web analytics
Connect with us

Opini

Hak Pendidikan Bagi Perempuan

Published

on

Mitra Wacana
Mitra wacana

Eviliana

Oleh Eviliana*

Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk menunjang banyak hal, salah satunya adalah untuk menunjang karir, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, ada pula seseorang yang memiliki kesuksesan meskipun tidak memiliki pendidikan formal yang “rumit”. Memiliki karir yang mantap artinya memiki ekonomi yang juga mantap. Baik dari hasil berbisnis ataupun bekerja.

Saat ini masih ada sebagian kecil masyarakat yang berpikir bahwa pendidikan “tidaklah begitu penting” bagi perempuan, karena bila pada saatnya nanti seorang perempuan akan menikah dan menjadi seorang istri, maka perempuan yang diberi nafkah oleh suami, bukan malah perempuan yang memberi nafkah kepada suami seperti kebanyakan orang sekarang ini. Tidak diragukan lagi mengenai istilah “ujung-ujungnya perempuan pasti kembali ke dapur juga”, karena semua itu adalah realita yang memang sulit untuk dibantahkan.

Selain untuk menunjang karir, pendidikan juga berfungsi untuk memperbaiki pola pikir, memperbanyak relasi, dan menambah wawasan yang mungkin akan berguna bagi diri sendiri, keluraga, sahabat, orang lain, dan khususnya bagi suami apabila suatu saat nanti perempuan menjadi seorang istri.

Setelah menjadi seorang istri, perempuan akan memiliki anak yang tentunya akan lebih dekat dengan ibunya dibandingkan dengan ayahnya sendiri, karena sebagian besar waktu seorang perempuan yang telah menikah biasanya dihabiskan di rumah, sehingga waktu bersama anakpun menjadi lebih banyak.

Seiring dengan perkembangan dunia, jika memiliki anak, maka akan banyak bertanya mengenai hal-hal baru yang ingin ia mengerti dan ia ketahui, dan disitulah saat yang tepat bagi seorang perempuan untuk menggunakan ilmu dan pengetahuan yang telah di dapat semasa ia menempuh pendidikan.

Salah satu hal penting saat ini adalah tentang peran seorang perempuan yang terkadang dilupakan setelah ia menjadi seorang istri yang tidak hanya sekedar menjadi teman tidur bagi suami maupun menyelesaikan segala pekerjaan rumah, baik itu yang berhubungan dengan kepentingan suami maupun anak.

Hal penting itu ialah peran seorang istri sebagai “partner hidup” suami, dimana seorang istri harus sanggup mendengarkan, memahami dan memberi masukan mengenai permasalah pekerjaan yang dihadapi suami. Karena tidak dipungkiri sebagian besar waktu laki-laki dipergunakan untuk mencari nafkah bagi keluraga, baik itu dengan berbisnis maupun bekerja. Pada saat itulah, bagi seorang istri pendidikan sangat bermanfaat, dan menurut saya itulah salah satu contoh kehidupan berkeluarga yang saling melengkapi. Sebaliknya, bagi suami juga harus memiliki pengetahuan yang komprehensif karena sebagai partner hidup istri bukanlah “suruhan” suami melainkan berbagi peran dalam urusan rumah tangga.

Pendidikan yang saya maksud, tidak harus selalu pendidikan formal yang diperoleh di bangku sekolah melainkan bisa datang dari lingkungan, kelompok-kelompok, organisasi perempuan, pertemuan kader dan warga atau dalam bentuk lainnya. Karena setiap lingkungan bisa dijadikan sarana pendidikan sebelum menempuh pernikahan.

Tidak menutup kemungkinan seorang perempuan juga bisa aktif di luar rumah seperti berorganisasi untuk melakukan hah-hal yang bermanfaat bagi keluarga dan orang-orang disekitarnya. Dengan catatan tanpa melupakan dan selalu melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu, sebaliknya hal ini juga berlaku juga terhadap laki-laki atau suami yang memiliki kegiatan di luar rumah tetap melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan berbagi peran.

*Penulis merupakan Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah magang di Mitra Wacana pada Tahun 2016

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online

Published

on

Sumber: Freepik
 

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

The world has become increasingly interconnected, with the use of smartphones and the internet skyrocketing globally. Children and young adults in particular are heavy users of social media and are at the forefront of digital usage. This rise in digital engagement has brought with it a host of opportunities, but also significant risks for young users. As children navigate the online world, they are increasingly exposed to dangers such as cyberbullying, online sexual exploitation, and harmful content. Addressing online safety is thus an urgent priority for all countries. However, Indonesian children in particular have a high rate of access to the internet and all of the potential accompanying issues. 
 
According to the 2023 report by Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), over 80% of children aged 10-17 in Indonesia have access to the internet, with the majority engaging through mobile devices. Popular platforms include TikTok, YouTube, WhatsApp, and Instagram, often used without adequate supervision. While internet use can support learning and creativity, it also poses challenges when digital literacy and parental guidance are lacking. Many parents are less, or totally unfamiliar with some or all of these platforms, making it difficult to warn against same of the dangers of online engagement.
 
Children in Indonesia face a range of online risks. Cyberbullying has become prevalent on social media and there is also a risk of online grooming and sexual exploitation. These issues are exacerbated by the anonymity and accessibility of online communication, the ability of individuals to hide their identity emboldens them in their actions. ECPAT Indonesia noted a significant rise in online child sexual exploitation cases during the COVID-19 pandemic. Exposure to harmful content, including pornography, hate speech, and graphic violence, is also widespread and frequently insufficiently regulated. Girls in particular are more at risk of facing online harassment and discrimination.
 
Indonesia has enacted several laws to address online risks, including Law No. 11/2008 on Electronic Information and Transactions and Law No. 35/2014 on Child Protection. While these frameworks provide a foundation for action, enforcement remains inconsistent, and child-specific digital protections are still evolving. The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has launched digital literacy campaigns, but their reach and impact vary. Regional disparities and limited teacher training further constrain effective implementation.
 
To address this growing concern, the Indonesian government is preparing stronger safeguards for children on digital platforms. Inspired by recent steps taken by countries like Australia, Indonesia is considering a law that would restrict access to social media for users under the age of 16. The move follows increasing reports of online abuse and growing concerns among parents, educators, and child protection advocates. There has been a mixed response to this proposed safeguard, with some feeling it is overly restrictive and authoritarian while others feel it is a necessary measure to protect the mental health and safety of Indonesia’s children.
 
Kominfo is also working on interim child protection guidelines. These guidelines aim to regulate digital content, enforce stricter age verification mechanisms, and compel social media companies to take greater responsibility for harmful content on their platforms. While some critics worry about overregulation and the potential to limit young people’s access to information, many experts argue that the safety of children must come first. “Digital literacy alone is not enough,” says a child rights activist based in Jakarta. “We need infrastructure, policy, and corporate accountability to protect our children in cyberspace.”
 
There are various strategies that can be utilised to improve the safety of children online. In the home parents can be empowered with tools and knowledge about how to protect their children’s safety online through workshops. Schools can implement digital literacy programs into the curriculum to help children to understand the potential risks. Reporting systems for instances of online abuse can be created and made readily accessible and child-protection laws can also be enhance and updated to reflect the current online landscape.
 
Online safety for children in Indonesia is a pressing concern requiring coordinated action across sectors. With its growing digital youth population, Indonesia is well-positioned to lead regional efforts in child online protection. Prioritizing inclusive, culturally sensitive, and rights-based strategies will help ensure that all children can explore the digital world safely and confidently.
 
References
• APJII. (2023). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia.
• ECPAT Indonesia. (2020). Online Child Sexual Exploitation in Indonesia.
• Kominfo. (2023). Digital Literacy Campaigns.
• Raharjo, B. (2022). Digital Parenting in Indonesia: Challenges and Cultural Contexts.
• UNICEF Indonesia. (2021). Digital Literacy for Children and Adolescents in Indonesia.
• UNICEF Office of Research – Innocenti. (2020). Growing Up in a Connected World.
• UNESCO Jakarta. (2019). Safe Internet Use for Indonesian Youth.

Continue Reading

Trending