Opini
DEMOKRASI DANGKAL ‘ITU’ BUTUH PARADIGMA PEREMPUAN !!!

Published
5 years agoon
By
Mitra Wacana
Perayaan Demokrasi Politik Hari-Hari Ini
Periode baru pemerintahan Jokowi-Ma’ruf; publik—khususnya perempuan—dipertontonkan pada teater politik klasik; menyajikan perdebatan-perdebatan seputar sistem legislasi nasional, yang melahirkan sejumlah rancangan produk-produk hukum kontroversial: sebut saja Omnibus Law, RUU Ketenagakerjaan dan RUU Ketahanan Keluarga.
Dari ketiga produk rancangan undang-undang yang diinisiasi pemerintahan, RUU Ketahanan Keluarga rupanya tak kalah sukses memancing “amarah” segenap elemen masyarakat: politikus, akademisi, maupun agen-agen sosial yang berkiprah di bidang advokasi dan perlindungan hak-hak perempuan.
Reaksi emosional ini sebetulnya hanya konsekuensi logis saja dari sikap publik merespons muatan ide patriarkis-misoginik yang termaktub dalam produk material RUU. Khususnya dalam rancangan RUU Ketahanan Keluarga; ada semacam gejala anti klimaks terhadap perjuangan advokasi perlindungan hak perempuan di ranah privat maupun publik. Ironisnya RUU ini justru diinisiasi oleh perwakilan dari sejumlah partai politik besar, termasuk perwakilan kelompok perempuan: Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar.
Pasal kontroversial yang paling disoroti adalah soal pembagian kerja suami dan istri, dalam Pasal 25 ayat (3) yang berbunyi: Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain: Wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; Menjaga keutuhan keluarga; serta Memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aneh memang, manakala konstruksi ideologi politik global (demokrasi global de facto)—khususnya belahan dunia selatan (Development Countries)—tengah dirancang ulang lewat adopsi cara berpikir perempuan sebagai worldview baru, muncul tendensi pembalikan justru dari praktik demokrasi politik kita hari-hari ini. Spirit reaksioner dangkal (tendensi perlawanan) ini tentu saja incompatible dengan arah baru peradaban politik global saat ini, di samping turut pula menyumbang tren negatif indeks demokrasi global. Ironisnya, perlawanan terhadap “demokrasi-feministik” (demokrasi yang mengadopsi nilai-nilai perempuan) ini justru berkembang dalam situasi politik di negara yang menyandang atribut global “negara ke-3 demokratis”.
Pada titik ini perlu diperiksa logikanya: kira-kira tendensi pembalikan reaksioner praktik politik lokal terhadap isu demokrasi-feministik global ini utamanya disebabkan oleh problem epistemik, yakni secara konseptual, makna historis demokrasi yang berkembang dalam kultur patriarkat Barat itu tak mampu berdamai dengan cara berpikir feminisme, atau ini hanya gejala cacat praktik yang muncul secara partikular saja dalam konteks tradisi politik tertentu, akibat kerancuan berpikir elite-elite politik lokal.
Demokrasi Dangkal Butuh Paradigma Perempuan
“Demokrasi adalah permainan di antara orang-orang rasional”, ucap Rocky Gerung, pengamat politik, dalam salah satu pidatonya,—dan saya sepakat pada proposisi ini. Memang demikianlah status eksistensial—das sein (faktual) pun das solen (ideal normatif)—demokrasi. Demokrasi mengandaikan kesepakatan rasional para pemegang kontrak—sekurangnya-kurangnya kesepakatan bahwa pemegang kontrak (individu, kelompok individu) berdasarkan pertimbangan rasional memilih demokrasi sebagai kerangka paradigmatik mengenai cara pandang (worldview) tertentu, sebagai norma etis mengenai cara bertindak, selain fungsi administratifnya sebagai sistem pengaturan politik.
Celakanya, makin meriap gelagat aneh sedemikian tak terelakkan dalam perayaan politik demokratis kita hari-hari ini. Di satu pihak—bisa jadi ini secara intrinsik menyingkap kelemahan-kelemahan praktis dan cacat konsepsional sistem demokrasi liberal.
Manakala penggunaan nalar kritis menjadi fitur penting masyarakat politik modern; ketika segala sistem keyakinan mulai merelativisasi diri ke arah pengadopsian prinsip-prinsip nalar kritis sebagai langkah metodik merefleksi sekaligus merumuskan pengalaman-pengalaman sosial-politik secara baru; ketika sistem-sistem tradisi kultural me-reinvensi (penemuan kembali) diri dalam pengalaman-pengalaman politik rasional—sebagai hasil perkawinan silangnya dengan sistem pengetahuan ilmiah-rasional; pendeknya, ketika akal sehat menjadi semacam nafas peradaban modern, kenyataannya dalam penyelenggaraannya di negara ini, kehadirannya terus menerus dikangkangi, dicurigai, dianggap berbahaya—mengancam budaya bangsa, “ke-Barat-Baratan”, murtad, dan sekuler—,sehingga perlu diboikot operasionalisasinya; atau perlu dihalang-halangi penggunaannya.
Celakanya, pengangkangan terhadap akal sehat ini berarti bahwa paradigma politik masyarakat dijejali kembali dengan kerangka pikir dan cara baca sosial-politik lama, di mana simbol-simbol kedangkalan dianggap suci; keyakinan-keyakinan dogmatik yang melahirkan logika teologi-politik tertentu— bersandar pada teks-teks religi yang sebetulnya multi-tafsir, ketat dengan acuan referensialnya pada dimensi metafisik—dianggap sebagai kebenaran absolut; praktik “politik paternal” dinilai ritual politik sakral; dsb.,dsb..
Manifestasi kerancuan berpikir di atas berakar pada pedagogi politik yang buruk dari rezim politik berkuasa (The Rulling Government), di samping ketakmampuan rezim politik untuk memperkatakan secara jelas duduk perkara persoalan epistemik isu-isu strategis, misal: apakah Demokrasi-Pancasila berarti bahwa negara berpendirian, atau sekuler, atau teokratis, atau sekuler-teokratik; dan bagaimana duduk persoalannya, jika yang terakhir menimbulkan perkara: manakala di satu pihak legislasi hukum nasional menuntut pertimbangan rasional, di pihak lain tafsir Pancasila (ayat 1) menghendaki ketundukan akal sehat pada wahyu-wahyu dogmatis ketat; lantas, etika politik jenis mana yang mau dipakai: atau wahyu dogmatis menjadi landasan utama pengaturan perilaku politik masyarakat ilmiah rasional modern—dengan asumsi bahwa demokrasi kontemporer menghasilkan kultur masyarakat ilmiah-rasional, atau sebaliknya, dengan mengandaikan bahwa masyarakat kita umumnya “berpola pikir” religius-mistik, sebaiknya diatur menggunakan tata cara ilmiah rasional; atau secara konsisten saja, masyarakat ilmiah rasional diatur lewat dalil ilmiah rasional, dan masyarakat religius-mistik diatur berdasarkan wahyu-wahyu dogmatis tadi.
Tapi, kerumitannya tak berhenti di situ: bagaimana pengaturan politik demokrasi di muka diterjemahkan dalam konteks, di mana sebagian masyarakat berkultur ilmiah-rasional, tetapi juga sekaligus berkultur religius-mistik, bagaimana semestinya kebijakan politik hukum nasional dirumuskan dalam konteks ini. Tiap-tiap pilihan punya konsekuensi, termasuk penerapan Demokrasi Pancasila, yang secara terminologis kontradiktif (Contradictio in terminis) dan tumpang tindih itu.
Memang, platform demokrasi menyediakan ruang gerak bermain bebas (free interplay) bagi segala bentuk sistem berpikir di muka. Demokrasi menghendaki kemajemukan berpikir, pluraritas cara pandang, dan keanekaragaman bentuk ekspresi politik-kultural. Demokrasi adalah medium politik, tempat segala macam sistem keyakinan berdialog dalam spirit “kebebasan” dan “kesetaraan” (kendati dua spirit ini ada dalam ketegangan paradoksal kontinual); tempat validitas dalil-dalil aksiomatis dari ragam keyakinan itu diuji, diverifikasi, ataupun dibatalkan lewat percakapan rasional. Ini berarti “yang rasional” dan “yang irasional” itu punya kesempatan yang sama untuk berjibaku dalam forum demokrasi, digaransi spirit kebebasan dan kesetaraan.
Demokrasi merupakan tempat tukar tambah pikiran, ruang kemungkinan hibridasi ragam keyakinan. Tapi juga sebaliknya, demokrasi dapat menjadi ‘Flavian Amphiteatre’, arena tempur “gladiator politik,”—ruang kemungkinan perang habis-habisan berbagai sistem keyakinan itu—bukan hanya dalam tataran ide abstraktif, tapi juga pertempuran fisik, antara para partisan yang tergabung dalam fragmen kelompok budaya, politik, dll., tempat ide abstraktif tadi mengaktualisasi diri menjadi tindakan praktis. Memang demikian, algoritma demokrasi diatur berdasar prinsip “Natural Selection” Darwinian. “Darwinian Politik” ini berkiprah diam-diam dalam ruang politik demokrasi, menyediakan ruang kemungkinan bekerjanya mekanisme ‘survival of the fitest’, yang berarti bahwa ketegangan dan kompetisi menjadi keniscayaan politik demokratis . Aturannya, hanya yang “kuat” yang dapat bertahan dalam medan ekstrem demokrasi itu, sementara “yang lemah” bagaimanapun akan dengan mudah tersingkirkan.
Akibat konsekuensial dari mekanisme macam ini adalah munculnya politik hegemoni di ruang publik, dan penguasa tunggalnya adalah kelompok politik dengan corak keyakinan tertentu, yakni kelompok yang secara kuantitatif terakumulasi sebagai suara mayoritas . Kelompok ini memonopoli percakapan publik, membabat habis wacana-wacana marginal tandingan, dan tampil dengan wacana-wacana dominan eksklusif. Sebetulnya, memang demikian pengertian dasar demokrasi. Demokrasi adalah kekuasaan eksklusif yang dijalankan oleh kelompok mayoritas, berdasarkan ras, etnis, suku bangsa, keyakinan religius, dll. Demikian, sistem ini rapuh, ringkih, kontradiktif dalam beberapa aspek, dan tumpang tindih dalam operasionalisasinya.
Celakanya, praktik budaya politik demokrasi kita mempertontonkan fenomena unik: kekuasaan mayoritas (ditranslasi menjadi kekuasaan rakyat) dikooptasi oleh kelompok minoritas, persisnya oleh elite oligarkis dalam lingkaran kekuasaan eksekutif. Secara substansial atribut kekuasaan memang berada pada kelompok mayoritas, tapi itu dibatalkan oleh kerja teknis prosedural kelompok kecil yang punya akses pada kekuasaan formal representatif; pada institusi dan birokrasi politik demokrasi. Implikasinya, logika pengaturan politik demokrasi pun berubah haluan: landasan pengaturan politik demokrasi tidak lagi didasarkan pada kerangka pikir substansial, alih-alih pada kerangka pikir pragmatis, dengan varian kepentingan politik di belakangnya. Politik diatur berdasarkan prinsip kepentingan kelompok oligarkis, demikian pula, rasio politik demokrasi persisnya adalah aktualisasi cara pikir elite penguasa; sementara penyelenggaraan keadilan dan kesetaraan tak lain adalah presentasi keyakinan ideologis entitas kelompok penguasa itu, bukan penyelenggaraan praktis kategori-kategori ide imperatif termaktub dalam sistem politik demokrasi—yang dengan alasan itu rakyat melandaskan rasionalitasnya dalam kesepakatan kontraktual pengadopsian sistem politik demokrasi.
Cacat praktis dan konseptual demokrasi di muka—yang saya sajikan sebagai prolog singkat tulisan ini—mengandaikan upaya baru perumusan ulang gagasan dasar secara radikal. Tepat pada posisi ini saya beranggapan bahwa demokrasi dangkal ini butuh asupan gagasan baru, yang dapat melengkapi sekaligus menuntun penyelenggaraan politik domestik kita kembali pada gagasan-gagasan substansial, yakni kontrak politik awal. Persis pada titik ini perspektif feminisme merupakan jawaban untuk segala carut marut dan cacat cela itu.
Editor: Arif Sugeng Widodo
[red.robi]
Opini
Bridging the Gap: Access to Justice for Women in Rural Indonesia

Published
4 days agoon
21 April 2025By
Mitra Wacana
Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)
Article 27 of the 1945 Constitution affirmed that all citizens shall be equal before the law, underscoring a core principle of equality within the legal framework of Indonesia. This foundational concept is further reinforced through Article 28D(1); that every person shall be entitled to protection and equitable legal certainty as well as equal treatment before the law. This burdens the State to grant everyone the right to be equal before the law without any excuses. In 1984 Indonesia also ratified CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). These laws, while well-intentioned, have frequently fallen short of their goals. Over the years, cases have shown how laws failed to facilitate the protection of women and the prevention of sexual harassment in Indonesia. A key aspect of this is the difficulty women experiencing in gaining access to justice following sexual crimes.
This issue of access to justice for women who have experienced sexual violence is heightened in rural areas. Rural regions are not only more isolated in a geographic sense, but the remoteness of location also creates a scarcity of certain assets. There are fewer resources like lawyers, education on the law and other legal aids. This can make it even more difficult to obtain legal counsel and cause confusion around whether individuals are entitled to legal assistance as well as where they can find it. Many women are unaware of their rights or what legal avenues are available to them to address instances of sexual assault. These areas also lack access to essential legal technology such as systems for digital record-keeping.
This gap can create inefficiencies in case handling, particularly in cases of sexual assault where the documentation of incidents is vital to the provision of evidence. The resulting inefficiencies stemming from outdated or ineffective record systems can lead to lost or mismanaged evidence, creating obstacles to timely and efficient legal justice and undermining the credibility of the legal system. Furthermore, a lack of adequate support systems for victims in rural areas, for example advocacy groups or mental health services, can increase feelings of isolation and helplessness resulting in reduced reporting. It is particularly vital that these issues are addressed as a significant portion of reported sexual assaults originate in rural regions. In a survey of 735 court decisions involving the sexual abuse of women 78.1% of cases were from rural region, although many cases go unreported.
Rural regions and more isolated communities tend to have even greater social stigma around female sexual assault than more urban areas. Traditional values in these areas can prioritize family honour and the reputation of the community over individual rights. An example of how this can manifest is the fact that women in rural regions who are assaulted are frequently pressured to marry their rapist to avoid social stigma by both their family and the police. In 2020 in East Nusa Tenggara a fifteen-year-old rape victim was married off by her parents to her seventy-year-old rapist. This stigma is amplified by cultural norms and patriarchal attitudes that place the burden of blame on victims. As a result, victims fear damage to their reputations or even backlash from their families.
Cultural norms may also encourage reconciliation over the pursuit of legal recourse. There is often pressure to avoid legal action to reduce the perceived shame this would bring the families of women who have experienced sexual assault. Victims may also feel that the outcomes they can expect for reporting will be unsatisfactory and therefore decline to pursue formal justice, particularly in rural areas. This stigmatization not only discourages individuals from seeking legal recourse but also affects their mental health and physical well-being. The stigma could extend to the legal process, where victims may face revictimization through insensitive questioning or biased treatment, reinforcing a culture of silence and underreporting. There is also a trend in rural areas of police lacking sensitivity training when dealing with victims of sexual assault, resulting in a bias against claimants and a culture of victim-blaming, further disincentivising victims from reporting.
In recent years, Indonesia experienced progressive development towards its laws and regulations on sexual violence. For years, the Wetboek van Stratrecht (WvS) has been the sole reference of law on sexual violence in Indonesia. In general, the Dutch-inherited criminal code is not sufficient to accommodate the fast-changing dynamics of criminal law in Indonesia. For years, Indonesia applied a very limited definition of sexual violence that often ending up causing harm to victims and restricted the effectiveness of legal enforcement. The retributive nature of Indonesia’s criminal law also puts aside the victim’s rights and interests which a massive application of restorative justice in Indonesia’s criminal law has tried to reform. Indonesia has now enacted Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence which adopted a broader definition of sexual violence. The adoption of a broader definition of sexual violence could be seen from the inclusion of non-physical sexual harassment, marital sexual harassment, and online-based sexual violence.
Law Number 12 of 2022 also puts more focus on the victim compared to the old law as it is more perpetrator-oriented. The new law sets out a series of measures for the protection of the victim of sexual harassment such as medical and psychological guidance, restitution, rehabilitation, and also legal aid. The new law also recognises the importance of the victim’s own statements as well as digital evidence. However, despite the improvements shown by Law Number 12 of 2022, there have been a lot of obstacles in implementing the law. Law enforcement officers, especially police and prosecutors, are often poorly trained in handling sexual violence cases from a victim-centered perspective, resulting in many cases not being taken seriously or being overlooked. This also causes victims to doubt whether their cases would be taken seriously or if they would experience backlash for being the victims of sexual crimes.
The new law on sexual violence is expected to bring fresh air to the enforcement and eradication of sexual harassment in Indonesia. It is also in the spirit of applying the concept of restorative justice in Indonesia’s criminal law, while slowly leaving the long-adopted concept of retributive justice. In its formulation, the Government labelled Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence as a more accommodating law and provides more care to the victim by introducing more definitions of sexual violence, legal aid to the victim, restitution, and a higher sanction to the perpetrator. Despite all the claims made by the Government of the Republic of Indonesia, the law is far from what seems to be the objective of the law. One of the most vital points in ensuring the success of the implementation of the law is the legal enforcer. As perfect as it is, the law will not be ideal if the enforcement is weak.
In addition, the enforcement of the law in online-based sexual violence remains ineffective. The digital infrastructure provided by the government in battling with online-based sexual violence is insufficient and cannot accommodate the fast-paced development of the internet. This can result in victims being left untreated and the existing systems for protection and prevention of online sexual violence are very minimal. Overall, further work is required in order to facilitate better access to justice for women in rural Indonesia.

Warga Baciro dan Organisasi Lintas Iman Rancang Langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Pembaharuan Akta Organisasi, Mitra Wacana Kunjungi Bakesbangpol Bantul Bangun Komunikasi
