web analytics
Connect with us

Opini

Kartini dan Sejarah Perubahan Indonesia

Published

on

R.A-Kartini
arif sugeng widodo

Arif Sugeng Widodo

Oleh Arif Sugeng Widodo

Kartini sebagai salah satu tokoh nasional dan tercatat sebagai penggerak pemikiran emansipasi generasi awal di Indonesia mempunyai peranan penting dalam kesejarahan Indonesia pra dan pasca kemerdekaaan. Peran Kartini tidak saja dilihat dalam pemikiran mengenai keadilan dan kesetaraan jender tapi juga mengenai kebangsaan dan upayanya mempertanyakan adanya penjajahan. Gerak pemikirannya bukanlah sesuatu yang sederhana dijamannya. Sebagai perempuan jawa yang secara kultural terikat dengan berbagai aturan kebudayaan, kartini tampil dalam ranah pemikiran yang jauh melebihi jamannya khususnya di Indonesia. Surat-surat yang ditulisnya untuk sahabatnya yang orang Belanda menunjukkan bagaimana Kartini waktu itu sudah mempunyai akses yang luas yang tidak semua orang mempunyainya. Gejolak jiwa dan hatinya telah membuka ruang berpikir baginya untuk berdiskusi dengan sahabatnya yang orang belanda tersebut.

Dalam catatan sejarah Indonesia, Kartini merupakan tokoh perempuan yang menarik untuk dikaji, apalagi Kartini muncul di jaman feodalisme yang masih begitu kental dan imperialisme modern mulai muncul. Kartini membawa konsep kemajuan dan kebebasan dalam ranah pemikiran dan perkembangan Indonesia melalui titik tekannya yang sangat memperhatikan pendidikan bagi bangsanya. Kartini merupakan catatan waktu tak terlupakan bagi Indonesia yang secara tidak langsung maupun langsung meletakkan fondasi pemikiran dan gerakan terhadap perubahan perkembangan Indonesia baik sebagai negara maupun pengaruhnya dalam kebudayaan. Kartini menjadi sosok yang futuristik dijamannya dengan melihat bahwa dengan pendidikanlah bangsa Indonesia bisa maju dan tidak dalam posisi yang dihinakan. Sehingga menjadi penting melihat Kartini tidak saja sebagai tokoh emansipasi tapi juga seorang futuristik yang bisa melihat betapa pentingnya tindakan-tindakan perubahan di masa kini (di jamannya) untuk mempengaruhi dan membentuk masa depan. Dan pendidikan adalah jawaban yang tepat yang diutarakan oleh Kartini. Peran sertanya dalam memajukan bangsa Indonesia lewat pendidikan tidak diragukan lagi. Tidak saja dengan upaya nyata tapi juga dari pemikiran-pemikiran yang ditunjukkan lewat surat-suratnya.

Perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka tidaklah terjadi secara serta merta namun terdapat proses yang panjang sebelum akhirnya kemerdekaan itu bisa dicapai. Proses yang panjang tersebut juga bukan proses yang berjalan mudah tapi juga merupakan proses yang sulit dan berliku. Lahir banyak tokoh nasional yang berperan dalam proses kemerdekaan baik yang berperan secara langsung maupun tidak langsung. Perjuangan melawan Belanda memang terjadi dalam beberapa tahap dan bentuk sampai akhirnya kemerdekaan itu bisa direbut. Sejak jaman kerajaan yang begitu banyak di Indonesia, perlawanan-perlawanan terhadap Belanda sudah dimulai. Perjuangan dimasa kerajaan itu memang cenderung bersifat lokal, perjuangan melawan Belanda terjadi secara parsial dan dengan motivasi yang beragam. Banyak tokoh-tokoh dimasa itu, dari Pangeran Diponegoro, Pangeran Hasanudin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pattimura, bahkan tokoh perempuan dari Aceh Njut Nyak Dien. Perjuangan dengan mengangkat senjata dimasa itu merupakan langkah yang memang paling pas dan memungkinkan. Walaupun dalam buku-buku sejarah dijelaskan bahwa perlawanan terhadap Belanda dari berbagai tokoh itu beragam namun upaya untuk tidak mau dijajah bangsa asing tetaplah berkobar dihati para pejuang tersebut.

Pada era tahun 1900-an awal pendekatan perjuangan mulai sedikit bergeser, pendekatan diplomasi melalui organisasi-organisasi pergerakan menjadi pilihan. Banyak-organisasi-organisasi terbentuk dari berbagai wilayah di Indonesia. Sampai pada akhirnya diadakannya suatu kongres yang diikuti berbagai organisasi tersebut yang dikenal sebagai Soempah Pemuda pada tahun 1928. Disebut sebagai sumpah pemuda karena penggerak berbagai organisasi tersebut adalah para pemuda. Tidak saja organisasi pemuda saja sebenarnya yang terbentuk diawal 1900 an tersebut tapi juga organisasi Islam yaitu Muhamadiyah dan juga Syarikat Islam, termasuk organisasi awal lain yang sangat terkenal adalah Boedi Oetomo. Berbagai organisasi yang muncul tersebut merupakan cikal bakal perjuangan kemerdekaan dengan pendekatan baru. Organisasi-organisasi tersebut walaupun banyak dan terpisah secara geografis menjadi gerakan yang kuat dan diperhitungkan oleh Belanda.

Tidak saja Soempah Pemuda, ditahun 1928 juga terjadi peristiwa sejarah yang tidak kalah penting dalam mempengaruhi langkah-langkah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa tersebut yaitu adanya Kongres Perempuan Pertama yang dilakukan di Yogyakarta. Kongress ini diikuti berbagai organisasi perempuan yang merasa terpanggil untuk bisa terlibat dalam mendiskusikan berbagai persoalan yang mengemuka dimasa itu. Beberapa organisasi tersebut diantaranya yaitu Aisjijah, Boedi Rini, Boedi Wanito, Darmo Laksmi, Jong Java, Natdatoel Fataat, wanito Kathoeliek, Wanito Taman Siswa,poetri mahardika, dll. Banyaknya organisasi perempuan yang terlibat dalam kongres tersebut menunjukkan betapa perempuan di masa itu sudah mempunyai pemikiran maju tentang kondisi sekitarnya.

Di kalangan perempuan keinginan untuk menyelenggarakan dan memajukan persatuan diantara organisasi-oraganisasi perempuan mulai berkembang di tahun 1920-an. Kecenderungan itu mulai terlihat juga di sumatera di tahun 1926 dengan dibentuknya federasi perempuan sumatera barat yang memiliki majalah bulanannya sendiri dalam bahasa melayu. (Blackburn, 2007: xxii

Adanya keinginan kuat perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam bidang-bidang pendidikan dan sosial waktu itu merupakan sesuatu yang luarbiasa. Dengan adanya berbagai keterbatasan dan rintangan kongres perempuan pertama itupun bisa terlaksana dengan baik. Hal yang menarik adalah adanya berbagai organisasi yang beragam yang turut andil menyukseskan pertemuan tersebut termasuk oragnisasi perempuan yang berlandaskan Islam. Adanya kesadaran bahwa peran perempuan bisa lebih luas lagi daripada sekedar dapur, sumur serta kasur yang selalu direproduksi oleh budaya patriarki. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Musdah Mulia bahwa kedudukan perempuan adalah sama di ciptaan Tuhan, “Rasul mengubah posisi dan kedudukan perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Rasul memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh(pengelola kehidupan di bumi)” (Mulia, 2008: 22).

Munculnya berbagai organisasi diawal 1900-an sebenarnya juga tidak lepas dari politik etis pemerintahan Belanda waktu itu. Bangsa pribumi diberi ruang untuk mengakses pendidikan walaupun memang masih sebatas ditujukan untuk bangsawan dan para priyayi. Para keturunan bangsawan mendapat akses untuk mengenyam pendidikan yang disediakan oleh pemerintah belanda, termasuk belajar bahasa belanda, beberapa orang bahkan bisa belajar ke Belanda. Kesempatan belajar dan memperolah pendidikan tersebut pada akhirnya membuka cakrawala para pemuda-pemuda Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mempertanyakan adanya penjajahan. Politik etis ini secara tidak langsung merupakan pintu masuk ke era baru perjuangan baru bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Para anak priyayi dan bangsawan tersebut mengambil berbagai profesi alternatif yang tidak sama dengan orang tuanya sebagai elit pemerintahan Jawa.

“Setelah tahun 1900 muncul kelompok yang dinamakan “priyayi baru” kebanyakan mereka adalah orang muda dari kalangan pangreh praja yang telah memanfaatkan kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendidikan Barat lanjutan. Masa itu adalah periode politik etis, ketika orang mencurahkan perhatian kepada “pembangunan” jasmani dan rohani penduduk pribumi. Kaum muda ini sering tidak puas dengan sikap merendah para elit pemerintahan Jawa. Mereka tidak ingin mengikuti jejak orang tua mereka. Pendidikan menawarkan kepada mereka kemungkinan-kemungkinan baru. Mereka memilih kedudukan di bidang-bidang lain pemerintah Belanda yang di awal abad itu terbentang luas: sebagai juru tulis pada kantor pemerintah, guru, guru pertanian, dokter pemerintah, penterjemah, pengawas dinas irigasi atau dinas pekerjaan umum dsb.” (Meirt, 2003: 3)

Sebelum marak berbagai organisasi pergerakan yang muncul di awal tahun 1900-an, Pada era 1800 an akhir muncul sosok pembaharu bagi perjuangan bangsa Indonesia yaitu Kartini. Perempuan yang lahir sebagai anak bangsawan tersebut lahir pada 21 april 1879 di mayong Jepara. Kartini inilah yang bisa dikatakan sebagai pembuka ruang pertama perjuangan melalui berbagai organisasi pergerakan itu mulai bermunculan. Menarik untuk disimak apa yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer mengenai kartini.

“Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi yang “sakitan” menurut istilah Bung Karno. Bersamaan dengan batas sejarah pribumi ini, mulai berakhir pula penjajahan kuno Belanda atas Indonesia dan memasuki babak sejarah penjajahan baru; imperialisme modern” (Toer, 2009:12).
Penjajahan baru yang disebut sebagai imperialism modern ini juga dilawan dengan cara baru yaitu melalui organisasi-organisasi pergerakan yang mulai menjamur setelah kematian kartini. Kenapa Kartini disebut pembaharu hal tersebut karena pikiran-pikirannya tentang emansipasi bagi perempuan. Walaupun sebenarnya kartini tidak sekedar mempertanyakan adanya ketidakadilan dan kesetaraan jender tersebut tapi juga mempertanyakan keadilan bangsa belanda terhadap bangsanya (Jawa).

“Dalam surat-suratnya, Kartini menyebut Jawa sebagai nasion tidak sebanyak ia menyebut Jawa sebagai het volk. Namun, menurut penulis, fenomena ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa Kartini pada usia muda dan hidup dalam lingkungan terkungkung mampu melihat Jawa sebagai bangsa, bukan sekedar rakyat jelata jajahan Belanda yang dihinakan (Arbaningsih, 2005: 3). Berbagai bacaan yang dia dapat dari belanda membantunya memahami realitas disekitarnya. Hal tersebut yang pada akhirnya ia curahkan lewat surat-surat kepada sahabatnya di Belanda. surat-surat inilah yang menjadi catatan penting bagaimana pemikiran-pemikiran Kartini pada waktu itu sudah melampaui orang –orang dijamannya khususnya wanita Jawa yang masih terikat pada berbagai budaya yang patriarkis.

Ada cerita menarik mengenai kartini yang bisa jadi pelajaran yaitu saat kartini mendapat kabar bahwa dirinya mendapatkan beasiswa ke Belanda. kartini mendapatkan beasiswa sebesar F. 4.800 (empat ribu delapan ratus gulden) ke Belanda menjelang pernikahannya, karena tidak ingin beasiswa itu sia-sia maka Kartini mengajukan nama Agus Salim untuk menggantikannya. (Kowani, 1978: 8). Hal tersebut menunjukkan betapa Kartini rela berkorban walau tidak bisa dirinya yang sekolah tapi ada orang lain ditunjukknya agar kesempatan mencari ilmu itu tetap didapat oleh bangsa pribumi. Apa yang dilakukan oleh kartini dengan merelakan tidak mengabil beasiswa tersebut merupakan pengorbanan yang luar biasa. Kartini ingin sekali bisa menunjukkan bahwa yang bisa mendapatkan pendidikan itu tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Dengan tidak mengambil beasiswa dan memilih untuk menuruti orang tuannya untuk menikah dengan dengan bupati Rembang kartini masih punya tekad bahwa pendidikan adalah jalan untuk membebaskan diri dari ketertindasan.

Hal lain yang menjadi catatan penting upaya Kartini ini tidak saja berpengaruh dalam usaha perjuangan terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia tapi juga mempengaruhi perubahan Kultural terhadap pandangan bahwa perempuan apalagi perempuan Jawa hanyalah berperan dalam ranah domestik. Walaupun Kartini sendiri tidak bisa bebas dari kungkungan budaya patriarkis tersebut secara total tapi usahnya merupakan langkah awal sebuah perubahan jangka panjang yang terasa sampai sekarang. Pendidikan sebagai pintu masuk yang diperjuangkannya pada akhirnya bisa merubah beberapa tatanan kultural tentang pandangan terhadap perempuan yang subordinat.

Dengan pendidikan, perempuan bisa melihat dunia lain yang selama ini tidak bisa mereka lakukan. Perhatiannya mengenai pendidikan itu terlihat pada suratnya untuk sahabatnya di Belanda yaitu Nyonya R.M. Abendanon-Mandri yang bertanggal 21 januari 1901. Demikian sebagaian isi suratnya tersebut; “Telah lama dan telah banyak saya memikirkan perkara pendidikan terutama akhir-akhir ini. Saya pandang pendidikan itu sebagai kewajiban yang demikian mulia dan suci, sehingga saya pandang satu kejahatan apabila tanpa kecakapan yang sempurna saya berani menyerahkan tenaga untuk perkara pendidikan. Sebelumnya harus dibuktikan, apakah saya mampu menjadi pendidik.

Bagi saya, pendidikan itu merupakan pembentukan budi dan jiwa. Aduh, sama sekali saya tidak akan berpuas diri sebagai guru, saya merasa tidak dapat menjalankan tugas seperti yang saya wajibkan sendiri kepada pendidik yang baik,walaupun misalnya orang tidak merasa puas juga terhadap saya. Saya merasakan demikian, bahwa dengan mengembangkan pikiran saja tugas pendidik belum selesai, belum boleh selesai seorang pendidik juga harus memelihara pembentukan budi pekerti, walaupun tidak ada hukum yang secara pasti mewajibkan melakukan tugas itu. secara moril ia wajib berbuat demikian. Dan saya bertanya kepada diri saya sendiri: dapatkan kiranya saya menjalankan tugas itu? Saya, saya masih perlu juga lagi dididik ini? Kerapkali saya mendengar orang mengatakan, bahwa dari yang satu dengan sendirinya akan timbul yang lain. Oleh perkembangan akal dengan sendirinya budi itu akan menjadi halus,luhur. (Kartini, 2014: 120-121)

Di masa kartini tersebut mulai muncul beberapa sekolahan yang merupakan dampak dari politik etis yang diterapkan oleh belanda. pada tahun 1894 mulai muncul sekolah bagi orang Indonesia yang disebut sekolah satu dan sekolah kelas dua (yang pada akhirnya dinamakan sekolah standar). Golongan elit jawa masuk dalam sekolah kelas satu sedangkan penduduk lainnya adalah masuk sekolah kelas dua. Dalam jumlah terbatas murid-murid bisa masuk di sekolah ELS ( Europeeshe Lagere School). Perbaikan bidang pendidikan tersebut merupakan tiang penyangga politik etis yang ditujukan bagi penduduk Indoensia. Pendidikan menjadi hal yang paling penting didalam politik etis (Maters, 2003: 48).

Hal lain yang menarik dari apa yang diperjuangkan kartini adalah upaya yang dilakukannya tidak saja berpengaruh terhadap perjuangan kemerdekaan tapi juga berpengaruh terhadap perjuangan perempuan mendapatkan hak-haknya. Hal tersebut merubah pandangan terhadap perempuan secara kultural dari peran domestik ke peran publik. Di jaman Kartini hidup, sistem feodal masih sangat kental, budaya patriarki begitu kuat mengatur gerak langkah tingkah laku baik untuk laki-laki maupun perempuan. Budaya patriarki tersebut telah menjadikan perempuan sebagai makhluk subordinat makhluk kelas dua yang tidak punya otoritasnya sendiri.

Seperti diungkapkan oleh Susanto, “Sejarah manusia mencatat, bahwa pada suatu ketika perempuan mulai didefinisikan berdasar kodrat jasmaniah (nature), pikiran dan hidup sehari-hari mereka. Sementara untuk kaum laki-laki, mereka semakin menjauhkan diri dari “nature” dan mulai mendefinisikan diri (didukung oleh sebagian perempuan juga!) dalam kaidah-kaidah budaya (culture)! Selanjutnya, keperempuanan didomestikasikan sejauh dalam lingkungan sebatas keluarga dan rumah tangga. Pikiran, kebudayaan dan kejiwaan dari pihak kaum perempuan dianggap seakan-akan tidak ada. Perempuan semakin dilepas dari dimensi politik; dan kalaupun sempat muncul dalam panggung kehidupan umum lalu lebih menjadi sebuah “masalah” sosial yang perlu dicarikan jalan keluar! Situasi seperti ini membuat perempuan secara sosiologis lalu sulit dilepaskan dari sosok kaum laki-laki; dan bahkan juga dikosongkan dari dasar-dasar kemanusiaannya” (Susanto, 2000: 10).

Gerak langkah Kartini melalui pikirannya benar-benar mempengaruhi pola pikir bangsa Indonesia. Usaha merubah nasib bangsa melalui pendidikan secara signifikan mempengaruhi arah perjuangan bangsa Indonesia dimasa depan. Tidak itu saja, melalui pikirannya mengenai pendidikan maka berbagai kebudayaan yang mendiskriditkan perempuan lambat laun berubah. Hal tersebut tentu suatu pikiran yang luar biasa dijaman itu. Kartini sudah berpikiran maju dan melakukan “protes” tehadap situasi bangsanya yang terjajah. Perjuangan kartini tidak saja berdampak tunggal tapi mempunyai dampak yang beragam yang bersifat positif.

Dengan pikiran-pikirannya mengenai pendidikan dan hak-hak perempuan maka hal tersebut mendorong perempuan-perempuan lain bisa terlibat aktif dalam dunia pendidikan maupun sosial bahkan politik melalui organisasi pergerakan di awal tahun 1900-an. Perjuangan kartini saat ini bisa begitu terasa gerakan emansiapasi menjadi gerakan nasional bangsa indonesia. Persamaan derajat, keadilan dan kesetaraan jender saat ini menjadi perhatian pemerintah dan menjadi salah satu program negara. Seperti diungkapkan Soekarno dalam bukunya mengenai perempuan yang berjudul Sarinah; “Djanganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu. Setengah ahli tarich menetapkan, bahwa kultur Junani djatuh, karena perempuan dihinakan didalam kultur Junani itu. Nazi-Djerman djatuh, oleh karena di Nazi-Djerman perempuan dianggap hanja baik buat kirche-Kuche-Kleider-Kinder. Dan semendjak kultur masjarakat Islam (bukan agama Islam!) kurang menempatkan kaum perempuan pula ditempatnja jang seharusnya, maka matahari kultur Islam terbenam, sedikit-sedikitnja suram!” (Soekarno, 1963: 17)

Kartini merupakan simbol dari perjuangan kaum perempuan untuk bisa membebaskan diri dari keterkungkungan, kebodohan dan sistem masyarakat yang kaku. Dengan pikiran-pikirannya kartini membuka cakrawala bangsa Indonesia tidak saja perempuan tapi juga laki-laki bahwa perempuan bisa memberikan yang terbaik saat kesempatan itu ada. Pikiran-pikiran kartini membawa spirit kemajuan, kebebasan dan merubah masa depan. Kartini secara tidak langsung merubah masa lalu yang penuh gelap menuju masa depan yang penuh dengan cahaya. Maka tepatlah adanya buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu ditujukan kepadanya. Pikiran-pikiran kartini adalah loncatan waktu yang lahir mendahului jamannya di masa itu khususnya di Indonesia.

* Penulis adalah mahasiswa S2 Ilmu Filsafat di UGM

Referensi
Arbaningsih, Dri, 2005, Kartini dari sisi lain, Melacak Pemikiran kartini Tentang Emansipasi “Bangsa”, Kompas, Yogyakarta.
Blackburn, Susan, 2007, Kongres Perempuan pertama, Tinjauan Ulang, Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Jakarta.
Kartini, R.A, 2014, Emansipasi, surat-surat kepada bangsanya 1899-1904, Jala Sutra, Yogyakarta.
Susanto, Budi dkk, 2000, Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa), Kanisius,Realino, Yogyakarta.
Toer, Pramoedya Ananta, 2009, Panggil Aku Kartini Saja,Lentera dipantara, Jakarta.
Mulia, Siti Musdah, 2008, Menuju kemandirian Politik perempuan (Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia), Kibar Press, Yogyakarta.
Soekarno, 1963, Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, Panitya Penerbit Buku-buku karangan Presiden Sukarno.
Kongres Wanita Indoensia (KOWANI), 1978, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Miert, Hans Van, 2003, Dengan Semangat Berkobar (Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia, 1918-1930), KITLV-Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu, Jakarta.
Maters, Mirjam, 2003, Dari Perintah Halus Ke Tindakan Keras, KITLV-Hasta Mitra_Pustaka Utan kayu, Jakarta.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published

on

Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.

Dapur, Awal Penjara Domestik?

Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.

Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.

Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”

Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan

Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.

Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.

Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.

Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.

Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”

Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.

Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.

Mulai dari Berbagi Beban

Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.

Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.

Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”

Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”

Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur

Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”

Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”

Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.

Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending