web analytics
Connect with us

Opini

“DEMOKRASI INDONESIA DIGILAS?”

Published

on

Penulis : Akbar Pelayati (Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Alauddin Makassar, juga merupakan Aktivis HMI MPO Cabang Makassar)

Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden Indonesia baru-baru ini telah mencuri perhatian global, memicu gelombang diskusi yang tak kunjung mereda. Dari polemik terkait batas usia calon hingga dugaan kecurangan, semua menjadi bahan pembicaraan hangat. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang diumumkan sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadi pusat sorotan tajam, dengan kubu lawan menuding hasil pemilu sebagai ‘pukulan’ bagi demokrasi.

Tidak hanya di tempat pemungutan suara (TPS), pertarungan politik juga memanas di ranah maya. Film dokumenter berjudul “Dirty Vote” menjadi topik perdebatan sengit, dengan sebagian melihatnya sebagai senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik. Di tengah riuhnya perdebatan ini, angka rekor suara Prabowo dan Gibran—mencapai angka fantastis 96,21 juta—seolah-olah menciptakan epik baru dalam sejarah pemilihan umum di seluruh dunia.

Namun, di balik gemerlapnya kemenangan, suara-suara dari kubu kosong satu dan tiga masih terus bergema. Kubu lawan menolak hasil pemilu dengan keras, menyebutnya sebagai ‘kemenangan kotor’ yang berpotensi merusak demokrasi. Sidang sengketa di Mahkamah Konstitusi menjadi tontonan menyakitkan bagi sebagian rakyat, karena di sinilah suara mereka diabaikan, dan politik tampaknya menginjak-injak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Dalam dinamika yang terus berkembang ini, pertanyaan besar mengemuka: Siapakah yang sebenarnya menginjak-injak demokrasi? Dalam sorotan terang panggung politik yang membutakan, kebenaran mungkin tengah tersembunyi di balik sorotan kamera dan klaim politik yang saling berbenturan.

Dalam upaya memahami kompleksitas dan dampak dari peristiwa ini, penting bagi kita untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana demokrasi Indonesia sesungguhnya berfungsi, dan bagaimana institusi-institusi yang ada menjalankannya.

Demokrasi, sebagai sistem pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat, harus memastikan bahwa setiap suara dihargai dan dipertimbangkan dengan cermat dalam proses pengambilan keputusan. Ini bukan hanya tentang pemenang dan pecundang dalam pertempuran politik, tetapi tentang integritas dan keberlanjutan dari fondasi demokrasi kita.

Perdebatan tentang integritas pemilu dan lembaga-lembaga demokratis di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sejarah telah mencatat berbagai tantangan dan kontroversi yang melanda proses demokratisasi negara ini sejak awal kemerdekaannya. Namun, apa yang perlu dipahami adalah bahwa dalam setiap fase perkembangan demokrasi, tantangan itu harus dihadapi dengan kepala tegak dan semangat kebersamaan untuk memperkuat sistem yang ada.

Penting bagi semua pihak—baik para pemimpin politik, lembaga-lembaga pemerintahan, maupun masyarakat sipil—untuk memperkuat komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari negara ini. Ini termasuk menjunjung tinggi aturan main yang adil, transparansi dalam proses politik, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang mendasar bagi setiap warga negara.

Lebih dari sekadar memenangkan pertempuran politik, yang lebih penting adalah memastikan bahwa fondasi demokrasi kita tetap kokoh dan tak tergoyahkan. Demokrasi bukanlah hasil akhir yang bisa diperoleh dengan satu pukulan, tetapi merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, kesabaran, dan kerja keras dari semua pihak yang terlibat.

Jadi, saat kita mempertanyakan siapa yang sebenarnya ‘menginjak-injak’ demokrasi, mari kita juga bertanya pada diri kita sendiri: Apakah kita telah melakukan bagian kita dalam membangun dan menjaga demokrasi yang sehat dan berkelanjutan?

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online

Published

on

Sumber: Freepik
 

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

The world has become increasingly interconnected, with the use of smartphones and the internet skyrocketing globally. Children and young adults in particular are heavy users of social media and are at the forefront of digital usage. This rise in digital engagement has brought with it a host of opportunities, but also significant risks for young users. As children navigate the online world, they are increasingly exposed to dangers such as cyberbullying, online sexual exploitation, and harmful content. Addressing online safety is thus an urgent priority for all countries. However, Indonesian children in particular have a high rate of access to the internet and all of the potential accompanying issues. 
 
According to the 2023 report by Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), over 80% of children aged 10-17 in Indonesia have access to the internet, with the majority engaging through mobile devices. Popular platforms include TikTok, YouTube, WhatsApp, and Instagram, often used without adequate supervision. While internet use can support learning and creativity, it also poses challenges when digital literacy and parental guidance are lacking. Many parents are less, or totally unfamiliar with some or all of these platforms, making it difficult to warn against same of the dangers of online engagement.
 
Children in Indonesia face a range of online risks. Cyberbullying has become prevalent on social media and there is also a risk of online grooming and sexual exploitation. These issues are exacerbated by the anonymity and accessibility of online communication, the ability of individuals to hide their identity emboldens them in their actions. ECPAT Indonesia noted a significant rise in online child sexual exploitation cases during the COVID-19 pandemic. Exposure to harmful content, including pornography, hate speech, and graphic violence, is also widespread and frequently insufficiently regulated. Girls in particular are more at risk of facing online harassment and discrimination.
 
Indonesia has enacted several laws to address online risks, including Law No. 11/2008 on Electronic Information and Transactions and Law No. 35/2014 on Child Protection. While these frameworks provide a foundation for action, enforcement remains inconsistent, and child-specific digital protections are still evolving. The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has launched digital literacy campaigns, but their reach and impact vary. Regional disparities and limited teacher training further constrain effective implementation.
 
To address this growing concern, the Indonesian government is preparing stronger safeguards for children on digital platforms. Inspired by recent steps taken by countries like Australia, Indonesia is considering a law that would restrict access to social media for users under the age of 16. The move follows increasing reports of online abuse and growing concerns among parents, educators, and child protection advocates. There has been a mixed response to this proposed safeguard, with some feeling it is overly restrictive and authoritarian while others feel it is a necessary measure to protect the mental health and safety of Indonesia’s children.
 
Kominfo is also working on interim child protection guidelines. These guidelines aim to regulate digital content, enforce stricter age verification mechanisms, and compel social media companies to take greater responsibility for harmful content on their platforms. While some critics worry about overregulation and the potential to limit young people’s access to information, many experts argue that the safety of children must come first. “Digital literacy alone is not enough,” says a child rights activist based in Jakarta. “We need infrastructure, policy, and corporate accountability to protect our children in cyberspace.”
 
There are various strategies that can be utilised to improve the safety of children online. In the home parents can be empowered with tools and knowledge about how to protect their children’s safety online through workshops. Schools can implement digital literacy programs into the curriculum to help children to understand the potential risks. Reporting systems for instances of online abuse can be created and made readily accessible and child-protection laws can also be enhance and updated to reflect the current online landscape.
 
Online safety for children in Indonesia is a pressing concern requiring coordinated action across sectors. With its growing digital youth population, Indonesia is well-positioned to lead regional efforts in child online protection. Prioritizing inclusive, culturally sensitive, and rights-based strategies will help ensure that all children can explore the digital world safely and confidently.
 
References
• APJII. (2023). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia.
• ECPAT Indonesia. (2020). Online Child Sexual Exploitation in Indonesia.
• Kominfo. (2023). Digital Literacy Campaigns.
• Raharjo, B. (2022). Digital Parenting in Indonesia: Challenges and Cultural Contexts.
• UNICEF Indonesia. (2021). Digital Literacy for Children and Adolescents in Indonesia.
• UNICEF Office of Research – Innocenti. (2020). Growing Up in a Connected World.
• UNESCO Jakarta. (2019). Safe Internet Use for Indonesian Youth.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending