Opini
Dilema Seorang Pemimpin: Antara Netralisme dan Nepotisme
Published
7 months agoon
By
Mitra WacanaTulisan ini diawali oleh statement menggelegar dari Pemimpin dari sebuah Negara Kepulauan di bagian Asia Paling tenggara. Pemimpin atau Presiden Indonesia, Joko Widodo dalam pernyataannya beberapa hari yang lalu mengemukakan statement ‘Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang paling penting, presiden itu boleh lho kampanye, boleh memihak’.Statement ini tentu memberi dampak atau impact yang lebih besar dari yang kita kira. Sebagaimana pemimpin yang pastinya menjadi contoh dari orang-orang yang dipimpinnya, tentunya nanti akan banyak orang-orang yang mencontoh atau mengapliksikan tindakan dari apa yang disampaikan oleh pemilunya. Dalam konteks ini, maka dengan statement yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo ini seolah-olah menjadi lampu hijau yang memberi jalan bagi munculnya nepotisme dalam suksesi kepemimpinan di lingkup organisasi, komunitas, dan tidak menutup kemungkinan sampai pada tingkat perusahaan dan pemerintahan.
Mengapa demikian? karena sepengamatan saya apabila pemimpin sudah bersifat subjektif dalam mengeluarkan statement atau dalam tindakannya. Maka sudah pasti identitas dari suatu organisasi akan menjadi sama dengan identitas dari individu pemimpin tersebut. Sedangkan secara etika, seorang pemimpin sudah tidak memiliki ranah pribadi lagi dalam memimpin kelompok yang ia pimpin. Segala kepentingan pribadi harus ia kubur dalam-dalam dan harus selalu memprioritaskan kepentingan organisasi. Semisalnya tidak ada suara kepentingan yang keluar dari kelompok yang ia pimpin, etikanya adalah aktif menanyakan dan meminta suara. Sehingga suara pribadi dari pemimpin ini memang benar-benar menjadi opsi terakhir.
Sebelum membahas terkait ‘Netralitas’ dan ‘Nepotisme lebih lanjut, perlu dijelaskan terlebih dahulu akar permasalahan dari kedua kata tersebut yaitu ‘Etika’. Etika sebagaimana dijelaskan dalam KBBI diartikan sebagai ‘Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)’. Sehingga yang bisa disimpulkan dari kalimat tersebut adalah melahirkan suatu kata kunci untuk mendefinisikan etika itu sendiri, yaitu ‘Akhlak’. Dalam penjelasan yang lebih sederhana menurut Rushworth M. Kidder dalam buku ‘How Good People Make Tough Choices’ (2009), definisi etika adalah ‘Ilmu karakter manusia yang ideal atau ilmu kewajiban moral yang mengacu pada faktor-faktor seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kasih sayang’. Penjelasan dari Rushworth M. Kidder ini seolah-olah mempersempit sudut pandang kita terkait etika ini, yang mana apabila merunut kepada penjelasa dari KBBI yang menuntut kita untuk mengartikan mana yang baik dan yang buruk, penjelasan dari Rushworth M. Kidder ini setidaknya memberikan gambaran bahwa aspek-aspek atau sebuah akhlak yang dimaksud dalam etika ialah: kejujuran, keadilan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kasih sayang. Maka merunut pada pembahasan topik kali ini,ada beberapa aspek yang dapat dimasukkan kedalam pembahasan terkait etika seorang pemimpin dalam mengatur suksesi dalam kelompok yang ia pimpin. Perlu dijunjung tinggi aspek keadilan,tanggung jawab,serta rasa hormat dari pemimpin itu sendiri kepada calon-calon penerusnya. Pemimpin harus bersifat adil dan memberikan kesempatan yang sama untuk para calon-calon pemimpin yang ada. Pemimpin juga harus memiliki tanggung jawab untuk mengawal proses suksesi dan memastikan bahwa proses suksesi berjalan sesuai dengan tata cara yang telah disepakati. Dan terakhir, seorang pemimpin harus menghormati anggota-anggotanya dan tidak memandang rendah anggotanya.
Selanjutnya memasuki pembahasan terkait ‘Netralisme’ dan ‘Nepotisme’.
Netralitas dalam KBBI diartikan sebagai ‘Keadaan dan sikap netral (tidak memihak atau bebas).’ Netralitas berarti menuntut seseorang atau kelompok untuk tidak memilih apabila diberikan suatu pilihan. Dalam suatu kelompok, netralitas sangatlah tidak disarankan kepada anggota-anggotanya. Karena apabila anggota-anggotanya bersifat netral, lantas tidak akan ada keputusan atau langkah yang dapat diambil. Lain ceritanya bagi pemimpin, pemimpin etikanya harus bersifat netral dan hanya menjadi muka bagi kelompoknya saja di muka umum. Pemimpin lah yang mendengar aspirasi kelompoknya, menyampaikan dengan suaranya. Pemimpin juga menjadi mata bagi para anggota-anggotanya dan menjadi kulit untuk melindungi kesalahan-kesalahan anggotanya. Namun, ada kalanya seorang pemimpin harus mengabaikan sikap netralitas yang ia junjung tinggi itu apabila memang masa depan kelompok tersebut dipertaruhkan dalam proses suksesi kepemimpinan. Apabila memang dirasa akan adanya potensi perubahan arah kelompok dari suksesi yang akan tiba,maka pemimpin dapat mengabaikan sikap netralitasnya dan mengeluarkan kebijakan atau tindakannya. Namun dengan catatan bahwa hal tersebut didasari atas keinginan anggota kelompok.
Terakhir, mengenai Nepotisme itu sendiri. Dalam KBBI dapat disimpulkan sebagai ‘Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat — Kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah — Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan’. Nepotisme ini dapat diartikan juga sebagai keberpihakan yang mana kecendrungan untuk memilih seseorang berdasarkan hubungan atau keuntungan yang akan diberikan dan bukan berdasar pada kompetensi yang ia miliki. Nepotisme ini secara pandangan singkat, merupakan suatu hal yang sangat buruk dan melambangkan kepentingan penguasa untuk memilih siapa penerusnya. Namun, pada kenyataannya tidak semua nepotisme merupakan hal yang buruk. Pada beberapa kesempatan, seorang pemimpin harus menunjukkan sedikit keberpihakannya agar dapat memberi motivasi bagi anggotanya agar suksesi dapat berjalan dengan baik. Karena pada kenyataanya, tidak semua suksesi berjalan dengan mulus. Bahkan pada kenyataannya ,banyak suksesi yang berjalan mulus karena adanya keberpihakan dari pemimpin itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, tidak ada kesalahan apabila pemimpin menunjukkan sikap nepotisme atau keberpihakannya dengan catatan apabila hal tersebut memang dikehendaki anggotanya.
Sampai pada titik ini, jujur saja pada awal mula akan menulis saya merasa bahwa kedua hal ini merupakan hitam dan putih ataupun baik dan buruk. Namun seiring diasahnya pemikiran dan diperbanyaknya kata-kata, terlihat bahwa kedua hal ini (Netralitas dan Nepotisme) pada akhirnya hanyalah sebuah bentuk atau upaya pemimpin dalam mengawal proses suksesi kepemimpinan. Selama kedua hal tersebut saat dilakukan memprioritaskan etika dan keinginan anggota, maka tidak ada yang salah dari yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Yang menjadi catatan dan perlu diperhatikan ialah, apakah tindakan pemimpin tersebut didasari untuk kepentingan kelompok ataukah kepentingan pribadi.
Sehingga pada titik ini, akan dikembalikan kepada pembaca untuk menilai. Bagaimanakah idealnya pemimpin bertindak dalam mengawal suksesi kepemimpinan? Hal apa yang harus dioptimalkan baik oleh anggota ataupun pemimpin suatu kelompok agar dapat melahirkan regenerasi yang baik?
You may like
Opini
Pengalaman Magang di Mitra Wacana Yogyakarta
Published
1 month agoon
9 December 2024By
Mitra WacanaSaya adalah mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang sedang menempuh semester akhir. Kewajiban magang membuat saya harus mencari tempat untuk menghabiskan setidaknya dua bulan berkegiatan di luar kampus. Saya mahasiswa jurusan Sosiologi, saya berminat pada pekerjaan sosial dan isu gender, khususnya perempuan. Maka ketika saya menemukan akun Mitra Wacana pada platform Instagram, saya segera mengonfirmasi tentang kesempatan magang di sana. Akhirnya, saya mendapat kesempatan magang di Mitra Wacana dari tanggal 1 Oktober – 30 November 2024 bersama dua teman saya.
Kesan di hari pertama tiba di kantor Mitra Wacana adalah bingung dan tentu saja, canggung. Tetapi seperti kebanyakan LSM yang saya ketahui, suasana kantornya sangat homey. Kami memilih untuk bergabung ke divisi pendidikan dan pengorganisasian, yang setelah itu saya tahu, dikoordinatori oleh Mas Mansur. Kebingungan berlanjut sampai hari-hari berikutnya, sebab kami harus menentukan sendiri program kerja yang akan kami laksanakan. Dengan kesadaran untuk berkembang dan mencari pengalaman, kami mengajukan tiga proker untuk kegiatan kami selama dua bulan; building capacity, diskusi tematik, dan mini riset.
Kami mulai berkegiatan pada minggu kedua bulan Oktober. Suasana antara staf dan mahasiswa magang mulai mencair. Saya dan kawan-kawan mulai bisa beradaptasi serta berdiskusi tentang latar belakang dan cerita masing-masing—tak lupa juga melontarkan banyak pertanyaan tanpa henti. Magang di Mitra Wacana sangat fleksibel. Jumlah agenda kami turun lapangan selama magang hanya satu kali, yaitu ke Kulon Progo untuk edukasi pencegahan KDRT. Hal ini dikarenakan pada bulan Oktober kemarin Mitra Wacana baru saja menyelesaikan program tahunan dan sedang dalam masa evaluasi. Maka kami berkegiatan sekenanya sambil berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan pengalaman.
Banyak ilmu yang saya dapatkan lewat proker yang kami susun. Di diskusi tematik, saya belajar mengorganisir suatu acara, yang pada saat itu bertemakan perempuan marginal, sehingga saya juga mendapat pandangan terkini mengenai isu gender dan marginalisasi perempuan. Pada kegiatan building capacity, saya mengetahui manajemen kerja NGO dan tetek-bengeknya.
Terakhir, yang menjadi pengalaman paling ‘nano-nano’ adalah pembuatan—pertama kalinya—sebuah mini riset. Pengerjaannya menuntut pikiran dan tenaga tetapi hasilnya begitu memuaskan. Kami berhasil merangkum pengetahuan serta pengalaman staf dalam riset yang berjudul “Perspektif Staf Mitra Wacana Terhadap Marginalisasi Perempuan di Desa Dampingan P3A”. Berbagai hasil dan hal-hal menyenangkan di Mitra Wacana tidak luput dari peran seluruh staf yang menciptakan lingkungan suportif dan sikap keterbukaan kepada mahasiswa magang. Magang di Mitra Wacana mendorong saya untuk berpikir lebih praktikal dan mengambil aksi mengenai isu gender yang selama ini hanya saya pahami dalam kepala.
Sekian, yang dapat saya tuliskan mengenai pengalaman ketika menjadi mahasiswa magang di Mitra Wacana. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih.