web analytics
Connect with us

Opini

DEMOKRASI DANGKAL ‘ITU’ BUTUH PARADIGMA PEREMPUAN !!!

Published

on

Waktu dibaca: 5 menit
Yoseph N. Benny

           Yoseph N. Benny

Perayaan Demokrasi Politik Hari-Hari Ini

Periode baru pemerintahan Jokowi-Ma’ruf; publik—khususnya perempuan—dipertontonkan pada teater politik klasik; menyajikan perdebatan-perdebatan seputar sistem legislasi nasional, yang melahirkan sejumlah rancangan produk-produk hukum kontroversial: sebut saja Omnibus Law, RUU Ketenagakerjaan dan RUU Ketahanan Keluarga.

Dari ketiga produk rancangan undang-undang yang diinisiasi pemerintahan, RUU Ketahanan Keluarga rupanya tak kalah sukses memancing “amarah” segenap elemen masyarakat: politikus, akademisi, maupun agen-agen sosial yang berkiprah di bidang advokasi dan perlindungan hak-hak perempuan.

Reaksi emosional ini sebetulnya hanya konsekuensi logis saja dari sikap publik merespons muatan ide patriarkis-misoginik yang termaktub dalam produk material RUU. Khususnya dalam rancangan RUU Ketahanan Keluarga; ada semacam gejala anti klimaks terhadap perjuangan advokasi perlindungan hak perempuan di ranah privat maupun publik. Ironisnya RUU ini justru diinisiasi oleh perwakilan dari sejumlah partai politik besar, termasuk perwakilan kelompok perempuan: Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar.

Pasal kontroversial yang paling disoroti adalah soal pembagian kerja suami dan istri, dalam Pasal 25 ayat (3) yang berbunyi: Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain: Wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; Menjaga keutuhan keluarga; serta Memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aneh memang, manakala konstruksi ideologi politik global (demokrasi global de facto)—khususnya belahan dunia selatan (Development Countries)—tengah dirancang ulang lewat adopsi cara berpikir perempuan sebagai worldview baru, muncul tendensi pembalikan justru dari praktik demokrasi politik kita hari-hari ini. Spirit reaksioner dangkal (tendensi perlawanan) ini tentu saja incompatible dengan arah baru peradaban politik global saat ini, di samping turut pula menyumbang tren negatif indeks demokrasi global. Ironisnya, perlawanan terhadap “demokrasi-feministik” (demokrasi yang mengadopsi nilai-nilai perempuan) ini justru berkembang dalam situasi politik di negara yang menyandang atribut global “negara ke-3 demokratis”.

Pada titik ini perlu diperiksa logikanya: kira-kira tendensi pembalikan reaksioner praktik politik lokal terhadap isu demokrasi-feministik  global ini utamanya disebabkan oleh problem epistemik, yakni secara konseptual, makna historis demokrasi yang berkembang dalam kultur  patriarkat Barat itu tak mampu berdamai dengan cara berpikir feminisme, atau ini hanya gejala cacat praktik yang muncul secara partikular saja dalam konteks tradisi politik tertentu, akibat kerancuan berpikir elite-elite politik lokal.

Demokrasi Dangkal Butuh Paradigma Perempuan

“Demokrasi adalah permainan di antara orang-orang rasional”, ucap Rocky Gerung, pengamat politik, dalam salah satu pidatonya,—dan saya sepakat pada proposisi ini. Memang demikianlah status eksistensial—das sein (faktual) pun das solen (ideal normatif)—demokrasi. Demokrasi mengandaikan kesepakatan rasional  para pemegang kontrak—sekurangnya-kurangnya kesepakatan bahwa pemegang kontrak (individu, kelompok individu) berdasarkan pertimbangan rasional memilih demokrasi sebagai kerangka paradigmatik mengenai cara pandang (worldview) tertentu, sebagai norma etis mengenai cara bertindak, selain fungsi administratifnya sebagai sistem pengaturan politik.

Celakanya, makin meriap gelagat aneh sedemikian tak terelakkan dalam perayaan politik demokratis kita hari-hari ini.  Di satu pihak—bisa jadi ini secara intrinsik menyingkap kelemahan-kelemahan praktis dan cacat konsepsional sistem demokrasi liberal.

Manakala penggunaan nalar kritis menjadi fitur penting masyarakat politik modern; ketika segala sistem keyakinan mulai merelativisasi diri ke arah pengadopsian prinsip-prinsip nalar kritis sebagai langkah metodik merefleksi sekaligus merumuskan pengalaman-pengalaman sosial-politik secara baru; ketika sistem-sistem tradisi kultural me-reinvensi (penemuan kembali) diri dalam pengalaman-pengalaman politik rasional—sebagai hasil perkawinan silangnya dengan sistem pengetahuan ilmiah-rasional; pendeknya, ketika akal sehat menjadi semacam nafas peradaban modern, kenyataannya dalam penyelenggaraannya di negara ini, kehadirannya terus menerus dikangkangi, dicurigai, dianggap berbahaya—mengancam budaya bangsa, “ke-Barat-Baratan”, murtad, dan sekuler—,sehingga perlu diboikot operasionalisasinya; atau perlu dihalang-halangi penggunaannya.

Celakanya, pengangkangan terhadap akal sehat ini berarti bahwa paradigma politik masyarakat dijejali kembali dengan kerangka pikir dan cara baca sosial-politik lama, di mana simbol-simbol kedangkalan dianggap suci; keyakinan-keyakinan dogmatik yang melahirkan logika teologi-politik tertentu— bersandar pada teks-teks religi yang sebetulnya multi-tafsir, ketat dengan acuan referensialnya pada dimensi metafisik—dianggap sebagai kebenaran absolut; praktik “politik paternal” dinilai ritual politik sakral; dsb.,dsb..

Manifestasi kerancuan berpikir di atas berakar pada pedagogi politik yang buruk dari rezim politik berkuasa (The Rulling Government), di samping ketakmampuan rezim politik untuk memperkatakan secara jelas duduk perkara persoalan epistemik isu-isu strategis, misal: apakah Demokrasi-Pancasila berarti bahwa negara berpendirian, atau sekuler, atau teokratis, atau sekuler-teokratik; dan bagaimana duduk persoalannya, jika yang terakhir menimbulkan perkara: manakala di satu pihak legislasi hukum nasional menuntut pertimbangan rasional, di pihak lain tafsir Pancasila (ayat 1) menghendaki ketundukan akal sehat pada wahyu-wahyu dogmatis ketat; lantas, etika politik jenis mana yang mau dipakai: atau wahyu dogmatis menjadi landasan utama pengaturan perilaku politik masyarakat ilmiah rasional modern—dengan asumsi bahwa demokrasi kontemporer menghasilkan kultur masyarakat ilmiah-rasional, atau sebaliknya, dengan mengandaikan bahwa masyarakat  kita umumnya “berpola pikir” religius-mistik, sebaiknya diatur menggunakan tata cara ilmiah rasional; atau secara konsisten saja, masyarakat ilmiah rasional diatur lewat dalil ilmiah rasional, dan masyarakat religius-mistik diatur berdasarkan wahyu-wahyu dogmatis tadi.

Tapi, kerumitannya tak berhenti di situ: bagaimana pengaturan politik demokrasi di muka diterjemahkan dalam konteks, di mana sebagian masyarakat berkultur ilmiah-rasional, tetapi juga  sekaligus berkultur religius-mistik, bagaimana semestinya kebijakan politik hukum nasional dirumuskan dalam konteks ini. Tiap-tiap pilihan punya konsekuensi, termasuk penerapan Demokrasi Pancasila, yang secara terminologis kontradiktif (Contradictio in terminis) dan tumpang tindih itu.

Memang, platform demokrasi menyediakan ruang gerak bermain bebas (free interplay) bagi segala bentuk sistem berpikir di muka. Demokrasi menghendaki kemajemukan berpikir, pluraritas cara pandang, dan keanekaragaman bentuk ekspresi politik-kultural. Demokrasi  adalah medium politik, tempat segala macam sistem keyakinan berdialog dalam spirit “kebebasan” dan “kesetaraan” (kendati dua spirit ini ada dalam ketegangan paradoksal kontinual); tempat validitas dalil-dalil aksiomatis dari ragam keyakinan itu diuji, diverifikasi, ataupun dibatalkan lewat percakapan rasional. Ini berarti “yang rasional” dan “yang irasional” itu punya kesempatan yang sama untuk berjibaku dalam forum demokrasi, digaransi spirit kebebasan dan kesetaraan.

Demokrasi merupakan tempat tukar tambah pikiran, ruang kemungkinan hibridasi ragam keyakinan. Tapi juga sebaliknya, demokrasi dapat menjadi ‘Flavian Amphiteatre’, arena tempur “gladiator politik,”—ruang kemungkinan perang habis-habisan berbagai sistem keyakinan itu—bukan hanya dalam tataran ide abstraktif, tapi juga pertempuran fisik, antara para partisan yang tergabung dalam fragmen kelompok budaya, politik, dll., tempat ide abstraktif tadi mengaktualisasi diri menjadi tindakan praktis. Memang demikian, algoritma demokrasi diatur berdasar prinsip “Natural Selection” Darwinian.  “Darwinian Politik” ini berkiprah diam-diam dalam ruang politik demokrasi, menyediakan ruang kemungkinan bekerjanya mekanisme ‘survival of the fitest’, yang berarti bahwa ketegangan dan kompetisi menjadi keniscayaan politik demokratis . Aturannya, hanya yang “kuat” yang dapat bertahan dalam medan ekstrem demokrasi itu, sementara  “yang lemah” bagaimanapun akan dengan mudah tersingkirkan.

Akibat konsekuensial dari mekanisme macam ini adalah munculnya politik hegemoni di ruang publik, dan penguasa tunggalnya adalah kelompok politik dengan corak keyakinan tertentu, yakni kelompok yang secara kuantitatif terakumulasi sebagai suara mayoritas . Kelompok ini memonopoli percakapan publik, membabat habis wacana-wacana marginal tandingan, dan tampil dengan wacana-wacana dominan eksklusif. Sebetulnya, memang demikian pengertian dasar demokrasi. Demokrasi adalah kekuasaan eksklusif yang dijalankan oleh kelompok mayoritas, berdasarkan ras, etnis, suku bangsa, keyakinan religius, dll. Demikian, sistem ini rapuh, ringkih, kontradiktif dalam beberapa aspek, dan tumpang tindih dalam operasionalisasinya.

Celakanya, praktik budaya politik demokrasi kita mempertontonkan fenomena unik: kekuasaan mayoritas (ditranslasi menjadi kekuasaan rakyat) dikooptasi oleh kelompok minoritas, persisnya oleh elite oligarkis dalam lingkaran kekuasaan eksekutif. Secara substansial atribut kekuasaan memang berada pada kelompok mayoritas, tapi itu dibatalkan oleh kerja teknis prosedural kelompok kecil yang punya akses pada kekuasaan formal representatif; pada institusi dan birokrasi politik demokrasi. Implikasinya, logika pengaturan politik demokrasi pun berubah haluan: landasan pengaturan politik demokrasi tidak lagi didasarkan pada kerangka pikir substansial, alih-alih pada kerangka pikir pragmatis, dengan varian kepentingan politik di belakangnya. Politik diatur berdasarkan prinsip kepentingan kelompok oligarkis, demikian pula, rasio politik demokrasi persisnya adalah aktualisasi cara pikir elite penguasa; sementara penyelenggaraan keadilan dan kesetaraan tak lain adalah presentasi keyakinan ideologis entitas kelompok penguasa itu, bukan penyelenggaraan praktis kategori-kategori ide imperatif termaktub dalam sistem politik demokrasi—yang dengan alasan itu rakyat melandaskan rasionalitasnya dalam kesepakatan kontraktual pengadopsian sistem politik demokrasi.

Cacat praktis dan konseptual demokrasi di muka—yang saya sajikan sebagai prolog singkat tulisan ini—mengandaikan upaya baru perumusan ulang gagasan dasar secara radikal. Tepat pada posisi ini saya beranggapan bahwa demokrasi dangkal ini butuh asupan gagasan baru, yang dapat melengkapi sekaligus menuntun penyelenggaraan politik domestik kita  kembali pada  gagasan-gagasan substansial, yakni kontrak politik awal. Persis pada titik ini perspektif feminisme merupakan jawaban untuk segala carut marut dan cacat cela itu.

Editor: Arif Sugeng Widodo
[red.robi]

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Bentuk-Bentuk Kekerasan di Tempat Kerja

Published

on

Sumber: Freepik
Waktu dibaca: 2 menit

Oleh Wahyu Tanoto

Menurut studi yang dilakukan oleh Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) pada 2016 di Amerika Serikat, sekitar 75% orang yang mengalami pelecehan di tempat kerja tidak melaporkan kejadian kepada manajer, supervisor, atau perwakilan serikat pekerja. Salah satu alasan utama adalah karena merasa takut akan keamanan kerja serta takut kehilangan sumber pendapatan mereka. Selain itu ada beberapa faktor lain, seperti:

  1. Faktor relasi kuasa. Salah satu pihak memiliki kekuatan, posisi atau jabatan yang lebih tinggi atau dominan dibandingkan korban. Misalnya, antara bos dengan karyawan.
  2. Kebijakan perlindungan pekerja masih tidak jelas. Absennya perlindungan terhadap korban dapat menyebabkan korban merasa takut untuk melapor karena khawatir pelaku akan balas dendam dan melakukan kekerasan yang lebih parah.
  3. Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak tersedia. Misalnya, perusahaan belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) mengenai kekerasan seksual, sehingga tidak ada jalur pelaporan atau sanksi yang jelas.
  4. Budaya yang kerap menyalahkan korban, seperti: “Kamu sih ke kantor pakai baju seperti itu!” “Kamu ngapain memangnya sampai bos marah begitu?”

Namun, kemungkinan lain adalah karena banyak orang belum memahami atau tidak yakin perilaku apa saja yang melanggar batas dan dapat dikategorikan sebagai pelecehan atau kekerasan. Maka dari itu, yuk kita bahas apa saja bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan di tempat kerja!

Kekerasan verbal

Kekerasan verbal termasuk ucapan yang merendahkan, melakukan gerakan yang ofensif, memberikan kritik yang tidak masuk akal, memberikan cercaan atau komentar yang menyakitkan, serta melontarkan lelucon yang tidak sepantasnya. Beberapa contohnya adalah:

  • Mengirim email dengan lelucon atau gambar yang menyinggung identitas seseorang, seperti identitas gender, orientasi seksual, ras, atau agama.
  • Berulang kali meminta kencan atau ajakan seksual, baik secara langsung atau melalui pesan.
  • Membuat komentar yang menghina tentang disabilitas seseorang.
  • Mengolok-olok aksen berbicara (logat) seseorang.

Kekerasan psikologis

Perilaku berulang atau menjengkelkan yang melibatkan kata-kata, perilaku, atau tindakan yang menyakitkan, menjengkelkan, memalukan, atau menghina seseorang. Ini termasuk:

  • Mengambil pengakuan atas pekerjaan orang lain.
  • Menuntut hal-hal yang mustahil.
  • Memaksakan tenggat waktu (deadline) yang tidak masuk akal pada karyawan tertentu.
  • Secara terus-menerus menuntut karyawan untuk melakukan tugas-tugas merendahkan yang berada di luar lingkup pekerjaannya.

Kekerasan fisik

Pelecehan di tempat kerja yang melibatkan ancaman atau serangan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan. Misalnya:

  • Menyentuh pakaian, tubuh, baju, atau rambut orang lain.
  • Melakukan penyerangan fisik. Misalnya: memukul, mencubit, atau menampar.
  • Melakukan ancaman kekerasan.
  • Merusak properti pribadi. Misalnya: mengempeskan ban kendaraan, melempar ponsel orang lain.

Kekerasan berbasis digital

Ini merupakan berbagai bentuk kekerasan atau pelecehan yang dilakukan di ranah daring (online), seperti:

  • Memposting ancaman atau komentar yang merendahkan di media sosial.
  • Membuat akun palsu dengan tujuan merundung seseorang secara online.
  • Membuat tuduhan palsu.
  • Menyebarkan foto atau rekaman orang lain yang bersifat privat atau bernuansa seksual.

Kekerasan seksual

  • Rayuan seksual yang tidak diinginkan.
  • Melakukan sentuhan yang tidak pantas atau tidak diinginkan.
  • Melontarkan lelucon bernuansa seksual.
  • Membagikan media pornografi.
  • Mengirim pesan yang bersifat seksual.
  • Pemerkosaan dan kegiatan seksual lain yang dilakukan dengan paksaan.
  • Meminta hubungan seksual sebagai imbalan atau promosi pekerjaan.

Jika kamu atau teman kerjamu mengalami salah satu atau beberapa bentuk kekerasan seperti yang disebutkan di atas dan membutuhkan bantuan lembaga layanan, kamu bisa cek website https://carilayanan.com/ atau belipotbunga.com ya. Jangan ragu untuk segera mengontak lembaga layanan, karena mereka ada untuk membantu kamu!

Sumber

 https://carilayanan.com/kekerasan-di-tempat-kerja/

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending

EnglishGermanIndonesian