Opini
Dampak Perang Terhadap Perempuan dan Anak

Published
11 years agoon
By
Mitra Wacana

arif sugeng widodo
Oleh Arif Sugeng Widodo
Perang terjadi di beberapa wilayah di dunia, situasi yang tidak aman bagi penduduk sipil tersebut terpaksa terjadi karena banyak alasan. Serangan tentara Israel ke Palestina dan juga perang karena konflik sektarian di Irak dan Suriah saat ini menjadi perhatian masyarakat dunia. Belum lagi perang saudara di Ukraina dan berbagai perang dibelahan bumi lainnya. Serangan Israel terhadap Palestina saat bulan suci ramadhan menjadi kejadian paling memilukan ditengah pelaksanaan ibadah puasa. Korban sipil di Palestina telah mencapai ribuan orang baik dari anak-anak, perempuan maupun lansia. Perang sektarian yang terjadi di Irak dan Suriah juga tidak kalah banyak, mencapai ribuan juga. Korban yang berjatuhan dalam perang tersebut bukan saja tentara atau orang yang murni mengangkat senjata tapi masyarakat sipilpun tidak luput menjadi korban dalam perang. Korban berjatuhan dari anak-anak, perempuan dan lansia padahal mereka tidak terlibat langsung dalam peperangan.
Data yang tercatat dalam majalah Tempo edisi 11-17 Agustus 20014 korban penyerangan Israel ke Palestina terdiri lebih 400 anak tewas selama penyerangan, 2.500 anak cedera. Tentunya itu bukan angka yang sedikit, banyak, bahkan kelewat banyak untuk korban yang tidak berdosa yang tidak terlibat langsung dalam “perang” dengan tentara Israel. Bahkan jika ada satu anakpun yang tewas atau cedera karena serangan Israel itupun sudah tidak adil bagi sang anak. Kenapa “perang” saya kasih tanda kutip karena menurut Noam Chomsky apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina itu bukan perang tapi pembunuhan.
Perang dan konflik senjata kadang tidak bisa melihat korbannya apakah anak-anak, ibu-ibu maupun lansia. Serangan rudal yang dilancarkan oleh Israel tidak pandang bulu menyasar ke pemukiman warga palestina. Bukan saja target yang katanya adalah sarang kelompok Hamas target dari roket tersebut menyasar gedung-gedung public, dari sekolahan, masjid, rumah sakit bahkan gedung PBB pun menjadi sasaran rudal-rudal Israel. Di media televisi terliha kepedihan warga palestina, tangisan ibu yang kehilangan anak maupun suaminya, tangisan anak yang kehilangan orang tuanya, tangisan warga yang terluka. Betapa serangan Israel telah menghancurkan kedamaian Palestina tidak saja satu atau dua keluarga tapi ratusan bahkan ribuan keluarga atau tepatnya seluruh warga Palestina.
Dalam waktu yang bersamaan di wilayah yang masih berdekatan muncul serangan terhadap warga sipil di Irak dan Suriah yang dilakukan oleh ISIS (Islamic State of Iraq dan Syria). Perang sektarian yang terjadi di Irak pasca runtuhnya kekuasaan Saddam Husein sepertinya tidak kunjung selesai bahkan menunjukkan kerunyaman lebih lanjut. Militan ISIS melakukan berbagai tindakan brutal tidak saja pada lawannya tapi juga masyarakat sipil yang tidak sepaham dengannya. Seperti diberitakan oleh Liputan 6 mengutip dari Reuters (11/8/2014) para militan ISIS telah mengubur hidup-hidup wanita dan anak-anak serta 300 perempuan dijadikan budak. Tidak itu saja tindakan keji militan yang membunuh tawanan secara keji juga jauh dari apa yang mereka sebut menegakkan Negara Islam. Korban masyarakat sipil di Irak selalu ada bahkan mungkin lebih besar dari pihak-pihak yang terlibat perang secara langsung. Sejak serangan Amerika Serikat ke Irak untuk meruntuhkan kekuasaan Saddam Hussein warga sipil sudah banyak yang menjadi korban dan itu terus berlanjut sampai saat ini, dan semua korban yang berjatuhan tersebut ada karena perang.
Bergeser agak jauh dari wilayah Timur Tengah, di Afrika tepatnya di Nigeria juga ada peristiwa yang memilukan yaitu diculiknya 200 lebih siswa perempuan di suatu sekolah di Nigeria oleh militan Boko Haram. Konflik di Nigeria tersebut juga membawa korban dari masyarakat sipil. Tidak jauh dari Indonesia konflik sektarian juga terjadi di Thailand antara penduduk muslim dan Budha. Saat berbicara penduduk tentu didalamnya ada perempuan, anak-anak dan lansia dengan adanya konflik tentu hal tersebut membuat kehidupan mereka tidak lagi aman apalagi nyaman. Tidak jauh dari Thailand konflik di Myanmar juga bikin miris hati saat suku minoritas Rohingya yang mayoritas muslim tersebut terusir dari tanah tempat lahir mereka karena berkonflik dengan penganut Buddha garis keras.
Penduduk Rohingya akhirnya harus mengungsi ke daerah lain untuk menghindari pertumpahan darah. Dari penduduk Rohingya tersebut tentu ada kaum perempuannya, anak-anak dan juga lansia dan mereka juga harus menderita karena konflik yang ada. Di Indonesia juga sempat terjadi konflik sektarian di Ambon, Sambas serta beberapa wilayah lain di Indonesia. Konflik tersebut sudah terselesaikan, walaupun kalau tidak dijaga betul-betul konflik sektarian bisa kembali muncul. Sekilas menilik sejarah perang maka akan tergambar betapa perang menimbulkan penderitaan yang mendalam. Perang dunia pertama dan perang dunia kedua merupakan bukti sejarah betapa perang hanya menimbulkan kerusakan di muka bumi ini. Bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki tentu tidak saja menewaskan tentara jepang tapi juga warga sipil yang jumlahnya tentu sangat banyak.
Perang tentunya mempunyai dampak baik secara personal maupun sosial, baik lokal maupun interlokal. perang tidak hanya berdampak pada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perang tersebut tapi juga orang-orang yang tidak terlibat langsung dengan perang tersebut bisa mengalami dampak penderitaan akibat perang tersebut. Dampak perang sangat kompleks baik dari segi fisik maupun psikologis. Secara fisik bisa dilihat banyak bangunan hancur, kota tidak berbentuk lagi, bagi manusia atau makhluk hidup lainnya bisa menyebabkan kematian dan juga cacat seumur hidup. Secara psikologis perang bisa mengakibatkan trauma psikologis yang dalam, bisa mempengaruhi kejiwaan seseorang dan berakibat mengalami gangguan jiwa. Dalam situasi perang perempuan dan anak-anak serta lansia dalam posisi yang tidak diuntungkan. Sering terjadi kekerasan yang menimpa perempuan maupun anak-anak, baik kekerasan fisik maupun seksual.
Dalam situasi perang kehidupan anak-anak menjadi tidak normal, waktu seumuran mereka mestinya penuh keceriaan menjadi tangisan air mata dan kepedihan. Mestinya mereka bersekolah tapi harus berhenti karena harus mengungsi dan bersembunyi. Saat anak-anak di negeri lain yang damai bisa bermain dengan canda dan tawa mereka harus bermain petak umpet karena serbuan peluru atau rudal. Bagi perempuan situasi perang tentu sangat tidak nyaman apalagi yang mempunyai anak kecil atau masih mengandung. Mereka terpaksa mengungsi dengan persedian air dan makanan yang kadang sangat terbatas.
Kesehatan reproduksi mereka kadang terabaikan, kebutuhan terhadap pembalut misalnya bisa tidak terpenuhi. Mereka harus terus bergerak kalau tidak ingin ditangkap oleh pasukan musuh. Belum lagi jika terjadi pelecehan seksual dalam situasi perang, sejarah perang membuktikan banyak kasus perkosaan dan pelecehan seksual dalam situasi perang. Kalau menilik sejarah, perang rata-rata dilakukan oleh golongan maskulin. Perang sepertinya menjadi medan para maskulin untuk menunjukkan egonya, rasa gagahnya serta menunjukkan sebagai makhluk yang berkuasa. Perang adalah panggung bagi para maskulin menunjukkan kekuatan serta kekuasaan. Dalam situasi perang kadang perempuan dan anak-anak “dilindungi” tapi sejatinya adanya perang itu sendiri telah membahayakan bagi mereka dalam banyak aspek.
Perang, konflik dan berbagai tindakan kekerasan muncul dalam kehidupan ini. Berbagai peristiwa tersebut selalu berulang seperti tidak ada habis-habisnya. Korban sipil sudah tak terbilang lagi jumlahnya dan perang terus berlanjut dengan alasan yang kadang absurd dan mengada-ada. kedamaian sulit diwujudkan karena ego manusia yang ingin berkuasa terhadap yang lain. Bumi tidak dirawat dengan cinta kasih tapi dengan kebencian dan kekerasan.
Akankah kekerasan, konflik dan perang dibiarkan dan semakin menambah penderitaan warga sipil. Perlu usaha serius untuk menjaga perdamaian di bumi ini. Karena kalau perang dianggap menjadi “solusi” maka bisa jadi kita atau orang-orang terdekat kita yang akan jadi korban di masa depan. Mendorong perdamaian dan perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam berbagai situasi khususnya dalam situasi perang sangatlah diperlukan dan semoga hal ini menjadi perhatian internasional khususnya PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam menjalankan tugasnya menjaga perdamaian dunia.
You may like
Opini
Bridging the Gap: Access to Justice for Women in Rural Indonesia

Published
1 day agoon
21 April 2025By
Mitra Wacana
Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)
Article 27 of the 1945 Constitution affirmed that all citizens shall be equal before the law, underscoring a core principle of equality within the legal framework of Indonesia. This foundational concept is further reinforced through Article 28D(1); that every person shall be entitled to protection and equitable legal certainty as well as equal treatment before the law. This burdens the State to grant everyone the right to be equal before the law without any excuses. In 1984 Indonesia also ratified CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). These laws, while well-intentioned, have frequently fallen short of their goals. Over the years, cases have shown how laws failed to facilitate the protection of women and the prevention of sexual harassment in Indonesia. A key aspect of this is the difficulty women experiencing in gaining access to justice following sexual crimes.
This issue of access to justice for women who have experienced sexual violence is heightened in rural areas. Rural regions are not only more isolated in a geographic sense, but the remoteness of location also creates a scarcity of certain assets. There are fewer resources like lawyers, education on the law and other legal aids. This can make it even more difficult to obtain legal counsel and cause confusion around whether individuals are entitled to legal assistance as well as where they can find it. Many women are unaware of their rights or what legal avenues are available to them to address instances of sexual assault. These areas also lack access to essential legal technology such as systems for digital record-keeping.
This gap can create inefficiencies in case handling, particularly in cases of sexual assault where the documentation of incidents is vital to the provision of evidence. The resulting inefficiencies stemming from outdated or ineffective record systems can lead to lost or mismanaged evidence, creating obstacles to timely and efficient legal justice and undermining the credibility of the legal system. Furthermore, a lack of adequate support systems for victims in rural areas, for example advocacy groups or mental health services, can increase feelings of isolation and helplessness resulting in reduced reporting. It is particularly vital that these issues are addressed as a significant portion of reported sexual assaults originate in rural regions. In a survey of 735 court decisions involving the sexual abuse of women 78.1% of cases were from rural region, although many cases go unreported.
Rural regions and more isolated communities tend to have even greater social stigma around female sexual assault than more urban areas. Traditional values in these areas can prioritize family honour and the reputation of the community over individual rights. An example of how this can manifest is the fact that women in rural regions who are assaulted are frequently pressured to marry their rapist to avoid social stigma by both their family and the police. In 2020 in East Nusa Tenggara a fifteen-year-old rape victim was married off by her parents to her seventy-year-old rapist. This stigma is amplified by cultural norms and patriarchal attitudes that place the burden of blame on victims. As a result, victims fear damage to their reputations or even backlash from their families.
Cultural norms may also encourage reconciliation over the pursuit of legal recourse. There is often pressure to avoid legal action to reduce the perceived shame this would bring the families of women who have experienced sexual assault. Victims may also feel that the outcomes they can expect for reporting will be unsatisfactory and therefore decline to pursue formal justice, particularly in rural areas. This stigmatization not only discourages individuals from seeking legal recourse but also affects their mental health and physical well-being. The stigma could extend to the legal process, where victims may face revictimization through insensitive questioning or biased treatment, reinforcing a culture of silence and underreporting. There is also a trend in rural areas of police lacking sensitivity training when dealing with victims of sexual assault, resulting in a bias against claimants and a culture of victim-blaming, further disincentivising victims from reporting.
In recent years, Indonesia experienced progressive development towards its laws and regulations on sexual violence. For years, the Wetboek van Stratrecht (WvS) has been the sole reference of law on sexual violence in Indonesia. In general, the Dutch-inherited criminal code is not sufficient to accommodate the fast-changing dynamics of criminal law in Indonesia. For years, Indonesia applied a very limited definition of sexual violence that often ending up causing harm to victims and restricted the effectiveness of legal enforcement. The retributive nature of Indonesia’s criminal law also puts aside the victim’s rights and interests which a massive application of restorative justice in Indonesia’s criminal law has tried to reform. Indonesia has now enacted Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence which adopted a broader definition of sexual violence. The adoption of a broader definition of sexual violence could be seen from the inclusion of non-physical sexual harassment, marital sexual harassment, and online-based sexual violence.
Law Number 12 of 2022 also puts more focus on the victim compared to the old law as it is more perpetrator-oriented. The new law sets out a series of measures for the protection of the victim of sexual harassment such as medical and psychological guidance, restitution, rehabilitation, and also legal aid. The new law also recognises the importance of the victim’s own statements as well as digital evidence. However, despite the improvements shown by Law Number 12 of 2022, there have been a lot of obstacles in implementing the law. Law enforcement officers, especially police and prosecutors, are often poorly trained in handling sexual violence cases from a victim-centered perspective, resulting in many cases not being taken seriously or being overlooked. This also causes victims to doubt whether their cases would be taken seriously or if they would experience backlash for being the victims of sexual crimes.
The new law on sexual violence is expected to bring fresh air to the enforcement and eradication of sexual harassment in Indonesia. It is also in the spirit of applying the concept of restorative justice in Indonesia’s criminal law, while slowly leaving the long-adopted concept of retributive justice. In its formulation, the Government labelled Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence as a more accommodating law and provides more care to the victim by introducing more definitions of sexual violence, legal aid to the victim, restitution, and a higher sanction to the perpetrator. Despite all the claims made by the Government of the Republic of Indonesia, the law is far from what seems to be the objective of the law. One of the most vital points in ensuring the success of the implementation of the law is the legal enforcer. As perfect as it is, the law will not be ideal if the enforcement is weak.
In addition, the enforcement of the law in online-based sexual violence remains ineffective. The digital infrastructure provided by the government in battling with online-based sexual violence is insufficient and cannot accommodate the fast-paced development of the internet. This can result in victims being left untreated and the existing systems for protection and prevention of online sexual violence are very minimal. Overall, further work is required in order to facilitate better access to justice for women in rural Indonesia.