhan dimana dalam novel ini menggambarkan tokoh-tokoh utama mengalami trauma dan berusaha untuk menyembuhkan diri dari pengalaman buruk.
Dalam novel ini menggambarkan penganiayaan dan penyiksaan yang dialami oleh para tahanan, kekerasan terhadap perempuan oleh tentara, trauma dan stres pasca trauma pada korban yang dialami oleh Rosna, sehingga ia mengalami gangguan mental dan terjadilah balas dendam, yang dilakukan oleh Bahar kakaknya Rosna terhadap anak mantan tentara yaitu Retno atau wanita-wanita yang dipacarinya. Dapat dilihat dari pernyataan berikut:
“Setelah bebas dari penjara, Bahar mendapati Rosna sudah kurang waras. Bahar meraung dan melolong panjang. Sejak saat itu, timbul dendam dalam dirinya terhadap tentara pusat sehingga di hatinya muncul rasa ingin balas dendam menghancurkan perempuan entah dengan cara apa. Dendam itulah yang selalu menggelora dalam hatinya”
Dalam novel ini menggambarkan perubahan sosial yang dialami oleh para tokoh, pada bagian pertama ada Rosna yang mengalami perubahan akibat dari pelecehan yang terjadi terhadapnya yang dilakukan oleh tentara. Dimana Rosna mengalami gangguan mental dan kurang waras ia menjadi pemurung, sering berteriak histeris dan berperilaku seperti anak sekolah, dapat dilihat dari kutipan berikut:
“ Ia bertingkah seperti seorang anak sekolah yang akan berangkat sekolah, setiap pagi ia mandi, berpakaian rapi, dan kemudian makan dan mengambil tas. Rosna keluar rumah, namun sampai di pagar ia akan berteriak histeris, lalu berlari balik ke rumah dan terisak-isak di pangkuan Mak. Dst…” (halaman 7).
“ Rosna divonis mengalami gangguan jiwa. Tatapannya kosong dan ketika diajak bicara, ia tidak merespon apa-apa” (halaman 162)
Retno, seorang anak mantan tentara juga mengalami perubahan akibat dari balas dendam yang dilakukan oleh Bahar kakaknya Rosna dapat dilihat dari pernyataan berikut:
“Akibat dari peristiwa itu, Retno menjadi pemurung. Ia tidak bersemangat menyelesaikan skripsinya. Dst..” (halaman 11).
Novel Bergolak Derita Anak Negeri karya Armini Arbain dan Ronidin merupakan sebuah karya sastra yang menggambarkan bagaimana perang dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Melalui novel ini, kita dapat memahami bagaimana pengaruh ideologi politik dan kekerasan dapat mempengaruhi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian, novel ini memberikan gambaran tentang pentingnya memahami konteks sosial dalam menganalisis karya sastra. Selain itu, novel ini juga menunjukkan bahwa ada harapan untuk memulai kembali dan hidup bahagia setelah melewati masa-masa sulit. Dengan bahasa yang mudah dipahami dan cerita yang mengalir, novel ini berhasil menggambarkan kompleksitas masyarakat pada masa perang dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Oleh karena itu, novel Bergolak Derita Anak Negeri dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk memahami sejarah dan dampaknya terhadap masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, A., dan Ronidin (2019). Bergolak Derita Anak Negri. Penerbit Erka.

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DALAM NOVEL BERGOLAK DERITA ANAK NEGERI

Ironi dan Sarkasme dalam Cerpen AYAH, ANJING Karya Yusrizal KW
