web analytics
Connect with us

Opini

Gelar Haji di Indonesia: Mencari Makna dalam Jejak Sejarah

Published

on

Sumber: freepik

Akbar Pelayati, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Alauddin Makassar, Juga merupakan Aktivis HMI MPO Cabang Makassar.

Apakah Anda pernah berpikir bahwa membanggakan gelar Haji di Indonesia bisa menjadi hasil dari warisan masa lampau yang tak bisa dielakkan? Tidak dapat disangkal bahwa gelar Haji telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya dan tradisi Indonesia. Namun, apakah Anda pernah berpikir tentang bagaimana sejarah dan konteks gelar ini dapat memberikan makna yang lebih mendalam?

Saat pertama kali diperkenalkan, gelar Haji memang diberikan sebagai tanda penghargaan atas pelaksanaan ibadah haji oleh individu yang bersangkutan. Namun, jangan terkecoh oleh kesederhanaan konsep ini. Gelar ini ternyata juga membawa jejak-jejak masa kolonial, ketika rezim penjajah mencoba memanfaatkannya untuk mencapai tujuan mereka.

Gelar Haji dalam konteks masa kolonial dapat diartikan sebagai alat kekuasaan yang memanipulasi komunitas Muslim. Pemberian gelar ini tidak hanya tentang penghormatan agama, tetapi juga menjadi instrumen untuk mendefinisikan struktur sosial berdasarkan otoritas penjajah. Ternyata, gelar yang seharusnya mewakili spiritualitas juga memiliki dimensi politik yang tak terhindarkan.

Namun, dalam kerumitan sejarah gelar ini, masyarakat Indonesia juga menemukan makna dan penghormatan yang berasal dari keyakinan pribadi. Bagi sebagian besar orang, gelar Haji bukan sekadar simbol status, tetapi juga cerminan dedikasi terhadap iman dan perjalanan rohaniah yang mendalam. Namun, pertanyaan mendasar muncul: Apakah membanggakan gelar Haji masih tetap relevan ataukah sebaiknya direfleksikan ulang dalam konteks sejarahnya yang rumit? Di tengah perubahan zaman yang terus berlangsung, kita memiliki peluang untuk menggali makna lebih dalam dari tradisi ini dan mengenali bagaimana hal ini berdampak pada identitas kita.

Sebagai masyarakat yang beragam dan inklusif, apakah kita dapat menemukan jalan tengah antara melihat gelar Haji sebagai warisan masa kolonial dan penghargaan pribadi terhadap keyakinan? Dalam refleksi ini, kita tidak hanya menggali akar sejarah, tetapi juga mencari cara agar tradisi ini tetap relevan dan bermakna dalam perjalanan rohaniah kita di dunia yang terus berubah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Published

on

Cinta Aulia Margaretha Habeahan
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Andalas

Estetika adalah cabang filsafat yang mempelajari keindahan. Estetika merupakan bagian dari seni, seni yang berhubungan dengan keindahan. Menurut Aristoteles (1993:28) keindahan menyangkut pada keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material, dan pandangannya dengan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia. Bagi karya sastra, estetika sebagai aspek-aspek keindahan sastra yang didominasi oleh gaya bahasa. Keindahan bahasa tidak terkandung dalam bentuk huruf melainkan dalam isi suatu karya. Maka dari itu, estetika dan sastra memiliki hubungan yang begitu erat, di mana estetika berperan sebagai landasan dalam memahami dan menciptakan keindahan suatu karya sastra.

Karya sastra begitu banyak memiliki keindahan gaya bahasa terutama yaitu puisi. Puisi merupakan ungkapan atau curahan hati penyair dan kumpulan bahasa yang setiap baitnya memiliki makna. Salah satu puisi yang memiliki keindahan bahasa yaitu puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar, yang ditulis pada 13 Juli 1943, dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949).

Dalam puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar ini bukan hanya sebuah lontaran emosi saja, melainkan suatu luapan kata-kata kelam, kegelisahan batin, dan pencarian makna dalam kehidupan. Melalui larik-larik yang pendek dan iteratif, Chairil menggambarkan dendam batin manusia yang tidak dapat diluapkan secara langsung.

Namun, melihat lebih jauh, puisi ini dapat dibedah melalui elemen estetika – dari segi pendekatan estetika dan semiosis (tanda dan makna). Berikut puisi ‘Dendam’ karya Chairil Anwar:

Dendam

Berdiri tersentak

Dari mimpi aku bengis dielak

Aku tegak

Bulan bersinar sedikit tak nampak

Tangan meraba ke bawah bantalku

Keris berkarat kugenggam di hulu

Bulan bersinar sedikit tak nampak

Aku mencari

Mendadak mati kuhendak berbekas di jari

Aku mencari

Diri tercerai dari hati

Bulan bersinar sedikit tak nampak

13 Juli 1943

Sumber: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)

 

Semiosis yang digunakan Charles Sanders Peirce sebagai tindak pertandaan, proses pertandaan, atau proses semiotis. Sehingga, dapat menelusuri bagaimana makna-makna tersembunyi dalam puisi yang dibentuk melalui system tanda.

  • Dari mimpi aku bengis dielak

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata bengis yaitu kejam, penderitaan, tajam dan pedas; sedangkan kata dielak ialah imbuhan yang membentuk kata kerja pasif dari kata elak yaitu menghindar. Maka, dari bait ini dapat disimpulkan ia terbangun dari mimpinya dengan perasaan yang kejam dan ada keinginan untuk membalas dendam.

  • Bulan bersinar sedikit tak nampak

Dalam bait ini bulan melambangkan perasaan, kemampuan, bahkan harapan, dan puisi ini ditandai dengan kegelapan, cahaya bulan yang tak terlihat lagi. Maka, dimaknai sebagai harapan yang nyaris hilang.

  • Keris berkarat kugenggam di hulu

Kata keris sebagai simbol warisan, kekuatan, dan sekaligus kekerasan. Karat di keris menyiratkan bahwa dendam itu lama tersimpan, bukan sekadar amarah sesaat. Maka, kata keris dan berkarat membawa konotasi kekerasan, dan warisan dendam lama.

  • Diri tercerai dari hati

Bait ini menandakan ia tak hanya marah, tapi juga mendapatkan kehampaan dari hati, sekaligus kehilangan hubungan dengan jiwanya sendiri.

 

Maka, melalui pendekatan estetika dapat ditemukan bahwa keindahan dalam puisi ‘Dendam’ ini adanya kegelapan, dendam, dan kekosongan. Chairil Anwar tidak menunjukkan kedamaian, tapi memperlihatkan luka dan menghadirkan perasaan dan penderitaan dalam puisinya. Melalui semiosis Peirce, dapat dipahami bahwa puisi ini dapat system tanda yang kompleks. Dari kata-kata seperti keris, bulan, dan diri tercerai menjadi tanda-tanda yang menciptakan makna begitu terikat dengan trauma, kegelisahan batin, dan kekosongan hidup.

Continue Reading

Trending