Publikasi
Jagongan Merembug Desa: Kembalikan Daulat Desa untuk Kesejahteraan Rakyat

Published
2 years agoon
By
Mitra Wacana

Aisyah Fajar Rochani (Volunteer Mitra Wacana)
Pasca adanya peringatan 9 Tahun Undang-Undang Desa beberapa waktu yang lalu, telah melahirkan fenomena terhadap wacana revisi UU Desa. Salah satu isu yang beredar diantaranya ialah kepala desa yang menuntut perubahan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Merespon hal tersebut Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, Sanggar Maos Tradisi, dan Alterasi Indonesia mengadakan acara Jagongan Merembug Desa: Kembalikan Daulat Desa untuk Kesejahteraan Rakyat pada hari Senin, (6/2/2023) bertempat di Sanggar Maos Tradisi, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mitra Wacana hadir dalam acara tersebut sebagai partisipan dari organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu perempuan. Acara Jagongan Merembug Desa: Kembalikan Daulat Desa untuk Kesejahteraan Rakyat diselenggarakan sebagai media berbagi pengetahuan, udar gagasan, sekaligus mengkonsolidasikan organisasi masyarakat sipil untuk merespon isu-isu terakhir terkait perkembangan desa.
Media sedang ramai membicarakan tuntutan kepala desa terkait perubahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Wakil Rektor III Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito menyampaikan bahwa apa yang muncul dalam media itu tidak sekadar suatu peristiwa politik tanpa makna.
“Membincangkan desa tentu tidak sekadar mengevaluasi praktik penyelenggaraan pemerintahan desa sejak diterapkannya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, kita perlu selalu mengingat tentang value apa yang sebenarnya kita tanam dalam perdebatan itu,” tegas Arie, Senin malam (6/2/2023).
Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD Yogyakarta, Sutoro Eko Yunanto mengatakan, terdapat empat identitas orang desa, yaitu penduduk, rakyat, warga negara, dan masyarakat lokal. Masyarakat lokal itulah yang paling dekat dengan desa, sehingga ketika orang hukum berbicara tata negara cukup berbicara tentang warga negara saja, bukan tentang desa.
Menyambung pernyataan Arie, perlunya memperkuat civil society terlebih dahulu, sebagai basis untuk mendorong governance itu hidup, governance desa semestinya produk dari partisipasi masyarakat lokal. “Saya ingin menekankan pentingnya kita untuk melihat jalan transformasi dari masyarakat komunal menjadi kewarganegaraan itu, salah satu kunci terkuat adalah memperkuat partisipasi. Kedepan yang perlu kita perkuat adalah demokrasi desa yang tumpuannya adalah masyarakat sipil, yang didalamnya nanti titik tekannya adalah partisipasi,” Ujar Arie, (6/2/2023).
Sejalan dengan jejak pengalaman yang dilakukan oleh Mitra Wacana dalam pendampingan di desa, proses perencanaan desa harus lebih mewakili melalui bentuk partisipasi, dalam artian partisipasi tidak hanya sekedar hadir, melainkan menyampaikan aspirasi dari yang diwakili. Pada bagian tataran paling kecil, pelaksanaan musyawarah dusun harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan semua elemen masyarakat sehingga tidak ada kelompok yang terabaikan, khususnya memperhatikan akses kelompok marginal.
You may like
Catatan Kilas Balik Perjalanan Perkumpulan Mitra Wacana 2024
IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PUSAT PEMBELAJARAN PEREMPUAN DAN ANAK (P3A) OLEH LSM MITRA WACANA DI KULON PROGO
Catatan Program Partisipasi Perempuan untuk Mencegah Ekstremisme Kekerasan Di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta 2018
Berita
Warga Baciro dan Organisasi Lintas Iman Rancang Langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Published
2 hours agoon
25 April 2025By
Mitra Wacana
Yogyakarta, 24 April 2025 – Dalam upaya memperkuat ketahanan sosial berbasis komunitas, Mitra Wacana menyelenggarakan lokalatih bertajuk “Menyusun Langkah-Langkah Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme (IRE)” di Aula Kelurahan Baciro, Kemantren Gondokusuman. Kegiatan ini merupakan bagian dari program “Merajut Kolaborasi Lintas Iman”, yang digagas sebagai respons atas meningkatnya potensi konflik berbasis identitas yang terjadi di tengah masyarakat.
Forum ini dihadiri 30 orang dari perwakilan pemuda, perempuan, tokoh agama, serta pemangku kepentingan dari berbagai organisasi dan latar belakang agama / kepercayaan yang berbeda. Seluruh peserta duduk bersama dalam suasana dialogis dan sebagai forum strategis untuk menyusun langkah-langkah konkret pencegahan IRE. Di tengah tantangan keberagaman dan derasnya arus informasi digital, pendekatan partisipatif berbasis komunitas menjadi kunci dalam menjaga harmoni sosial.
Highlight kegiatan ini semua peserta berproses Bersama secara kolaboratif menyusun tools deteksi dini dan mekanisme pengaduan jika terjadi indikasi IRE di tengah masyarakat. Forum ini juga menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman, memperkuat solidaritas sosial, serta menggali nilai-nilai lokal yang mampu meredam potensi konflik berbasis identitas.
Wiji Nurasih, perwakilan anak muda dari komunitas Gusdurian, menyampaikan pandangannya dengan penuh semangat. “Sebagai anak muda yang tergabung di komunitas dan bertugas di divisi media dan kampanye, saya dan teman-teman mengkampanyekan pesan-pesan perdamaian lintas iman dan golongan melalui media sosial kami.” Wiji juga menekankan pentingnya berpikir kritis agar tidak mudah terjebak dalam narasi kebencian yang marak di dunia digital.
Pernyataannya mencerminkan sikap aktif anak muda yang tidak hanya menghindari penyebaran ujaran kebencian, tapi juga mengambil peran sebagai penyebar pesan damai. Ia percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari kebiasaan kecil, seperti tidak ikut-ikutan mengomentari konten negatif dan lebih selektif dalam membagikan informasi.
Sementara itu, Lutfiah dari komunitas Perempuan Ahmadiyah mengajak peserta untuk merawat sikap bijak dalam menyikapi perbedaan. “Kita perlu menyikapi dan memahami kondisi yang ada dengan bijak, tanpa memberikan respons yang berlebihan. Dengan cara ini, kita dapat membangun rasa saling percaya di antara semua pihak,” ucapnya. Menurutnya, semangat “Love for all, hatred for none” harus menjadi prinsip utama dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis.
Dalam sesi pemaparan, perwakilan dari Densus 88 menyampaikan bahwa media sosial menjadi salah satu kanal utama penyebaran ideologi radikal. Dipaparkan bahwa lebih dari 60% simpatisan ISIS asal Indonesia diketahui terpapar konten ekstremis dari media sosial. “Media sosial menjadi pemicu munculnya banyak pelaku teror tunggal (LONEWOLF) yang terpapar secara mandiri tanpa keterlibatan jaringan langsung,” ungkap Pak Umar dari Densus 88 AT DIY. Ia menegaskan bahwa deteksi dini dan literasi digital menjadi sangat penting untuk membendung arus penyebaran ideologi kekerasan.
Dari sisi masyarakat sipil, Wahyu Tanoto dari Mitra Wacana menekankan pentingnya keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam upaya pencegahan. “Menangani IRET bukan perkara mudah, deteksi dini saja sudah menjadi tantangan besar. Karena itu, pencegahannya tak bisa hanya mengandalkan satu pihak,” jelasnya. Ia menambahkan, peran perempuan dan nilai-nilai lokal adalah benteng utama dalam menjaga ketahanan sosial dari pengaruh ekstremisme.
Lokalatih ini tidak hanya menjadi forum refleksi, tapi juga ruang aksi. Para peserta menyusun strategi bersama yang meliputi langkah-langkah pencegahan berbasis komunitas, rancangan tools deteksi dini, serta alur pengaduan ketika muncul indikasi Intoleransi Radikalisme dan Ekstremisme (IRE). Hasil diskusi kelompok yang dipresentasikan menunjukkan betapa kuatnya semangat kolaboratif warga Baciro dalam menjaga keharmonisan sosial.
Koordinator program pencegahan IRE dari Mitra Wacana, Ruliyanto, menjelaskan urgensi kegiatan ini. “Forum ini penting untuk mengaktifkan kembali peran komunitas dalam menjaga harmoni sosial. Harapan kami, dari sini lahir langkah-langkah nyata yang bisa diimplementasikan di lingkungan masing-masing,” ujarnya. Ia menambahkan, output utama dari kegiatan ini adalah terbentuknya panduan deteksi dini IRE, mekanisme pengaduan, dan jejaring kolaboratif lintas sektor untuk merespons ancaman IRE secara cepat dan inklusif.
Dengan pendekatan berbasis komunitas, kegiatan ini menjadi cerminan bahwa perlindungan terhadap keberagaman adalah tanggung jawab bersama. Baciro hari ini memberi pesan kuat: harmoni tidak datang begitu saja, tapi dibangun dari dialog, partisipasi, dan keberanian untuk berdiri di sisi perdamaian.

Warga Baciro dan Organisasi Lintas Iman Rancang Langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Pembaharuan Akta Organisasi, Mitra Wacana Kunjungi Bakesbangpol Bantul Bangun Komunikasi
