web analytics
Connect with us

Rilis

Sebuah Kisah Eks Migran

Published

on

JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto

Oleh Imelda Zuhaida

Beberapa waktu lalu, penulis bertemu dengan para mantan buruh migrant di kecamatan Kokap Kulon Progo. Dikisahkan oleh seorang perempuan bernama Sukini (36 tahun)yang berangkat ke Taiwan sebagai PRT. Perempuan lulusan SMEA Negeri Wates jurusan pemasaran ini, diajak oleh orang Wates yang merupakan perwakilan dari PJTKI yang berdomisili di Jakarta. Sukini berangkat bersama teman-temannya ke Jakarta. Di Jakarta dia bersama teman-temannya ditampung selama 5 bulan untuk mengikuti training memasak, merawat bayi dan bahasa.

Dalam kontrak kerjanya tertera dia sebagai pramurukti (merawat orang tua) selama 2 tahun tetapi sesampai disana, dia harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dengan jam kerja selama 12 jam sehari, mendapat libur 1 hari dalam 1 bulan. Selama di Taiwan, Sukini mendapat gaji sekitar 4,5 juta,rupiah dipotong oleh PJTKI sebanyak 1 juta rupiah selama 1 tahun untuk biaya keberangkatan. Sukini memperpanjang kontraknya menjadi 3 tahun. Setelah pulang, atas kebaikan majikannya, dia diberi hadiah emas sebanyak 10 gram.

Saat pulang ke Indonesia, di bandara Sukini sangat ketakutan oleh para calo. Dia berharap, pemerintah memberikan jaminan keamanan saat kepulangan TKI di bandara.
Hasil dari pendapatan selama Sukini merantau, Sukini bisa membeli kebun kelapa sawit sebanyak 2 hektar dengan harga 60 juta rupiah di Riau yang dikelola oleh mertuanya. Penghasilan dari kelapa sawit ini antara 2 juta rupiah hingga 6 juta rupiah, tergantung jumlah panen. Uang ini dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena suaminya juga tidak mempunyai pekerjaan tetap.

Jika dilihat pelanggaran yang terjadi, Sukini sudah diperlakukan tidak adil. Dimulai saat di penampungan, sering terjadi kekerasan verbal (dibentak) jika melakukan sedikit kesalahan. Yang kedua, dikontrak kerja yang hanya pramurukti, dia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga penuh. Ketiga, pemotongan gaji sebanyak 12 juta rupiah yang tidak disampaikan sejak awal pemberangkatanKarena Sukini tidak pilihan saat itu, dia hanya pasrah.

Lain halnya dengan Sunarti (30 tahun) seorang lulusan SMK PGRI Sentolo. Dia berangkat dua kali ke negeri Malaysia. Yang pertama selama 2 tahun, dia sebagai tenaga di pabrik IC untuk pesawat dan telpon genggam. Dia berangkat ke Malaysia karena ajakan temannya yang pernah menjadi TKI di Malaysia melalui PJTKI yang ada di Yogya. Sebelum diberangkatkan, Sunarti sempat tinggal di penampungan di Solo selama 1 hari.

Upah yang diterimakan sebanyak 430 Ringgit atau sekitar 2 juta Rupiah sesuai dengan standar UMR Malaysia saat itu dengan jam kerja 12 jam, istirahat 2 kali untuk sholat dan makan, masing-masing 15 menit. Sebelum bekerja, Sunarti mendapatkan training selama 2 bulan. Kepergian Sukini ke negeri Jiran yang kedua dengan PJTKI yang berbeda, dia harus membayar uang awal 5 juta yang dia dapatkan dari orang tuanya dengan menjual kayu. Di perusahaan yang kedua ini, Sukini sering mendapat perlakuan kekerasan dari mandor pabrik jika melakukan kesalahan.

Hasil dari merantau selama 4 tahun di Malaysia, Sukini yang kini beraktivitas sebagai pembuat wig (rambut palsu) ini, tidak sebanding dengan jerih payahnya. Jangankan untuk mengembalikan uang tuanya 5 juta yang dipinjam untuk keberangkatan, dia hanya bisa untuk membeli TV, selebihnya habis untuk biaya konsumsi disana, meskipun dia tinggal di asrama.

Meskipun saat Pemilu, tetap dilibatkan atas fasilitas perusahaan, namun Sukini mengaku tidak akan kembali ke Malaysia karena tidak kerasan karena kerjanya tidak manusiawi. Ada lagi, Tumiyati (36 tahun) berangkat ke Malaysia tahun 2000 sebagai pekerja di pabrik kayu lapis melalui PJTKI Persada Duta Utama Wates dengan biaya 3 juta yang didapat dari hutang . Sebelum berangkat, dilakukan training selama 3 bulan. Tumiyati merantau ke negeri jiran dengan kontrak 3 tahun, kemudian diperpanjang 2 tahun, kemudian 1 tahun, sehingga total 6 tahun.

Perjalanan menuju Malaysia menggunakan kapal laut selama 1 minggu yang singgah di Tarakan dan Towawu. Gaji yang diterima 8 ringgit dengan beban kerja 600 lembar kayu lapis per hari. Jam kerja 12 jam dengan waktu istirahat 15 menit 2 kali untuk ibadah dan makan. Melihat pengalaman yang pahit, dari modal awal untuk keberangkatan, proses pengangkutan, beban kerja dan gaji yang sangat tidak manusiawi. Makanya Tumiyati memilih untuk tidak menjadi buruh migran lagi.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ekspresi

Edukasi Pencegahan Kekerasan Anak di Jalan Bagi Pendidik di Kulon Progo

Published

on

Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos-PPPA) Kulon Progo mengadakan edukasi untuk mencegah kekerasan anak di jalan. Sosialisasi ini diadakan di Aula Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Rabu (6/3/2024). Kepala Dinsos-PPPA Kulon Progo, Bowo Pristiyanto, mengatakan bahwa 50 kepala SMA/SMK diundang dalam sosialisasi ini. Mereka diharapkan menjadi agen informasi dalam mencegah kekerasan anak di jalan.

Bowo menilai sekolah dapat menjadi tempat untuk mencegah kekerasan anak di jalan. Guru dapat berkomunikasi langsung dengan orang tua murid untuk memberikan edukasi tentang pencegahan kekerasan. Bowo juga melihat bahwa anak-anak di Kulon Progo sering berkumpul di berbagai lokasi hingga larut malam. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya kekerasan.Bowo berharap wali pelajar juga berperan dalam mencegah kekerasan anak di jalan. Menurutnya para guru merupakan garda terdepan dalam pendidikan anak.

Kanit Pidana Umum (Pidum) Satreskrim Polres Kulon Progo, Iptu Rifai Anas Fauzi, mengatakan bahwa terdapat 17 kasus kekerasan anak di jalan yang dilaporkan dari tahun 2023 hingga awal Maret 2024. Kasus ini terjadi di 8 kapanewon, dengan Pengasih dan Wates sebagai yang terbanyak dengan 8 kasus. Rifai menduga bahwa sebenarnya ada lebih banyak kasus kekerasan anak di jalan yang tidak dilaporkan.

Wahyu Tanoto dari Organisasi Kemasyarakatan Mitra Wacana mengatakan bahwa pandangan orang dewasa terhadap anak sering kali memperkuat stigma dan perlakuan tidak adil terhadap anak. Tanoto mengatakan bahwa orang dewasa, termasuk pendidik, perlu mengubah sudut pandangnya terhadap anak dengan cara melibatkan mereka dalam proses pencegahan kekerasan. Tanoto juga mengatakan bahwa Indonesia sudah memiliki banyak peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang dapat dijadikan pedoman dalam mencegah kekerasan terhadap anak di jalan. “Yang terpenting sekarang adalah implementasi dan pengawasan yang serius.”. Ujarnya. (Tnt).

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending