web analytics
Connect with us

Publikasi

Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Sipil

Published

on

Demokrasi, HAM dan Masyarakat Sipil
salah satu pendiri mitra wacana yogyakarta

Yos Soetiyoso

Prolog Buku Menyuarakan Kesunyian

Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.    Satu    adagium    yang    dikenal    hampir semua masyarakat di seluruh dunia dan sering digaungkan sebagai falsafah dasar Kedaulatan Rakyat Demokrasi, yang selanjutnya menjadi basis teori demokrasi di manapun.

Vox Populi Vox Dei tercatat pertama kali digunakan salah satunya oleh Alcuin dalam suratnya kepada Maharaja Charlemagne di penghujung abad ke-8. Pada abad ke-14 ungkapan ini dipopulerkan oleh Uskup Agung Walter Reynolds ketika muncul pergolakan terhadap Raja Edward II, sebagai dukungan terhadap gerakan yang berujung lengsernya sang raja. Pepatah ini semakin dikagumi ketika dikutip dalam traktat Partai Whig di Amerika Serikat pada abad ke-19.

Secara politik, munculnya ide demokrasi didasari oleh pemikiran bahwa rakyat sebagai pemilik sah suatu Negara. Karenanya, rakyatlah yang paling berhak menentukan gerak dan arah Negara. Meskipun demikian, pada kenyataannya penyelenggaraan Negara selalu didominasi oleh para elit baik dari sisi ide, maupun praktiknya. Proses pembangunan dijalankan secara teknokratis yang berarti mempercayakan pada elit kekuasaan. Rakyat hanya mengikuti dan menerima hasilnya. Ujungnya, baik atau buruk rakyat yang merasakan.

Di Indonesia, reformasi 24 tahun yang lalu merupakan koreksi atas pengalaman penyelenggaraan Negara selama 32 tahun di bawah kekuasaan Otoritarian Orde Baru. Sebagaimana layaknya koreksi, semestinya resultan yang dihasilkan adalah perbaikan. Itulah yang diharapkan oleh rakyat Indonesia. Namun benarkah telah terjadi perbaikan, menuju hal-hal yang lebih baik dari sebelumnya? Kita boleh menilainya dengan perspektif subjektif kita masing-masing, meskipun diharapkan dan semestinya juga memperoleh gambaran yang objektif.

Memang benar, bahwa runtuhnya Orde Baru membuka telah kran demokrasi di beberapa  hal. Sebagai contoh, ketika Orde Baru menanamkan red scare atau ketakutan terhadap  Komunis  di  mana ketika pemerintahan Soeharto membicarakan apalagi mempelajari Komunisme akan dianggap tabu bahkan melanggar hukum. Namun, pasca Reformasi 98, tap MPR No. 25 tahun 1966, yang mengatur tentang pelarangan paham Komunis, dicabut.

Selanjutnya, pelanggaran HAM berupa genosida yang dilakukan militer Indonesia terhadap lebih kurang satu setengah juta orang yang dianggap komunis atau berafiliasi dengan Partai Komunis,  diajukan  pada sidang Rakyat Internasional atau International People Tribunal 1965 (IPT 65) di Belanda. Hasil dari IPT 65 menyatakan Indonesia harus bertanggung jawab atas sepuluh tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1968 terhadap orang-orang yang dianggap berafiliasi terhadap Partai Komunis Indonesia.

Meskipun wacana-wacana demikian sudah bisa dibicarakan pada Pasca Reformasi, namun sampai hari ini tidak ada tindakan konkret apapun dari Negara atas kasus tersebut. Banyak pihak mengatakan  bahwa  hasil  paling nyata dari Reformasi adalah terjadinya demokratisasi. Pertanyaannya benarkah ada Daulat Rakyat sebagai dasar demokrasi? Benarkah sekarang telah berkembang partisipasi politik rakyat (bukan mobilisasi) tidak lagi massa mengambang (floating mass)—yang bergerak hanya karena dimobilisasi?

Salah satu hal yang pokok dan mendasar dari gerakan Reformasi tahun 1998 adalah demokratisasi untuk membebaskan Negara ini dari otoritarianisme Orde Baru. Satu harapan mulia untuk membawa rakyat, bangsa dan Negara ke arah yang lebih baik.

Pembebasan ini kemudian dimaknai beramai-ramai sebagai kebebasan setiap orang untuk mendirikan partai politik yang konon merupakan cerminan demokrasi dan kebebasan berserikat. Perijinan dan persyaratan dipermudah, bahkan dibantu secara finansial sebagai bentuk pelepasan dari belenggu otoritarianisme selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru.

Sebuah euforia kebebasan terjadi, bagai kuda lepas kandang. Maka, terjadilah sistem multi partai di negeri ini. Pemilu pertama setelah runtuhnya Orde Baru diadakan pada 7 Juni 1999, yang diikuti sebanyak 48 partai politik, yang dimenangkan oleh PDI-P. Pemilu selanjutnya diselenggarakan pada tahun 2004 yang berlangsung dua putaran untuk memilih DPR, DPRD dan capres cawapres yakni 5 April dan 5 Juli, diikuti oleh 24 partai. Semenjak tahun 2004 hingga saat ini, rakyat memiliki hak untuk memilih langsung wakil mereka.

Di bawah sistem multi partai ini, benarkah kedaulatan rakyat dapat diwujudkan? Pemilihan umum telah lima kali dilakukan. Konon, dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada rakyat untuk memilih dan menentukan sendiri wakil-wakilnya di parlemen dan para pemimpin eksekutif (dari bupati atau walikota, gubernur hingga presiden). Pertanyaannya apakah rakyat benar-benar memiliki kedaulatan untuk memilih dan menentukan sendiri wakil-wakilnya dan para pemimpin eksekutifnya?

Faktanya, rakyat sebagai konstituen hanya bisa memilih apa yang disodorkan oleh partai. Daftar calon telah disediakan oleh partai, begitu pula calon pemimpin eksekutif. Konstituen hanya bisa memilih diantara mereka yang tercantum dalam daftar calon. Disadari atau tidak, dalam hal seperti itu sesungguhnya telah terjadi kesenjangan antara partai dan rakyatnya. Inilah Elektokrasi. Dengan kata lain, melalui proses elektoral rakyat hanya dipinjam suaranya untuk melegitimasi para calon yang diusung partai—yang konon merupakan kader partai. Rakyat dipaksa harus mempercayainya.

Elektokrasi hanyalah sebuah mekanisme melegalkan seseorang untuk menduduki jabatan publik. Tidak urusan apakah dia bajingan, copet, penjahat kelamin, bajak  laut,  asalkan  terpilih  dalam  proses  elektoral, dia legal menduduki jabatan publik. Melalui model elektokrasi, istilah Konstituen nampaknya lebih digemari ketimbang Rakyat Partisipan. Padahal kata konstituen sama artinya dengan Konsumen dalam wacana pasar. Faktanya memang demikian. Ketika konstituen harus memilih wakil (legislatif) dan atau pemimpin (eksekutif) mereka tak ubahnya seperti konsumen masuk super market. Konsumen hanya bisa memilih (membeli) apa yang sudah dibuat pabrik atau perusahaan—tanpa bisa menawar harga maupun kualitasnya.

Meminjam istilah Negara tentang demokrasi pada hari ini dalam politik elektoral di Indonesia, corak demokrasinya adalah demokrasi borjuasi. Di mana pejabat-pejabat yang akan menduduki kursi eksekutif maupun legislatif harus memiliki uang dengan jumlah milyaran, atau setidaknya mereka memiliki sokongan dana. Benar jika rakyat  hanya  dipinjam  suaranya, untuk kepentingan-kepentingan beberapa gelintir orang saja. Melalui pemilihan umum, mereka akhirnya dapat mengamankan pos-pos penting untuk tujuan ekonomi mereka. Kunci dari demokrasi hari ini terletak pada kapital (modal).

Peran Masyarakat Sipil—Mungkinkah?

Demokrasi modern menempatkan partai politik sebagai komponen pokok. Dalam kaitan ini, semestinya partai politik mampu menjadi jembatan penghubung antara rakyat  dengan  pemegang  kekuasaan.  Ia menjadi artikulator yang menyerap apa yang menjadi problematika masyarakat untuk disuarakan dalam ruang kekuasaan. Secara sederhana bisa diumpamakan— bahwa ia berfungsi sebagai mikrofon, ke atas ia berfungsi sebagai loudspeaker. Hal sedemikian itu dapat terjadi jika komunikasi politik berlangsung dengan baik. Persoalannya adalah, adakah komunikasi politik antara partai dengan rakyatnya? Selama ini yang terjadi sebagaimana tersebut di depan, dalam politik elektoral rakyat hanya dipinjam suaranya untuk melegitimasi jabatan publik. Rakyat hanya dimobilisasi sebagai pemilih dalam proses elektoral. Kampanye-kampanyae partai politik atau para calonnya hanya semacam iklan shampoo tanpa konten pendidikan politik (mencerdaskan) sama sekali.

Dalam kondisi politik  seperti  di  atas,  apa  yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil dalam ikut serta meningkatkan kualitas demokrasi? Ada mekanisme hearing   atau   dengar   pendapat   yang    dilakukan oleh parlemen atau anggotanya—sebelum mereka mengesahkan undang-undang. Konon untuk menyerap aspirasi dari masyarakat sipil. Mereka mengundang eksponen masyarakat sipil, seperti NGO, aktivis ormas, akademisi, dan lain-lain. Benarkah ada aspirasi yang terserap dan kemudian masuk menjadi konten undang- undang yang akan diterbitkan? Alih-alih ada penyerapan aspirasi, forum-forum tersebut hanyalah formalitas sambil makan-makan enak di hotel mewah. Ada kalanya pressure dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil semisal “Fraksi balkon” yang kerap mengawal langsung jalannya sidang parlemen. Bahkan terkadang mampu mendesakkan pembahasan sebuah undang- undang (seperti masuknya RUU-TPKS dalam BALEG).

Terlepas dari berhasil atau tidaknya model desakan semacam itu, hal tersebut bukanlah merupakan mekanisme yang baik dalam demokrasi. Hidup, berkembang dan sehatnya demokrasi tergantung dari berlangsungnya komunikasi politik secara sehat. Tapi, itulah peran maksimal masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan (di Parlemen).

Peran maksimal lainnya yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil dalam proses pembuatan  kebijakan ada di tingkat komunitas pedesaan. Pengorganisasian masyarakat melalui berbagai isu—dalam hal tertentu dapat mendorong kelompok masyarakat agar berani memengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat desa.

Meskipun gerakan semacam ini sering menunjukkan hasil positif, namun sangat kecil (bahkan tidak ada) pengaruhnya terhadap perkembangan demokrasi di tingkat Negara. Sebagai contoh, pembuatan Rancangan Undang-undang (RUU) yang disusun secara tertutup. Seperti UU MINERBA, RKUHP dan UU Cipta Kerja. Undang-undang yang dinilai tidak berpihak pada rakyat seperti ini, butuh diperjuangan di luar parlemen dan ditujukan langsung kepada Negara.

Sebagai bentuk demokrasi, rakyat melakukan demonstrasi untuk menolak beberapa undang-undang tersebut. Aksi langsung dilakukan sebagai perwujudan demokrasi. Dalam  hal  ini  seharusnya  demonstrasi yang dilakukan rakyat sipil menjadi pertimbangan dalam proses hearing oleh parlemen dan anggotanya. Fakta di lapangan membuktikan lain. Sebagai contoh, penolakan UU Ciptaker pada 2020 lalu. Protes tersebar hampir merata di seluruh kota. Namun Negara—sebagai representasi kekuasaan—malah mengerahkan aparat keamanan bersenjata—sebagai alat untuk memadamkan upaya rakyat sipil dalam mengemukakan aspirasinya. Sejumlah 402 orang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian sebagai perpanjangan tangan Negara. Komunikasi politik semacam ini akhirnya hanya menemui jalan buntu.

Lebih mengenaskan lagi, problematiknya dari hari ke hari tidak pernah berubah; misalnya kasus human trafficking. Peran masyarakat sipil melalui gerakan NGO ibarat pemadam kebakaran. Selesai satu kasus, muncul kasus lain yang serupa dan hanya berputar-putar pada isu yang sama.

HAM dan Masyarakat Sipil

Rezim HAM pada dasarnya lebih diartikan sebagai perlindungan hak-hak masyarakat sipil di hadapan kekuasaan (yang dianggap terlalu kuat). Hal ini benar adanya jika berkaca dari pengalaman di bawah kekuasaan otoritarian Orde Baru. Salah satu isu sentral dalam perlawanan terhadap Orde Baru adalah isu HAM. Secara populer sering disebutkan bahwa salah satu penyebab runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah karena “Rudal DHL” (Demokratisasi, HAM dan Lingkungan Hidup.

Rezim HAM tidak berbunyi  di  hadapan  kasus antara masyarakat sipil dengan masyarakat sipil. Misalnya kelompok masyarakat tertentu melarang (dengan kekerasan) terhadap kelompok lainnya dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Sebagai contoh kasus, pengeboman tiga gereja di Surabaya pada 2018 lalu. Atau persekusi terhadap penganut Ahmadiyah di Lombok. Tidak pernah ada yang mempersoalkan bahwa hal seperti itu juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hak untuk beribadah dengan tenang sesuai ajaran masing-masing telah direnggut oleh kelompok- kelompok intoleran ini. Dalam kasus semacam itu, jika kemudian diproses maka akan diproses dengan menggunakan hukum pidana biasa.

Negara adalah satu-satunya institusi yang memiliki secara sah kekuatan memaksa melalui seperangkat aturan hukum dan aparat penegaknya. Pelanggaran HAM seturut Rezim HAM yang dianggap universal selalu dilakukan oleh Negara terhadap masyarakat sipil. Oleh karenanya, peran masyarakat sipil dalam penegakan HAM hampir selalu dalam posisi berhadapan dengan Negara. Hal semacam ini bisa dibenarkan jika dilakukan terhadap kekuasaan otoriter yang menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang.

Bagaimana halnya dengan penindakan secara tegas terhadap terorrisme oleh kelompok intoleran yang memaksakan kehendaknya terhadap kelompok lain dengan kekerasan, seperti kasus yang telah dicontohkan di atas, atau para human trafficker, bandar narkoba, kelompok separatis bersenjata, dan sebagainya.

Dalam hal di atas hampir tidak mungkin masyarakat sipil berperan dalam penegakan HAM, karena kasus- kasus di atas berada di luar paradigma Rezim HAM. Bisakah dibenarkan jika masyarakat sipil membantu penegakan Hak Asasi mereka sebagai manusia?

Dari kacamata lain, Rezim HAM yang selalu dikatakan universal adalah kepentingan politik global untuk melemahkan Negara. Negara yang lemah adalah prasyarat bagi berlangsungnya model Ekonomi Neo-liberal. Kendali masyarakat berada di tangan kapital dan fungsi Negara tidak lebih sebagai “Penjaga Malam” saja. Dalam skala kecil, model ini telah berhasil di Indonesia.

Di Indonesia hari ini kekuasaan riil berada di bawah kontrol oligarki dan pemilik kapital besar. Namun dalam skala global, ide politik ini belum terwujud secara penuh. Apalagi kini muncul raksasa ekonomi baru, yakni China dan segera disusul India. Seiring bergesernya pusat pertumbuhan ekonomi dunia dari Atlantik ke Pasifik, wajah dunia ke depan akan mengalami perubahan.

Peran Mitra Wacana sebagai NGO telah mengupayakan hal yang optimal. Membangun gerakan akar rumput di desa-desa, yaitu fokus pada pencegahan perdagangan manusia di Kulon Progo, menunjukkan kemajuan yang positif. Jika di atas telah disebutkan bahwa “Peran maksimal lainnya yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan adalah di tingkat komunitas pedesaan,” yang berarti Mitra Wacana telah melakukan hal yang disebut “maksimal” tersebut.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DALAM NOVEL BERGOLAK DERITA ANAK NEGERI

Published

on

Oleh : Natalia Zebua

Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

       Sosiologi berasal dari bahasa Latin, yaitu “socius” yang berarti “kawan” atau “teman”, dan “logos” yang berarti “ilmu pengetahuan”. Dengan demikian, sosiologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Sosiologi fokus pada mempelajari kenyataan masyarakat dan perubahannya, bukan tentang bagaimana masyarakat seharusnya. Sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat, sosiologi dapat dibedakan dari ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, sejarah, hukum, antropologi, dan psikologi. Namun, dalam prakteknya, sosiologi tidak dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu lain karena kehidupan masyarakat bersifat kompleks dan multidimensi.

       Sosiologi sastra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat yang terkait dengan sastra. Bidang ini mempelajari karya sastra dalam konteks sosial, termasuk pengaruh latar belakang pengarang, ideologi, kondisi ekonomi, dan khalayak yang dituju. Sosiologi sastra berfokus pada hubungan antara karya sastra dan masyarakat, menjadikan karya sastra sebagai objek kajian yang tidak terpisahkan dari konteks sosialnya. Dengan demikian, sosiologi sastra menawarkan pendekatan yang komprehensif untuk memahami karya sastra dalam dimensi sosialnya.

       Karya sastra adalah ekspresi kreatif manusia yang dituangkan dalam bentuk tulis atau lisan, mencerminkan pengalaman, perasaan, dan pemikiran imajinatif atau nyata melalui bahasa sebagai medianya. Salah satu bentuk karya sastra yaitu Novel. Novel adalah sebuah karya sastra yang berbentuk prosa dan biasanya memiliki narasi yang kompleks, karakter yang berkembang, dan plot yang terstruktur. Novel seringkali menggambarkan kehidupan nyata atau imajinatif. Novel Bergolak Derita Anak Negeri merupakan karya dari Armini Arbain dan Ronidin, yang terdiri dari 362 halaman, menampilkan karya sastra serius dengan gaya bahasa yang digunakan mudah untuk dipahami. Cara pengisahan dalam novel Bergolak Derita Anak Negeri cukup menggugah rasa ingin tahu, mengungkap suatu masalah dimasa lampau.

       Novel Bergolak Derita Anak Negeri karya Armini Arbain dan Ronidin menceritakan tentang derita anak negeri yang dialami oleh laki-laki dan perempuan selama masa perang PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958-1961. Novel ini terbagi menjadi tiga bagian yang menceritakan tentang penderitaan dan kekerasan yang dialami oleh tokoh-tokoh utama. Pada bagian pertama menceritakan derita anak perempuan, bagian kedua menceritakan derita laki-laki dan pada bagian ke tiga menceritakan pertemuan dan bahagia. Armini Arbain dan Ronidin berhasil mengungkap kisah pada masa lampau dengan bahasa yang mudah dipahami dan mengalir sehingga pembaca tertarik dan ingin membacanya.

       Pada bagian pertama novel Bergolak Derita Anak Negri menceritakan tentang derita perempuan yang dialami oleh Mainar dan Mirna. Mainar adalah seorang guru agama yang mengalami kegagalan dalam pernikahannya karena suaminya selingkuh. Sementara itu, Mirna adalah istri dari seorang wakil kepala sekolah yang tergoda oleh seorang guru baru bernama Suyono. Mirna akhirnya terjatuh dalam permainan Suyono dan melakukan perbuatan yang tidak pantas. Akibatnya, Mirna hamil di luar nikah dan suaminya ingin menceraikannya. Namun, Suyono membunuh Mirna dan membuatnya terlihat seperti bunuh diri.

       Pada bagian kedua novel Bergolak Derita Anak Negri menceritakan tentang derita laki-laki yang dialami oleh Sarman dan adiknya, Karman. Sarman adalah seorang tentara dadakan yang bergabung dengan PRRI, sementara Karman adalah seorang mahasiswa yang ditangkap oleh tentara APRI karena dianggap sebagai anggota komunis. Karman mengalami siksaan dan penyiksaan di penjara, namun akhirnya dibebaskan setelah perang usai.

       Pada bagian ketiga novel Bergolak Derita Anak Negri menceritakan tentang pertemuan antara Karman dan Rosna, seorang perempuan yang mengalami trauma masa lalu. Karman menyukai Rosna dan akhirnya melamarnya. Mereka menikah dan hidup bahagia. Novel Bergolak Derita Anak Negeri ini menggambarkan bagaimana perang dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Namun, novel ini juga menunjukkan bahwa ada harapan untuk memulai kembali dan hidup bahagia setelah melewati masa-masa sulit.

       Dari cerita novel Bergolak Derita Anak Negeri, beberapa fakta sosial, gejala sosial, dan perubahan sosial.

       Dalam novel ini menggambarkan bagaimana pengaruh perang PRRI dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Dalam novel ini juga menggambarkan tentang trauma perempuan akibat banyak tentara yang secara tidak hormat merenggut kehormatan para perempuan seperti yang dialami oleh Mirna dan Nur Aini. Tak hanya perempuan saja laki-laki pun juga banyak mengalami kekerasan, penyiksaan bahkan banyak yang terbunuh dapat disebut mendapati perlakuan dari tentara yang sudah termasuk kedalam pelanggaran hak asasi manusia. Dapat dilihat dari pernyataan berikut:

“Mereka membakar, menembaki, menyiksa, dan bahkan membunuh”

Dan juga pada masa itu muncul istilah:

“Tembak atas atau tembak bawah? Istilah tersebut adalah istilah yang dipakai untuk memberikan dua pilihan kepada perempuan oleh tentara OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat) maupun tentara pusat” (halaman 60).

       Tak hanya itu, dalam novel ini juga menggambarkan pengaruh ideologi politik yaitu dengan terjadinya perang PRRI dan APRI mempengaruhi kehidupan masyarakat dan menyebabkan konflik antara kelompok yang berbeda. Juga menggambarkan perubahan sosial dan trauma juga penyembuhan dimana dalam novel ini menggambarkan tokoh-tokoh utama mengalami trauma dan berusaha untuk menyembuhkan diri dari pengalaman buruk.

  

       Dalam novel ini menggambarkan penganiayaan dan penyiksaan yang dialami oleh para tahanan, kekerasan terhadap perempuan oleh tentara, trauma dan stres pasca trauma pada korban yang dialami oleh Rosna,  sehingga ia mengalami gangguan mental dan terjadilah balas dendam,  yang dilakukan oleh Bahar kakaknya Rosna terhadap anak mantan tentara yaitu Retno atau wanita-wanita yang dipacarinya. Dapat dilihat dari pernyataan berikut:

“Setelah bebas dari penjara, Bahar mendapati Rosna sudah kurang waras. Bahar meraung dan melolong panjang. Sejak saat itu, timbul dendam dalam dirinya terhadap tentara pusat sehingga di hatinya muncul rasa ingin balas dendam menghancurkan perempuan entah dengan cara apa. Dendam itulah yang selalu menggelora dalam hatinya”

 

       Dalam novel ini menggambarkan perubahan sosial yang dialami oleh para tokoh, pada bagian pertama ada Rosna yang mengalami perubahan akibat dari pelecehan yang terjadi terhadapnya yang dilakukan oleh tentara. Dimana Rosna mengalami gangguan mental dan kurang waras ia menjadi pemurung, sering berteriak histeris dan berperilaku seperti anak sekolah, dapat dilihat dari kutipan berikut:

“ Ia bertingkah seperti seorang anak sekolah yang akan berangkat sekolah, setiap pagi ia mandi, berpakaian rapi, dan kemudian makan dan mengambil tas. Rosna keluar rumah, namun sampai di pagar ia akan berteriak histeris, lalu berlari balik ke rumah dan terisak-isak di pangkuan Mak. Dst…” (halaman 7).

“ Rosna divonis mengalami gangguan jiwa. Tatapannya kosong dan ketika diajak bicara, ia tidak merespon apa-apa” (halaman 162)

      Retno, seorang anak mantan tentara juga mengalami perubahan akibat dari balas dendam yang dilakukan oleh Bahar kakaknya Rosna dapat dilihat dari pernyataan berikut:

“Akibat dari peristiwa itu, Retno menjadi pemurung. Ia tidak bersemangat menyelesaikan skripsinya. Dst..” (halaman 11).

 

       Novel Bergolak Derita Anak Negeri karya Armini Arbain dan Ronidin merupakan sebuah karya sastra yang menggambarkan bagaimana perang dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Melalui novel ini, kita dapat memahami bagaimana pengaruh ideologi politik dan kekerasan dapat mempengaruhi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian, novel ini memberikan gambaran tentang pentingnya memahami konteks sosial dalam menganalisis karya sastra. Selain itu, novel ini juga menunjukkan bahwa ada harapan untuk memulai kembali dan hidup bahagia setelah melewati masa-masa sulit. Dengan bahasa yang mudah dipahami dan cerita yang mengalir, novel ini berhasil menggambarkan kompleksitas masyarakat pada masa perang dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Oleh karena itu, novel Bergolak Derita Anak Negeri dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk memahami sejarah dan dampaknya terhadap masyarakat.

 

 

 

    

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amini, A., dan Ronidin (2019). Bergolak Derita Anak Negri. Penerbit Erka.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending