web analytics
Connect with us

Opini

Introducing Lentera Hati Women’s and Children’s Learning Centre, Banjarnegara.

Published

on

Mitra Wacana

By: Lilis Nur Khasanah, Rustinah, Warsono

Organisation

Lentera Hati Women and Children’s Empowerment Center (P3A) is an organisation in Berta Village, its membership is made up of men and women in Berta village that care about women’s and children’s issues. P3A Lentera Hati functions as a learning center for women and children, as well as a place to share information related to women and children. In addition, P3A LH also functions as a Women’s Crisis Center, complaints center and also supports victims. P3A LH was established on the 17th of October, 2014 in Berta village.

Symbol

A picture of a red heart is the symbol for P3A LH, this symbolises that it is an organisation established as a movement of love and caring towards women and children. Writing Lentera Hati with a candle flame in the I symbolises the hope that Lentera Hati will bring to the community. Although it’s only a small light, it’s hoped that it will be a solution to help overcome the problems faced by women and children, especially in Berta village.

Organisation Aim:

Lentera Hati Women’s and Children’s Learning centre has a goal of harnessing existing potential, in order to strive for government social welfare support in handling women’s and children’s social problems in the community.

1. Create an environment where society cares more about women’s and children’s issues.
2. Increase empathy and responsiveness towards victims of violence.
3. Empower women and children victims of violence.

Background:

The presence of Lentera Hati (P3A) is in order to help prevent the occurrence of violence towards women and children in Berta village. Activities that are done include awareness raising around the following;

1. Anti violence

Clarify what is the meaning of violence according to Law Number 35, 2014, an amendment to Law number 23, 2002 on Child protection, Article 1, 15a, which states that “Violence is any act against a child resulting in physical, psychological, sexual, and / or neglect, including the threat of unlawful conduct, coercion, or deprivation of liberty. Below are various examples of violence and there impact:

a) Physical violence, any form of intentional act of injuring the body of another person whether it be with a limb or with a device that creates a wound, bruising, teeth falling, or hair being pulled. Example: beaten, kicked, slapped, pulled. Impact: easy to get sick, insomnia, difficulty eating, bruising, injuries, bleeding, broken bones.

b) Psychological violence, any form of action or saying that offends or hurts the feelings of a person. Forms: humiliation, berating, bullying, or degrading remarks. Impact: low self-esteem, fear, insecurity, depression, stress, trauma.

c) Economic violence, any form of action that cause economic loss. For example, being employed not in accordance with the rules, economic exploitation, and being forced to beg. Impacts: Education is disturbed, loss of play time and time to gather with friends, hunger.

d) Sexual violence, any form of action or assault committed to or directed towards sexual areas and sexuality, either by the use of sexual organs or without using sexual organs. For example, harassment, molestation, rape, sexual exploitation, under-age marriage, forced marriage. Impact: Damage to sexual organs, unwanted pregnancy, sexually transmitted infection, trauma, depression, embarrassment, low self belief, fear.

e) Social violence, all forms of violence that result in social harm.
Example: ostracized, given a negative stigma, set aside in gatherings.
Impact: societal ostracism, gossip material, withdrawal from the social environment.

f) Political violence, any form of violence related with politics. For example, right to participate in politics aren’t fulfilled, not permitted to join elections. Impact: Cannot participate in politics, cannot participate in voting.

2. Reproductive health education for teenagers and children. Introducing the four zones on the body (mouth, chest, genitals, and buttocks) and how to protect them.

3. Parenting. The target of P3A’s is a parent. Explain how to recognize and understand the child’s wants and rights.

Besides that LH P3A also does coordination in networking.
Coordination and networking is done from:

1. Village Scope (RT, RW, Dusun Head, Village Government, community leaders, religious leaders, Family Welfare Education (PKK), and other organizations in the village).

2. At the sub-district level: Integrated Service Centers (PPT) Kecamatan, Police Sector (Polsek), Military Rayon Command (Koramil), Community Health Centers (Puskesmas), Family Planning Service Centers (PLKB) Kecamatan.

3. Scope of Banjarnegara Regency. Integrated Service Centers for Women and Children Empowerment (P2TP2A), Regional General Hospital (RSUD), Safe Houses, Social Services, Manpower and Transmigration, Population Control Offices, Family Planning, Women Empowerment and Child Protection, Education Office and Ministry of Religious Affairs Banjarnegara District.

Many people do not know what is Lentera Hati P3A and many people consider P3A LH only a bunch of housewives, but we always emphasize to all of society, and we invite society to help with all problems that are related with women and children, domestic violence, teenage problems, and parenting. Provide alternatives and information on solving the problem to the victim, but the final decision remains with the victim. We also have a counselling facility that is located besides SDN 1 Berta.

Secretariat
Gedung Lumbung Desa Berta RT 04 RW 02 Kecamatan Sususkan, Banjarnegara 53475 Jawa Tengah. Facebook : Lentera Hati Telpon +6282242094963/+6285647720005

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published

on

Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.

Dapur, Awal Penjara Domestik?

Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.

Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.

Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”

Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan

Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.

Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.

Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.

Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.

Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”

Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.

Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.

Mulai dari Berbagi Beban

Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.

Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.

Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”

Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”

Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur

Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”

Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”

Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.

Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending