web analytics
Connect with us

Opini

Isu Perempuan dan Keadilan Jender di Yogyakarta

Published

on

Pada Sabtu (28 Agustus 2021), diadakan Talkshow Saturday Night secara live di Instagram oleh akun @letstalk_sexualities. Webinar kali ini mengusung tema “Keberagaman Gender dan Seksualitas” yang merupakan kolaborasi antara Mitra Wacana dengan Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta. Narasumber pada talkshow kali ini adalah Ibu Istiatun (Pengurus Mitra Wacana WRC Yogyakarta).

Berdasarkan penyampaian dari Ibu Istiatun, persoalan ketidakadilan gender di Yogyakarta pada dasarnya memiliki kesamaan dengan persoalan di daerah lain, namun terdapat perbedaan dimana Jogja masih kental dengan tradisi dan adat istiadat Jawa. Dilihat dari peran dan atribut sosial laki-laki dan perempuan, di Yogyakarta sering terjadi fenomena dimana peran seorang perempuan dalam ranah publik masih dipertanyakan oleh masyarakat, apakah ia mampu untuk tetap memenuhi kewajiban domestik di rumah apabila ikut berperan dalam bidang publik? Berbeda dengan laki-laki yang tidak banyak dicecoh oleh masyarakat umum, karena peran perempuan dalam perspektif budaya Jawa masih lekat dengan istilah sumur, dapur, dan kasur, yang intinya ialah melayani dan mengayomi suami. 

Di Yogyakarta selama pandemi banyak keluarga yang mengalami permasalahan ekonomi. Dan hal ini tentu menimbulkan beban tambahan di rumah, umumnya perempuan lah yang lebih banyak terkena dampaknya. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan juga meningkat karena pandemi membuat intensitas berada di rumah menjadi semakin sering, sehingga meningkatkan munculnya konflik dalam rumah tangga dan bahkan banyak terjadi kasus perceraian.

Di Yogyakarta sudah terdapat banyak lembaga sosial maupun keagamaan yang memiliki program dalam mewujudkan kesetaraan gender dan bertujuan untuk mengurangi kasus kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi di masa pandemi ini. Namun, kendala dalam mewujudkan upaya kesetaraan gender ialah program kerja pemerintah yang kadang kurang beragam jika dibandingkan dengan LSM yang ada. Selain itu, gerakan oleh lembaga-lembaga sesama jaringan, namun dengan isu dan visi-misi yang berbeda dapat menimbulkan perbedaan tujuan sehingga sulit untuk disatukan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dongeng Sepiring Nasi Dalam Tatanan Negara Demokrasi

Published

on

Oleh : Denmas Amirul Haq (Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Islam Malang)

“Sebelum Pesta Demokrasi Mereka Selalu berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada Satupun sungai Disana”. Nikita Krushchev : 1970

Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum yang dilakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, tidak hanya mekanisme penyelenggaraan semata. Oleh karenanya, Pemlilihan umum menjadi suatu rutinitas bagi kebanyakan negara demokrasi, meskipun kadang-kadang praktek politik di negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan Pemilu tetap dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif; sebagai prasyarat prosedural demokrasi.

Tak jarangpula kita sering menemukan Pemilu hanya dijadikan sebagai ajang kompetisi untuk meraih jabatan-jabatan publik, apakah menjadi anggota legisltaif ?, eksekutif ?, atau paling penting menjadi kepala daerah ?, menteri ?, bahkan tak jarang presiden ?. (Puspitasari, 2004)

Ihwal, di Indonesia mulanya pemilihan umum masih banyak dimaknai sebagai realisasi kedaulatan rakyat dan juga dimaknai sebagai sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. Meskipun secara realnya mereka hanya ibarat membangun jembatan yang kadang tak satupun didapati sungai. Buawaian tersebut makin memperkuat bahwa negara demokrasi hanyalah bungkus dari kepentingan yang tersusun rapi untuk mendapatkan suara dan lagitimate rakyat.

Dewasa kini, Hubungan demokrasi dan Pemilu dapat dirangkaikan dalam sebuah kalimat;

“Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu”.

Pemilu menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan demokrasi. Pemilu menjadi sebuah jalan bagi terwujudnya demokrasi. Tetapi mewujudkan pemilu yang demokratis bukanlah pekerjaan mudah sebab hari ini kita ketahui bersama praktek pemilu hanya digunakan sebagai sebuah perhelatan prosedural untuk menggantikan kekuasaan atau untuk membentuk lembaga-Iembaga politik.

Secara prosedural praktek pemilu selanjutnya dibedakan menjadi dua. Sebagai formalitas politik; dan kedua pemilu sebagai alat demokrasi. Meskipun kebanyakan kita jumpai pemilu hanya sebatas formalitas politik, alat legalitas pemerintahan dan yang lebih parah dijalankan dengan cara yang tidak demokratis dengan mahakarya rekayasa demi memenangkan pasangan dan partai politik tertentu.

Bagi bangsa Indonesia, relasi antara pemilu dan demokrasi terletak pada nilai keadilan bagi seluruh kehidupan bernegara yang tecermin dalam Pancasila. Falsafah ini lahir sebagai jawaban atas peristiwa masa lalu; eksploitasi kolonialisme.

Perwujudan itu sejatinya harus ditilik dari subtansi nilai Keadilan meskipun hal inilah yang paling kompleks. Hari ini melalui gelaran pesta demokrasi, kita banyak menyaksikan rakyat yang masih sangat setia melaksanakan amanat konstitusi. Bahkan hingga akar runput  mereka masih sangat teguh menjunjung tinggi moral.

Meskipun faktanya begitu cepat, politisi bersekongkol dengan birokrasi hingga tega menjual kekayaan negara. begitu cepat, aparatur negara gesit menghalalkan segala cara memburu tahta dengan menimbulkan bencana dan angkara murka. Selamat datang di negeri dongeng yang dipenuhi begitu banyak drama pencitraan dan janji. Demkokrasi dalam sepiring nasi adalah benar adanya yang hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki piring sementara bagi rakyat kesejahteraan hanya mimpi yang terus jadi harapan semu.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending