web analytics
Connect with us

Opini

Dilema Seorang Pemimpin: Antara Netralisme dan Nepotisme

Published

on

Sumber gambar: Freepik

Zahid Fatiha
Mahasiswa tahun kedua dan pengamat organisasi mahasiswa

Tulisan ini diawali oleh statement menggelegar dari Pemimpin dari sebuah Negara Kepulauan di bagian Asia Paling tenggara. Pemimpin atau Presiden Indonesia, Joko Widodo dalam pernyataannya beberapa hari yang lalu mengemukakan statement ‘Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang paling penting, presiden itu boleh lho kampanye, boleh memihak’.Statement ini tentu memberi dampak atau impact yang lebih besar dari yang kita kira. Sebagaimana pemimpin yang pastinya menjadi contoh dari orang-orang yang dipimpinnya, tentunya nanti akan banyak orang-orang yang mencontoh atau mengapliksikan tindakan dari apa yang disampaikan oleh pemilunya. Dalam konteks ini, maka dengan statement yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo ini seolah-olah menjadi lampu hijau yang memberi jalan bagi munculnya nepotisme dalam suksesi kepemimpinan di lingkup organisasi, komunitas, dan tidak menutup kemungkinan sampai pada tingkat perusahaan dan pemerintahan.

Mengapa demikian? karena sepengamatan saya apabila pemimpin sudah bersifat subjektif dalam mengeluarkan statement atau dalam tindakannya. Maka sudah pasti identitas dari suatu organisasi akan menjadi sama dengan identitas dari individu pemimpin tersebut. Sedangkan secara etika, seorang pemimpin sudah tidak memiliki ranah pribadi lagi dalam memimpin kelompok yang ia pimpin. Segala kepentingan pribadi harus ia kubur dalam-dalam dan harus selalu memprioritaskan kepentingan organisasi. Semisalnya tidak ada suara kepentingan yang keluar dari kelompok yang ia pimpin, etikanya adalah aktif menanyakan dan meminta suara. Sehingga suara pribadi dari pemimpin ini memang benar-benar menjadi opsi terakhir.

Sebelum membahas terkait ‘Netralitas’ dan ‘Nepotisme lebih lanjut, perlu dijelaskan terlebih dahulu akar permasalahan dari kedua kata tersebut yaitu ‘Etika’. Etika sebagaimana dijelaskan dalam KBBI diartikan sebagai ‘Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)’. Sehingga yang bisa disimpulkan dari kalimat tersebut adalah melahirkan suatu kata kunci untuk mendefinisikan etika itu sendiri, yaitu ‘Akhlak’. Dalam penjelasan yang lebih sederhana menurut Rushworth M. Kidder dalam buku ‘How Good People Make Tough Choices’ (2009), definisi etika adalah ‘Ilmu karakter manusia yang ideal atau ilmu kewajiban moral yang mengacu pada faktor-faktor seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kasih sayang’. Penjelasan dari Rushworth M. Kidder ini seolah-olah mempersempit sudut pandang kita terkait etika ini, yang mana apabila merunut kepada penjelasa dari KBBI yang menuntut kita untuk mengartikan mana yang baik dan yang buruk, penjelasan dari Rushworth M. Kidder ini setidaknya memberikan gambaran bahwa aspek-aspek atau sebuah akhlak yang dimaksud dalam etika ialah: kejujuran, keadilan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kasih sayang. Maka merunut pada pembahasan topik kali ini,ada beberapa aspek yang dapat dimasukkan kedalam pembahasan terkait etika seorang pemimpin dalam mengatur suksesi dalam kelompok yang ia pimpin. Perlu dijunjung tinggi aspek keadilan,tanggung jawab,serta rasa hormat dari pemimpin itu sendiri kepada calon-calon penerusnya. Pemimpin harus bersifat adil dan memberikan kesempatan yang sama untuk para calon-calon pemimpin yang ada. Pemimpin juga harus memiliki tanggung jawab untuk mengawal proses suksesi dan memastikan bahwa proses suksesi berjalan sesuai dengan tata cara yang telah disepakati. Dan terakhir, seorang pemimpin harus menghormati anggota-anggotanya dan tidak memandang rendah anggotanya.

Selanjutnya memasuki pembahasan terkait ‘Netralisme’ dan ‘Nepotisme’.

Netralitas dalam KBBI diartikan sebagai ‘Keadaan dan sikap netral (tidak memihak atau bebas).’ Netralitas berarti menuntut seseorang atau kelompok untuk tidak memilih apabila diberikan suatu pilihan. Dalam suatu kelompok, netralitas sangatlah tidak disarankan kepada anggota-anggotanya. Karena apabila anggota-anggotanya bersifat netral, lantas tidak akan ada keputusan atau langkah yang dapat diambil. Lain ceritanya bagi pemimpin, pemimpin etikanya harus bersifat netral dan hanya menjadi muka bagi kelompoknya saja di muka umum. Pemimpin lah yang mendengar aspirasi kelompoknya, menyampaikan dengan suaranya. Pemimpin juga menjadi mata bagi para anggota-anggotanya dan menjadi kulit untuk melindungi kesalahan-kesalahan anggotanya. Namun, ada kalanya seorang pemimpin harus mengabaikan sikap netralitas yang ia junjung tinggi itu apabila memang masa depan kelompok tersebut dipertaruhkan dalam proses suksesi kepemimpinan. Apabila memang dirasa akan adanya potensi perubahan arah kelompok dari suksesi yang akan tiba,maka pemimpin dapat mengabaikan sikap netralitasnya dan mengeluarkan kebijakan atau tindakannya. Namun dengan catatan bahwa hal tersebut didasari atas keinginan anggota kelompok.

Terakhir, mengenai Nepotisme itu sendiri. Dalam KBBI dapat disimpulkan sebagai ‘Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat — Kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah — Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan’. Nepotisme ini dapat diartikan juga sebagai keberpihakan yang mana kecendrungan untuk memilih seseorang berdasarkan hubungan atau keuntungan yang akan diberikan dan bukan berdasar pada kompetensi yang ia miliki. Nepotisme ini secara pandangan singkat, merupakan suatu hal yang sangat buruk dan melambangkan kepentingan penguasa untuk memilih siapa penerusnya. Namun, pada kenyataannya tidak semua nepotisme merupakan hal yang buruk. Pada beberapa kesempatan, seorang pemimpin harus menunjukkan sedikit keberpihakannya agar dapat memberi motivasi bagi anggotanya agar suksesi dapat berjalan dengan baik. Karena pada kenyataanya, tidak semua suksesi berjalan dengan mulus. Bahkan pada kenyataannya ,banyak suksesi yang berjalan mulus karena adanya keberpihakan dari pemimpin itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, tidak ada kesalahan apabila pemimpin menunjukkan sikap nepotisme atau keberpihakannya dengan catatan apabila hal tersebut memang dikehendaki anggotanya.

Sampai pada titik ini, jujur saja pada awal mula akan menulis saya merasa bahwa kedua hal ini merupakan hitam dan putih ataupun baik dan buruk. Namun seiring diasahnya pemikiran dan diperbanyaknya kata-kata, terlihat bahwa kedua hal ini (Netralitas dan Nepotisme) pada akhirnya hanyalah sebuah bentuk atau upaya pemimpin dalam mengawal proses suksesi kepemimpinan. Selama kedua hal tersebut saat dilakukan memprioritaskan etika dan keinginan anggota, maka tidak ada yang salah dari yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Yang menjadi catatan dan perlu diperhatikan ialah, apakah tindakan pemimpin tersebut didasari untuk kepentingan kelompok ataukah kepentingan pribadi.

Sehingga pada titik ini, akan dikembalikan kepada pembaca untuk menilai. Bagaimanakah idealnya pemimpin bertindak dalam mengawal suksesi kepemimpinan? Hal apa yang harus dioptimalkan baik oleh anggota ataupun pemimpin suatu kelompok agar dapat melahirkan regenerasi yang baik?

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum

Published

on

Adam Tri Saputra
Kader Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari.

Dewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.

 

Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).

 

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).

 

Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).

 

Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.

 

Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).

 

Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending