Opini
Dilema Seorang Pemimpin: Antara Netralisme dan Nepotisme

Published
9 months agoon
By
Mitra Wacana

Zahid Fatiha
Mahasiswa tahun kedua dan pengamat organisasi mahasiswa
Tulisan ini diawali oleh statement menggelegar dari Pemimpin dari sebuah Negara Kepulauan di bagian Asia Paling tenggara. Pemimpin atau Presiden Indonesia, Joko Widodo dalam pernyataannya beberapa hari yang lalu mengemukakan statement ‘Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang paling penting, presiden itu boleh lho kampanye, boleh memihak’.Statement ini tentu memberi dampak atau impact yang lebih besar dari yang kita kira. Sebagaimana pemimpin yang pastinya menjadi contoh dari orang-orang yang dipimpinnya, tentunya nanti akan banyak orang-orang yang mencontoh atau mengapliksikan tindakan dari apa yang disampaikan oleh pemilunya. Dalam konteks ini, maka dengan statement yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo ini seolah-olah menjadi lampu hijau yang memberi jalan bagi munculnya nepotisme dalam suksesi kepemimpinan di lingkup organisasi, komunitas, dan tidak menutup kemungkinan sampai pada tingkat perusahaan dan pemerintahan.
Mengapa demikian? karena sepengamatan saya apabila pemimpin sudah bersifat subjektif dalam mengeluarkan statement atau dalam tindakannya. Maka sudah pasti identitas dari suatu organisasi akan menjadi sama dengan identitas dari individu pemimpin tersebut. Sedangkan secara etika, seorang pemimpin sudah tidak memiliki ranah pribadi lagi dalam memimpin kelompok yang ia pimpin. Segala kepentingan pribadi harus ia kubur dalam-dalam dan harus selalu memprioritaskan kepentingan organisasi. Semisalnya tidak ada suara kepentingan yang keluar dari kelompok yang ia pimpin, etikanya adalah aktif menanyakan dan meminta suara. Sehingga suara pribadi dari pemimpin ini memang benar-benar menjadi opsi terakhir.
Sebelum membahas terkait ‘Netralitas’ dan ‘Nepotisme lebih lanjut, perlu dijelaskan terlebih dahulu akar permasalahan dari kedua kata tersebut yaitu ‘Etika’. Etika sebagaimana dijelaskan dalam KBBI diartikan sebagai ‘Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)’. Sehingga yang bisa disimpulkan dari kalimat tersebut adalah melahirkan suatu kata kunci untuk mendefinisikan etika itu sendiri, yaitu ‘Akhlak’. Dalam penjelasan yang lebih sederhana menurut Rushworth M. Kidder dalam buku ‘How Good People Make Tough Choices’ (2009), definisi etika adalah ‘Ilmu karakter manusia yang ideal atau ilmu kewajiban moral yang mengacu pada faktor-faktor seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kasih sayang’. Penjelasan dari Rushworth M. Kidder ini seolah-olah mempersempit sudut pandang kita terkait etika ini, yang mana apabila merunut kepada penjelasa dari KBBI yang menuntut kita untuk mengartikan mana yang baik dan yang buruk, penjelasan dari Rushworth M. Kidder ini setidaknya memberikan gambaran bahwa aspek-aspek atau sebuah akhlak yang dimaksud dalam etika ialah: kejujuran, keadilan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kasih sayang. Maka merunut pada pembahasan topik kali ini,ada beberapa aspek yang dapat dimasukkan kedalam pembahasan terkait etika seorang pemimpin dalam mengatur suksesi dalam kelompok yang ia pimpin. Perlu dijunjung tinggi aspek keadilan,tanggung jawab,serta rasa hormat dari pemimpin itu sendiri kepada calon-calon penerusnya. Pemimpin harus bersifat adil dan memberikan kesempatan yang sama untuk para calon-calon pemimpin yang ada. Pemimpin juga harus memiliki tanggung jawab untuk mengawal proses suksesi dan memastikan bahwa proses suksesi berjalan sesuai dengan tata cara yang telah disepakati. Dan terakhir, seorang pemimpin harus menghormati anggota-anggotanya dan tidak memandang rendah anggotanya.
Selanjutnya memasuki pembahasan terkait ‘Netralisme’ dan ‘Nepotisme’.
Netralitas dalam KBBI diartikan sebagai ‘Keadaan dan sikap netral (tidak memihak atau bebas).’ Netralitas berarti menuntut seseorang atau kelompok untuk tidak memilih apabila diberikan suatu pilihan. Dalam suatu kelompok, netralitas sangatlah tidak disarankan kepada anggota-anggotanya. Karena apabila anggota-anggotanya bersifat netral, lantas tidak akan ada keputusan atau langkah yang dapat diambil. Lain ceritanya bagi pemimpin, pemimpin etikanya harus bersifat netral dan hanya menjadi muka bagi kelompoknya saja di muka umum. Pemimpin lah yang mendengar aspirasi kelompoknya, menyampaikan dengan suaranya. Pemimpin juga menjadi mata bagi para anggota-anggotanya dan menjadi kulit untuk melindungi kesalahan-kesalahan anggotanya. Namun, ada kalanya seorang pemimpin harus mengabaikan sikap netralitas yang ia junjung tinggi itu apabila memang masa depan kelompok tersebut dipertaruhkan dalam proses suksesi kepemimpinan. Apabila memang dirasa akan adanya potensi perubahan arah kelompok dari suksesi yang akan tiba,maka pemimpin dapat mengabaikan sikap netralitasnya dan mengeluarkan kebijakan atau tindakannya. Namun dengan catatan bahwa hal tersebut didasari atas keinginan anggota kelompok.
Terakhir, mengenai Nepotisme itu sendiri. Dalam KBBI dapat disimpulkan sebagai ‘Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat — Kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah — Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan’. Nepotisme ini dapat diartikan juga sebagai keberpihakan yang mana kecendrungan untuk memilih seseorang berdasarkan hubungan atau keuntungan yang akan diberikan dan bukan berdasar pada kompetensi yang ia miliki. Nepotisme ini secara pandangan singkat, merupakan suatu hal yang sangat buruk dan melambangkan kepentingan penguasa untuk memilih siapa penerusnya. Namun, pada kenyataannya tidak semua nepotisme merupakan hal yang buruk. Pada beberapa kesempatan, seorang pemimpin harus menunjukkan sedikit keberpihakannya agar dapat memberi motivasi bagi anggotanya agar suksesi dapat berjalan dengan baik. Karena pada kenyataanya, tidak semua suksesi berjalan dengan mulus. Bahkan pada kenyataannya ,banyak suksesi yang berjalan mulus karena adanya keberpihakan dari pemimpin itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, tidak ada kesalahan apabila pemimpin menunjukkan sikap nepotisme atau keberpihakannya dengan catatan apabila hal tersebut memang dikehendaki anggotanya.
Sampai pada titik ini, jujur saja pada awal mula akan menulis saya merasa bahwa kedua hal ini merupakan hitam dan putih ataupun baik dan buruk. Namun seiring diasahnya pemikiran dan diperbanyaknya kata-kata, terlihat bahwa kedua hal ini (Netralitas dan Nepotisme) pada akhirnya hanyalah sebuah bentuk atau upaya pemimpin dalam mengawal proses suksesi kepemimpinan. Selama kedua hal tersebut saat dilakukan memprioritaskan etika dan keinginan anggota, maka tidak ada yang salah dari yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Yang menjadi catatan dan perlu diperhatikan ialah, apakah tindakan pemimpin tersebut didasari untuk kepentingan kelompok ataukah kepentingan pribadi.
Sehingga pada titik ini, akan dikembalikan kepada pembaca untuk menilai. Bagaimanakah idealnya pemimpin bertindak dalam mengawal suksesi kepemimpinan? Hal apa yang harus dioptimalkan baik oleh anggota ataupun pemimpin suatu kelompok agar dapat melahirkan regenerasi yang baik?
You may like


Annisa Aulia Amanda
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Andalas
Bahasa gaul telah menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi daring, membentuk cara individu berinteraksi dan mengekspresikan diri di ruang digital. Di platform media digital seperti Facebook, Instagram, Twitter terjadi komunikasi bahasa gaul dalam kelompok. Walaupun tidak memiliki batasan kelompok, namun tetap terjadi pengelompokan akibat ketertarikan akan satu hal yang sama.
Bahasa menurut Sasole dan Hadiwijaya (2024) adalah suatu sistem lambang bunyi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi, sebagaimana dilihat dari fungsinya bahwa fungsi bahasa itu untuk berkomunikasi dan interaksi. Bahasa memiliki berbagai variasi berdasarkan hal-hal tertentu, seperti situasi. Variasi bahasa atau ragam bahasa berdasarkan situasi dibagi menjadi dua, yaitu ragam bahasa santai atau akrab (non formal) dan ragam bahasa formal (Farhan, 2023).
Ragam bahasa formal adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal. Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan konvensi bahasa. Berbeda dengan bahasa santai atau akrab, adalah ragam bahasa yang biasa digunakan dalam masyarakat. Ragam bahasa ini lebih mudah dimengerti ketika digunakan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar karena tidak terlalu kaku. Salah satu yang termasuk dalam ragam bahasa santai atau akrab adalah bahasa gaul.
Bahasa gaul atau slang adalah bahasa yang sifatnya nonformal dan diciptakan oleh komunitas tertentu yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Istilah yang digunakan tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau padanan kata yang sesuai dengan konvensi bahasa. Tentu dalam berkomunikasi di komunitas, penggunaan slang tidak akan terhindarkan. Komunitas tentunya menciptakan istilah-istilah tertentu yang hanya diketahui oleh anggota komunitas tersebut.
Slang dapat dianggap sebagai kode-kode khusus yang hanya dipahami oleh beberapa komunitas. Slang adalah bentuk modifikasi bahasa yang menciptakan makna baru untuk komunikasi dalam komunitas yang bersifat musiman. Chaer dan Agustina mengemukakan bahwa slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia sehingga hanya sedikit orang yang memahaminya (Sasole & Hadiwijaya, 2024). Menurut Nabila, bahasa slang juga dapat dibentuk melalui pembentukan kata baru yang berasal dari bahasa asing dan pelesetan sehingga memiliki makna baru namun memiliki makna yang berkaitan (Fadli, Kasmawati, & Mastur, 2024). Menurut Fabelia, ciri-ciri slang adalah; 1) kata-kata tidak formal, 2) bahasa slang umumnya digunakan hanya untuk berbicara dibanding tulisan, dan 3) dipakai dalam konteks dan kelompok orang tertentu.
Penelitian mengenai slang menggunakan pendekatan sosiolinguistik, yang menurut Wardhaugh, Holmes, dan Hudson dalam Farhan (2023), merupakan disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik menghubungkan dua bidang yang biasanya dikaji secara terpisah yaitu struktur formal bahasa yang dianalisis oleh linguistik dan struktur masyarakat yang dianalisis oleh sosiologi. Dalam konteks ini, kajian sosiolinguistik berfokus pada interaksi antara bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Oleh karena itu, slang, sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam komunitas tertentu, termasuk dalam kajian sosiolinguistik.
Contoh analisis data didapatkan dari unggahan Instagram pada akun webtoon.id. Webtoon.id merupakan komunitas penggemar platform komik digital tersebut. Berikut data yang ditemukan;
- Aku tiap melihat ayang gepengku
Istilah “gepeng” merupakan sinonim dari “pipih”. Istilah ini ditautkan untuk tokoh-tokoh komik, karena komik adalah karya seni 2 dimensi. Umumnya istilah ini ditujukan sebagai ejekan agar penggemar ingat karakter yang mereka sukai adalah tokoh komik semata.
- Menyala, Kapalku!
Istilah “kapal” merupakan kata yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu “ship”. “Ship” sendiri merupakan slang dari Bahasa Inggris yang merupakan penggalan dari kata “relationship” yang berarti “hubungan”. Istilah ini merujuk pada keinginan penggemar untuk satu tokoh memiliki hubungan dengan tokoh lainnya.
- Thor! Lu yang bener saja, thor!
Istilah “thor” merupakan penggalan dari kata Bahasa Inggris yaitu “author”. “Author” dalam Bahasa Indonesia adalah “pengarang”. Istilah ini merujuk pada pencipta karya.
- Si paling slow burn
Istilah “slow burn” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “pembakaran lambat”. Merujuk pada cerita yang amat lama untuk kedua tokoh saling mengungkap rasa dan memiliki hubungan. Terkadang satu pasangan itu membutuhkan seluruh series buku yang ada hanya untuk saling mengutarakan perasaan.
Kesimpulannya, keberadaan slang sangat dipengaruhi oleh masa dan komunitas yang menggunakannya sehingga maknanya sering kali hanya diketahui oleh anggota komunitas atau individu dengan kesamaan minat. Dalam konteks komunitas penggemar Webtoon di Instagram Webtoon.id, slang yang digunakan hanya dapat dipahami oleh mereka yang akrab dengan komik atau karya terkait lainnya. Bagi khalayak umum, memahami makna slang ini bisa menjadi tantangan. Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa dapat berfungsi sebagai alat identitas dan eksklusif sosial, menciptakan batasan-batasan linguistik yang membedakan anggota komunitas dari masyarakat umum.

Membangun Sinergi Media: Mitra Wacana Adakan Briefing Informal Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme Bersama Jurnalis

Slang Pada Kacamata Sosiolinguistik
