web analytics
Connect with us

Publikasi

International Women’s Day di Mata Milenial

Published

on

IWD di Mata Milenial

Galuh Kusuma Ningtantri (Volunteer Mitra Wacana)

Lingkungan dalam skala kecil masih menganggap kekerasan berbasis gender adalah hal yang biasa. Pada Tanggal 8 Maret menjadi Hari Perempuan Internasional bermula dari sejarah yang begitu panjang hampir 60 tahun. 

Apakah kita benar-benar setara? 

Sebenarnya relevan, mungkin di beberapa lingkungan sudah setara, tetapi di daerah yang berbeda dengan kultur berbeda masih banyak ketidaksetaraan. Apalagi fenomena  di lapangan, Jika berbicara kesetaraan, kemarin pada saat kegiatan pelatihan yang dilakukan oleh Mitra Wacana ada peserta ibu-ibu yang masih menganggap bahwa tugas perempuan adalah mendukung laki-laki. Belum memakai kata saling. Banyak di luar sana yang masih merasa bahwa dirinya adalah perempuan sebagai kelas kedua. 

Bagaimana mitra wacana merangkul inovasi dan teknologi untuk mempelajari dan mempraktekkan kesetaraan gender?

Saat ini sedang gencar suatu sarana yang ramah gender. Teknologi itu tidak netral, teknologi itu masih bias gender. Berdasarkan pengalaman di lapangan, terdapat ibu-ibu yang tidak memiliki HP. Tidak memiliki HP di era sekarang dianggap hal yang aneh. Jadi, ada ibu-ibu yang ingin dimintai kontak nomor. Kemudian ibu tersebut mengatakan bahwa beliau tidak memiliki HP. Suami dari ibu tersebut yang memiliki HP, hal itu dikarenakan alasan pendidikan yang hanya lulusan SD. Selain itu, karena perempuan dianggap hanya mengurusi urusan domestik. 

Internet itu dunia maya, tapi kekerasan yang terjadi bukan maya tapi nyata, akarnya juga kultur patriarki. Memberikan teknologi tanpa memberikan resiko. Yang paling rentan perempuan dan kelompok minoritas.

Banyak perempuan yang berpikir tidak perlu aktif dalam kegiatan sosial karena dianggap masih banyak kegiatan urgent lainnya, seperti mengurus anak.

Kenapa sih banyak sekali kekerasan yang memanfaatkan teknologi dan korbannya banyak perempuan, kalau flashback akar permasalahannya adalah akses pengetahuan.

Cara mengenali Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) 

Pertama,terdapat Undang-Undang TPKS , kemudian itu kan bisa ditindak secara hukum. Mengenali karakter, ada relasi yang timpang, kita lihat pelakuknya siapa. Ada ekspresi diskriminasi gender. Ragam kekerasannya banyak ada yang hanya kata-kata ada yang mengarah sampai ke visual lalu karakter-karakter  ini walaupun terjadi secara online itu bisa mengarah ke offline. Seperti  misalnya, ada kasus beberapa tahun lalu seorang perempuan Indonesia berdarah Tionghoa,  minoritas, mengekspresikan suatau pendapat tentang politik, kena ujaran kebencian. Hal-hal semacam itu akan mengarah ke doxing, identitas dibuka dan akan mengarah ke teror online. 

Closing statement. 

“Mumpung momentum, jangan berhenti untuk memperjuangkan bahkan kesetaraan aja tidak cukup tapi keadilan bagis emua orang, kelompok rentan, minoritas, janagn berhenti memperjuangkan hak-hak kita.” -Yunia

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Mempertahankan Kedaulatan NKRI dalam Sengketa Laut China Selatan

Published

on

La Ode Muhmeliadi, Mahasantri RTM Darul Falah Cawan Klaten

Perairan Laut China Selatan menarik perhatian oleh negara-negara terkait karena potensi sumber daya alam yang melimpah ruah. Seperti mineral, minyak bumi, dan gas alam, serta hasil perikanan yang terkandung di dalamnya.

China (Tiongkok), Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam adalah negara terkait yang saling mengklaim kedaulatan. Karena secara geografis, keenam negara tersebutlah yang paling dekat dengan batas-batas perairan Laut China Selatan.

Dengan keterangan yang beredar, bahwa Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran, baik jalur perdagangan maupun perikanan (nelayan), yang sangat penting bagi negara-negara dunia. Misalnya, masuknya penjajah di abad ke-15 (Belanda, Portugis, Inggris, dan lain-lain) ke bumi Nusantara adalah bermula dari jalur tersebut.

Di perairan Laut China Selatan memicu konflik bermula sejak tahun 1279 sebagai jalur perdagangan rempah-rempah. Konflik antarnegara yang terlibat saling klaim (claimant states) kepemilikan atas pulau-pulau (kepulauan) di sana baru muncul di dasawarsa 1970.

Sengketa kedaulatan teritorial di Laut China Selatan sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Spratly dan Paracel. Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947, Pemerintah RRC mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan.

Pada tahun 1955 dan 1956, Tiongkok dan Taiwan membangun kehadiran permanen di beberapa pulau utama. Kemudian konflik terbuka di kawasan Laut China Selatan telah terjadi berulang sejak dasawarsa 1970. Namun di tahun 70-an ini, sengketa tersebut dipicu oleh indikasi adanya minyak yang mengintai di bawah perairan Laut China Selatan. Dan negara yang pertama mengklaim hal tersebut adalah Filipina. Disusul konflik dengan nuansa kekerasan muncul di tahun 1988, ketika China mengambil paksa Kepulauan Spratly.

Hingga puncak sengketa tersebut berimbas kepada Negara Indonesia atas klaim China dengan Nine dash line (sembilan garis putus-putus)-nya dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Laut Natuna, Indonesia. Dari peta sembilan garis putus-putus yang dibuat China sangat melanggar peraturan Internasional. Hal ini sangat jelas dalam konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea-ONCLOS) pada tahun 1982.

Melalui UNCLOS 1982, luas laut Indonesia bertambah, dari sebelumnya kurang dari 1 juta kilometer persegi menjadi 5,8 juta kilometer persegi. Luas tersebut terdiri dari laut teritorial dan perairan pedalaman seluas 3,1 juta kilometer persegi, dan 2,7 juta kilometer persegi yaitu untuk ZEE.

Laut Natuna Utara; Mempertahankan Kedaulatan, Bukan Lagi Sengketa

Beberapa tahun terakhir, Indonesia dibuat sesak dari pihak China atas penuntutannya agar Indonesia berhenti melakukan pengeboran minyak bumi dan gas alam di Laut Natuna. Karena menurut China itu masih masuk dalam nine dash line. Padahal Indonesia sudah mengatakan bahwa ujung selatan Laut China Selatan adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan pada 2017 menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara.

Guru Besar Depertemen Hubungan Internasional, Prof. Dr. Makarim Wibisono (2016) memberi ulasan mengenai posisi Indonesia dan peran ASEAN (Association of South East Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) dalam konflik Laut China Selatan. Menurut Prof. Makarim, setidaknya ada empat alasan yang menjadikan wilayah Laut China Selatan (Baca: Laut Natuna Utara) penting bagi Indonesia. Pertama, perairan merupakan soko guru bagi aktivitas ekspor-impor Indonesia. kedua, konflik dan instabilitas (ketidakstabilan) di Laut China Selatan akan berdampak pada perdagangan dan ekonomi kawasan. Ketiga, kawasan tersebut juga merupakan jalur masuk ke wilayah Indonesia dari utara. Dan keempat, kawasan utara merupakan alur yang disepakati Indonesia sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Indonesia memiliki kedaulatan penuh untuk menegakan hukum serta memanfaatkan kekayaan alam. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi; ruang udara di atas laut teritorial, wilayah laut seperti perairan pedalaman, wilayah daratan dasar laut serta tanah dibawahnya, perairan kepulauan sarta laut teritorial, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Dalam mempertahankan kedaulatan perairain Indonesia setidaknya memiliki lima usaha. Pertama, memberantas illegal fishing. Kedua, melakukan tindakan pengusiran terhadap kapal asing. Ketiga, monitoring wilayah perairan. Keempat, memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat pemantau jarak jauh. Kelima, penyelenggaraan penegakan hukum.

Usaha itu pernah dilakukan dengan baik oleh Susi Pudjiastuti, Menteri Kalautan dan Perikanan Republik Indonesia periode 2014-2019. Susi mengatakan, laut adalah masa depan sebuah bangsa. Artinya bahwa Indonesia harus menguasai wilayah lautnya secara berdaulat. Lantas bagaimana sikap Indonesia menghadapi klaim China ini yaitu di perairan utara Natuna?

Sikap Indonesia tentunya harus mempertahankan kedaulatan yang sudah dimiliki, harus bersikap tegas menyatakan diri bahwa perairan utara Natuna adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cara damai tentu tetap diupayakan untuk menghadapi sengketa terkait wilayah atau perbatasan dengan negara lain dan mengupayakan terus menjaga persahabatan dengan China. Tugas Indonesia selanjutnya adalah meningkatkan pengawasan di perairan tersebut dan mendorong pemanfaatan potensi yang dimilikinya. 

Menjaga Kedaulatan Maritim Indonesia

Pada pertemuan Konvensi Hukum Laut PBB ke-3 (UNCLOS) tanggal 10 Desember 1982, konsep Wawasan Nusantara akhirnya diakui dunia sebagai The Archipelagic Nation Concept (Konsep Bangsa Kepulauan). Yang ditetapkannya laut teritorial negara kepulauan adalah selebar 12 mil dari garis dasar terluar pulau-pulau dan ZEE selebar 200 mil dari garis dasar.

Mengenai wilayah kedaulatan maritim Indonesia juga diatur dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia. UU tersebut di pasal 4 disebutkan bahwa kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Juga terdapat dalam UU No. 43 tahun 2008 Tentang wilayah Negara Republik Indonesia.

Pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Kedaulatan maritim, Indonesia juga mengatur pelayaran pada ruang maritim dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang sudah jelas ditegaskan pada pasa 11 ayat 1. Kemudian mengenai kegiatan angkutan laut luar negeri terdapat dalam PP No. 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran. Selanjutnya, pemerintah menyesuiakan ketentuan tentang pelayaran dalam UU No. 11 tahun 2020 atau lebih dikenal dengan UU Cipta Kerja. Dengan UU tersebut, kapal-kapal asing harus memiliki izin dan juga perwakilan dari pihak Indonesia dalam melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.

Dengan berdasar pada aturan-aturan tersebut, baik hukum Internasional maupun diperkuat dengan regulasi hukum dalam negeri, selayaknya China maupun negara lainnya agar menghormati hukum yang berlaku.

konflik di Laut China Selatan, dari berbagai sengketa atas masing-masing negara pengklaim (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam), memicu tekanan atau dapat mengancam para nelayan Indonesia yang sering menangkap (mancing) ikan di perairan Laut Natuna. Bukan hanya itu, tetapi akan mengundang konflik atas cost guard Indonesia dan tantara angkatan laut dengan negara pengklaim. Jika PBB tidak sigap menangani, sasaran akhir adalah mengancam stabilitas pemerintahan Indonesia dan kedaulatan NKRI.

Olehnya itu, jika masih saja keras kepala para negara pengklaim (khususnya China) atas sengketa Laut China Selatan, maka jalan yang ditempuh untuk bangsa Indonesia hanyalah satu, yaitu perang.

Perang yang dimaksud ada tiga cara. Pertama, Diplomasi Ancaman. Pemerintah Republik Indonesia bersama menteri yang berwenang (Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perhubungan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan) melakukan perundingan dengan mengancam hubungan bilateral, seperti pemboykotan seluruh produk dan pemulangan seluruh tenaga kerja China yang ada di Indonesia.

Kedua, Pemanfaatan Media Sosial. Mengumpulkan seluruh atau sebagain pakar IT di bawah komando Menteri Komunikasi dan Informasi untuk menyerang secara cyber, sebagai mana yang pernah dilakukan gerakan Julid Fi Sabilillah ketika menyerang Zionis-Israel. Tidak sampai disitu, pastikan seluruh warga dunia mengetahui.

Ketiga, Bersatunya Militer dan Masyarakat Sipil. Solusi ini adalah jalan alternatif terakhir jika negara pengklaim tersebut masih saja belum menerima keputusan Hukum, dan masih bersikukuh dengan pendiriannya, maka Panglima TNI dengan mengkoordinasikan Komando Armada Laut, dan keterlibatan semua Militer (TNI dan Polri) atas instruksi Presiden Indonesia, serta keterlibatan masyarakat sipil (baik ormas maupun perorangan) dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending