web analytics
Connect with us

Opini

Kenali Bahaya Stunting Pada Anak

Published

on

Penulis : Yulisma Ushofa

Stunting adalah masalah gizi kronis yang dialami oleh balita, yang disebabkan  kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang panjang dan juga bisa disebabkan  malnutrisi yang terjadi pada ibu hamil atau anak dalam masa pertumbuhannya. Anak yang mengalami stunting akan terhambat pertumbuhan dan perkembangan pada dirinya. Namun, tidak hanya sekadar itu, anak yang mengidap stunting juga akan mengalami gangguan pada perkembangan otaknya yang akan mempengaruhi prestasi mereka dan berakibat menurunnya kualitas masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2022, Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara dengan tingkat stunting tertinggi setelah India, Nigeria, dan Pakistan. Berdasarkan data, 1 dari 4 anak Indonesia mengalami stunting. Kurang lebih ada sekitar 5 juta anak Indonesia mengalami stunting (Studi Status Gizi Indonesia, 2021). Indonesia menargetkan penurunan angka stunting hingga 14% pada tahun 2024, sedangkan angka stunting pada tahun 2021 telah mencapai 24%.

Ada beberapa faktor yang menjadi ciri khusus terjadinya stunting pada anak, yang pertama yaitu tinggi badan anak yang dibawah kurva normal. Seorang anak dikatakan stunting apabila tinggi badan menurut umurnya di bawah garis normal yaitu kurang dari -2SD (Standar Deviasi) dikatakan pendek dan kurang dari -3SD dikatakan sangat pendek(Kemenkes RI, 2010). Tidak sedikit orang menganggap bahwa tubuh pendek merupakan faktor genetika dan tidak menganggap bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan masalah gizi kronis.

Perlu diketahui anak yang mempunyai postur tubuh pendek belum tentu mengidap stunting, tetapi anak yang stunting sudah pasti memiliki postur tubuh yang pendek. Anak yang mengidap stunting juga memiliki daya tahan tubuh yang buruk dan tidak jarang mereka mengalami sakit-sakitan. Stunting dapat diturunkan ke generasi selanjutnya jika tidak ditangani secara serius.

Kasus stunting kerap ditemukan pada daerah yang cenderung mengalami kemiskinan tinggi serta pendidikan yang rendah. ”Memang tidak semua orang miskin anaknya stunting. Namun, sebagian besar stunting disebabkan oleh kemiskinan. Dan karena itu kemiskinan harus ditangani,” ujar Menko PMK di Gedung Penanggulangan Gizi Terpadu di Desa Lumpangan, Kecamatan Pajukakang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada Selasa (2/3).

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mencegah stunting pada anak yaitu, menjaga pola asuh, pola makan, dan faktor sanitasi dan air bersih. Pola asuh orang tua berperan sangat penting. Pola asuh yang kurang efektif menjadi penyebab masalah stunting pada anak. Pola asuh disini berkaitan terhadap pemberian makanan yang bergizi dan bernutrisi pada anak. Orang tua harus tahu edukasi tentang pemberian makanan bergizi pada anak, jika orang tua salah dalam memberi makan, maka hal itu akan mengakibatkan stunting pada anak.

Selain itu, edukasi bagi perempuan tentang kesehatan reproduksi juga sangat dibutuhkan karena setiap perempuan ialah calon ibu di masa mendatang. Hal lain yang dapat menyebabkan stunting adalah faktor yang berasal dari ibu pada saat remaja dan masa kehamilan. Seperti kekurangan gizi, nutrisi, serta masa laktasi yang kurang baik dapat mempengaruhi pertumbuhan yang kurang baik pada otak anak.

Di sisi lain, jumlah dan kualitas gizi makanan sangat penting pada anak. Makanan yang kurang sehat dikonsumsi sangat berpengaruh pada pertumbuhan anak. Orang tua perlu membiasakan memberi makanan yang sehat,  dan bergizi pada anak. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat mencegah stunting.

Ada beberapa cara supaya anak mendapatkan gizi yang seimbang yaitu, memberikan karbohidrat, sayur, buah, dan protein yang sedikit lebih banyak pada satu piring. Faktor yang tidak kalah penting dan harus diperhatikan yang dapat menyebabkan stunting pada anak ialah sanitasi dan air yang tidak bersih. Air yang tidak bersih mengandung kuman dan bakteri yang menyebabkan diare pada anak. Jika air tersebut dikonsumsi secara terus menerus akan memicu berbagai penyakit. Oleh karena itu, setiap orang harus membiasakan cuci tangan sebelum makan, mengonsumsi makanan dan minuman yang bersih. Hal tersebut wajib bagi para orang tua untuk mengajari anaknya dalam menjaga kebersihan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Perdagangan Orang: Kejahatan Lintas Batas dan Fatamorgana Penanganan Kasus

Published

on

Penulis : Satrio Dwi Haryono (Komunitas Dianoia, Sukoharjo)

“Semua negara terkena dampak perdagangan manusia”, Ujar Rebeca Miller, Koordinator Regional UNODC untuk Perdagangan Manusia dan Penyelendupan Migran.

Perkataan di atas terlihat seperti biasa saja. Namun, hemat penulis perkataan tersebut menyimpan rasa keprihatinan yang begitu mendalam. Kata ‘dampak’ bukan diartikan sebagai ‘pengirim’ dan ‘penerima’ atau ‘penjual’ dan ‘pembeli’ saja melainkan yang lebih tepat ialah ‘korban’.

Di mana kebanyakan informasi yang bertebaran mengatakan bahwa korban perdagangan orang berasal dari negara ketiga saja. Padahal tidak, negara maju seperti Amerika Serikat yang notabene memiliki regulasi yang kuat dalam penanganan dan pencegahan TPPO saja masih memiliki jumlah kasus human trafickking yang tak kalah besarnya. Sehingga setiap negara pun, bukan sekadar pembeli atau penerima tetapi korban.

Arus globalisasi yang telah melemahkan batas-batas teritori negara seakan-akan menjadi dua mata pisau yang tajam. Di satu sisi mempermudah migrasi, di satu sisi yang lain juga mempermudah tindak perdagangan orang.

Tak diragukan lagi, human trafficking adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM yang kejam namun jarang disorot. Karena kejahatan perdagangan orang bersifat kompleks dan dinamis, terjadi dalam berbagai konteks dan sulit dideteksi. Sehingga data yang terjadi pun sangat minim. Dan hal itu juga beriringan dengan tantangan terbesar dalam mengembangkan respons anti perdagangan orang yang terarah dan juga mengukur dampaknya.

Padahal, lapisan penderitaan yang didera korban pun sangat tebal. Dalam satu kasus kerja paksa, satu korban dapat mendera tumpukan beban kesehatan fisik, mental, finansial bahkan seksual. Belum lagi bentuk kejahatan lainnya yang masih dalam koridor perdagangan orang seperti tenaga militer untuk peperangan, perdagangan organ, bahkan pernikahan pesanan dan lain sebagainya.

Dalam lanskap internasional, terdapat Protokol Palermo yang lahir dari perjanjian internasional sekaligus bagian dari kovensi PBB memiliki upaya untuk melawan Kejahatan Terorganisasi Transnasional.

Protokol Palermo lahir dari perjanjian internasional yang menjadi bagian dari Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisasi Transnasional (UNTOC). Protokol ini bertujuan untuk memberi kerangka global dalam upaya mencegah dan memberantas perdagangan orang, berpihak pada korban dan membangun kerja sama antar negara.

Melansir tulisan Linn Larsson (2021) yang menyoal Protokol Palermo dengan mendefiniskan perdagangan manusia sebagai segala bentuk eksploitasi seperti tindakan merekrut, menampung, mentransfer disertai ancaman atau pemaksaan lainnya seperti penipuan, penculikan, atau segala bentuk memanfaatkan kelemahan individu secara umum.

Dengan memberikan pedoman umum dalam penanganan kasus perdagangan manusia Protokol Palermo ini telah diratifikasi oleh negara kita melalui UU No. 14 Tahun 2009. Sebelum itu ada UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Tentu, pendekatan kontekstual digunakan negara kita untuk membaca Protokol Palermo sehingga regulasi yang tercantum pun lebih spesifik pada penanganan kasus di tingkat nasional.

Melansir dari Kompas.com (4/5/2023), Chrisanctus Paschalis Saturnus, Pimpinan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPMP) Keuskupan Pangkalpinang dalam opininya yang berjudul Perdagangan Orang Sebagai Persoalan Republik menyebutkan bahwa penyebab lemahnya penegakan hukum pada kasus TPPO ialah penindakan kasus yang beririsan dengan UU Ketenagakerjaan yang fokus pada administrasi berujung pada manipulasi infrafstruktur kependudukan, KemenPPA yang notabene ialah lembaga non departemental menjadi kesulitan dalam memegang garis koordinasi, dan kasus perdagangan manusia kalah prioritasnya dengan agenda seperti anti-terorisme, anti-narkoba, bahkan selundupan baju bekas.

Hal ini menjadi miris ketika negara minim hadir dalam kasus-kasus kemanusiaan seperti ini. Meskipun jaringan bawah tanah terorisme dan narkoba tak kalah rumitnya dengan terorganisinya para kriminal perdagangan orang. Namun, sangat aneh ketika kasus TPPO tidak menjadi agenda utama pemerintah dalam menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman bagi warganya. Mengingat kasus kemanusiaan selalui beririsan dengan manusia, tanpa condong pada kasus kemanusiaan yang mana dan mana yang mudah ditangani.

Melampaui Batas Wilayah dan Fatamorgana Penanganan Kasus

Dalam banyak kasus perdagangan manusia, batas wilayah geografis menjadi hilang. Hal tersebut dikarenakan perdagangan yang dilakukan sudah melibatkan dua negara atau lebih. Penulis menduga bahwa lintas negara begitu langgeng ketimbang dalam wilayah satu negara karena kebutuhan akan tenaga di negara maju meningkat dan jurang kemiskinan di negara berkembang semakin mendalam.

Tentu dampak yang didera korban akan lebih berlapis ketika ia berada di luar jangkauan negara asal. Mengutip penelitian yang digarap Evie Ariadne, dkk yang berjudul Human Trafficking in Indonesia: The Dialectic of Poverty and Corruption (2021) menyebutkan bahwa ekonomi dan mencari pekerjaan adalah motivasi terbesar yang menghanyutkan korban dalam ekosistem kejahatan lintas batas ini. Pasalnya, sebelum diberangkatkan para korban kerap kali dijanjikan dengan gaji besar dan hidup mapan. Kemudian, dokumen identitasnya seperti paspor disita, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri.

Menurut laporan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dari tahun 2020-2023 pekerja migran asal Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia tersebar di daerah Eropa Timur, Timur Tengah, dan Asia. Dalam hal ini, Polandia menjadi urutan pertama dengan jumlah 364 korban. Disusul dengan Arab Saudi sebanyak 220 korban, Kamboja yang berjumlah 212 korban, Malaysia sebanyak 105 korban, Taiwan dengan jumlah 92 korban dan masih banyak lagi yang tersebar di 38 negara lainnya.

Pada tahun 2023, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menangani 1346 kasus TPPO yang hingga laporan tersebut dirilis masih menyisakan 600-an kasus yang belum selesai. Minimnya keberpihakan pada korban masih saja dipegang erat petugas penanganan kasus yang dalam hal ini ialah kepolisian.

Sangat tidak masuk akal memang, ketika korban dengan kesehatan fisik, mental dan finansial tidak baik-baik saja kasusnya malah mangkrak tanpa ditindaklanjuti. Saenudin, salah satu korban TPPO yang bekerja selama 19 bulan di bawah bendera Taiwan telah melaporkan dan kasusnya mangkrak selama 9 tahun di meja kepolisian. Ia sudah merasa bosan ketika kepolisian memeriksanya berkali-kali tanpa tindak lanjut penangkapan pelaku.

Selain ketidakberpihakannya kepada korban, pemahaman polisi terhadap TPPO dinilai juga belum merata. Pasalnya, beberapa kasus TPPO, pollisi malah menggunakan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) ketimbang UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Memang banyak kasus menjerat perusahaan ilegal yang tidak memenuhi hak Pekerja Migran, padahal kesempatan untuk mendalami kasus TPPO dengan berhadapan langsung dengan korban disingkirkan begitu saja.

Belum lagi pemerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap korban. Laporan Project Multatuli yang berjudul ABK Mencari Keadilan di Tangan Bareskrim Polri: Dari Dugaan Pemerasan oleh Penyidik Satgas TPPO hingga Penyelidikan Dikalim Berlarut-larut (2022) menyebutkan kesaksian korban yang diperas oleh penyidik dengan sejumlah uang 100 juta. Ditambah kerja sama gelap sindikat pelaku dengan penyidik untuk tidak menindaklanjuti kasus dan memenuhi berkas-berkas kasus yang perlu dipenuhi.

Tak heran jika banyak kasus mangkrak yang seakan-akan berjalan di tempat. Ribuan laporan kasus seperti diselidiki dengan cermatnya, namun hanya bayang-bayang tak nyata seperti fatamorgana di gurun pasir.

Memang, perdagangan orang menjadi keprihatinan global yang menyeluruh. Tetapi, setidaknya, melalui coretan singkat ini dapat membuka pikiran kita dan memberikan edukasi kepada khalayak mengenai perdagangan orang yang notabene adalah kejahatan yang sama kejamnya dengan kasus kemanusiaan yang lain serta dapat menumbuhkan sensibilitas masyarakat untuk dapat mengendus kasus ini dengan baik. Namun, hal ini dikeruhkan tertimbunnya kasus-kasus kemanusiaan khususnya perdagangan orang dengan kasus-kasus lain yang kadang kala urgensinya tidak seberapa.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending