Publikasi
Kisah Perjuangan Perempuan P3A Banjarnegara Melawan Kekerasan
Published
2 years agoon
By
Mitra WacanaBagian 5 Buku Menyuarakan Kesunyian
Pada tahun 2014-2017, saya bergabung dengan perkumpulan Mitra Wacana Yogyakarta, organisasi yang bergerak pada isu perempuan dan anak. Saya ditugaskan sebagai pendamping komunitas di Desa Berta dan Karangjati Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, untuk melakukan penguatan terhadap perempuan dan anak agar terbebas dari kekerasan seksual pada anak.
Menurut Komnas Perlindungan Anak Indonesia tahun 2012 menyebutkan bahwa kekerasan seksual mencapai 1.074 kasus (48%) dari 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Data ini selaras dengan Banjarnegara sebagai daerah yang cukup tinggi angka kekerasan seksualnya. Menurut Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Banjarnegara, pada 2012 tercatat 61 kasus kekerasan terhadap perempuan, 43 kasus atau 70% diantaranya kekerasan terhadap anak.
Pada tahun pertama pendampingan, Mitra Wacana melakukan peningkatan kapasitas kepada kelompok perempuan, remaja dan aparat pemerintah desa yang didasarkan pada hasil penelitian “Kesadaran Akan Hak Perlindungan Dari Kekerasan Seksual Terhadap Anak” di Kecamatan Punggelan dan Susukan. Riset melibatkan responden perempuan berjumlah 198 orang, responden anak 123 orang, 40 orang dari aparat pemerintah desa dan petugas kesehatan di PUSKESMAS atau POLINDES.
Hasilnya menunjukkan bahwa persentase rata-rata nilai kesadaran perempuan mengenai hak perlindungan dari kekerasan seksual terhadap anak di dua kecamatan sebesar 57 %, sedangkan anak-anak (41%). Kedua, di level pemerintah desa, POLINDES dan PUSKESMAS persentase rata-rata kesadaran pemerintah desa dalam pelayanan publik atas hak perlindungan kekerasan seksual terhadap anak, sebesar 52 %. Data penelitian menunjukkan bahwa responden berada di tingkat sedang atau medium. Rekomendasinya adalah perlu ditingkatkan kesadarannya untuk perempuan dan anak akan hak perlindungan dari kekerasan seksual. Dengan harapan, jika kesadaran meningkat maka akan terbebas dari segala bentuk kekerasan. Untuk pemerintah desa bisa lebih optimal dalam pemenuhan hak perlindungan kepada warganya.
Dari dasar inilah kemudian disusun stategi pendampingan, bagaimana kita sebagai bagian dari masyarakat agar memberikan kontribusi untuk membangun kesadaran. Karena, kekerasan terhadap perempuan dan anak makin meningkat. Di sisi ain, meningkatnya jumlah kekerasan bisa menjadi indikator keberhasilan bahwa korban telah berani melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya.
Kondisi di atas membuat Mitra Wacana terdorong untuk mengorganisir perempuan dan anak agar bergerak bersama melakukan pencegahan kekerasan seksual di desa. Dengan cara memperkuat pengetahuan, meningkatkan kapasitas kelompok perempuan dan membangun jaringan agar terlibat aktif mencegah segala bentuk kekerasan.
Gender dan parenting
Pengarusutamaan isu gender, tidak selalu mudah untuk dibagikan kepada orang lain. Karena berkaitan dengan cara hidup, keyakinan, dan perjuangan meniadakan mitos yang telanjur berkembang di masyarakat. Perempuan sering kali dianggap sebagai konco wingking (teman belakang) yang hanya bisa berperan di wilayah rumah tangga. Hal ini berdampak pada terhambatnya keterlibatan perempuan di ranah publik, seperti hak akses pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Sebagai pendamping masyarakat, saya berusaha bagaimana pengetahuan ini bisa didialogkan. Karena ini sesuatu yang dekat, sesuatu yang menurutku ada dan kita jalani dalam kehidupan kita. Bahwa terkadang budaya di masyarakat kita belum sepenuhnya adil bagi semuanya.
Pengalaman pendampingan telah mengajarkan saya bahwa mendialogkan isu gender seperti sedang mengaduk-aduk kolam yang tenang. Bagi masyarakat di Desa Berta dan Karangjati isu gender merupakan pengetahuan yang relatif baru. Oleh karenanya ketika gender di diseminasikan ke publik muncul beragam tanggapan karena mendobrak kelaziman. Misalnya yang pernah dialami oleh Lurah Karangjati, Suyati, karena dirinya perempuan sering kali di stigma negatif oleh pendukung lawan politiknya.
Siang itu, ketika pertama kali mengulas isu gender dengan masyarakat di Desa Berta dan Karangjati, kami membahas akar kekerasan, perbedaan seks dan gender. Mengapa gender dibahas terlebih dahulu? Kami memiliki harapan, jika sejak awal masyarakat dikenalkan dengan gender maka akan bersikap kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan.
Seks bersifat kodrati, universal, tidak bisa dipertukarkan merupakan identitas biologis. Gender adalah konstruksi budaya yang merujuk pada pembedaan peran laki-laki dan perempuan di masyarakat. Pembedaan peran tersebut menimbulkan ketidakadilan, terutama pada perempuan. Apalagi di masyarakat yang cenderung masih mengunggulkan salah satu gender justru makin mempersulit ruang gerak perempuan. Pada dasarnya, pembagian peran dapat dilakukan laki-laki dan perempuan tanpa perlu mempersoalkan identitas kelamin biologisnya.
Mengurus rumah tangga, mendidik anak masih dianggap sebagai sebagai tugas perempuan. Mencari nafkah, memimpin, terlibat urusan publik sebagai kewajiban laki-laki. Namun pada kenyataannya, banyak juga perempuan yang menjadi kepala rumah tangga dan memiliki jabatan publik. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga tidak selalu dipimpin oleh laki-laki. Sayangnya, peran perempuan sebagai pemimpin keluarga terkadang tidak dianggap sebagai fakta sosial. Sebaliknya banyak juga laki-laki yang mampu berperan di ranah rumah tangga, contohnya; memasak, momong anak dan mencuci perabotan rumah tangga.
Perempuan juga kerap mengalami beban ganda. Meskipun mengurus rumah tangga, masih dituntut bekerja dengan alasan demi “membantu” perekonomian keluarga. Bagi penulis, banyak perempuan dalam situasi di atas. Namun tidak menyadarinya sebagai bentuk ketidakadilan.
Dalam proses pembelajaran, juga diungkapkan bentuk-bentuk relasi ideal suami dan istri. Bahwa mengurus rumah tangga bisa dilakukan keduanya, mendidik anak juga sebagai tanggung jawab bersama. Menariknya, sebagian dari peserta juga membagikan pengetahuan yang didapakan kepada anggota keluarganya.
Berbeda dengan kelompok perempuan, kepada kelompok remaja menitik beratkan pada cara mengenali dan menyikapi kekerasan dalam pacaran (pelecehan) dan kekerasan seksual akibat dari ketidakadilan gender. Kepada kelompok anak juga disampikan membangun relasi setara dengan teman sebaya, pengormatan terhadap peran laki-laki dan perempuan serta pengetahuan tentang bahaya mitos jika dilanggenggkan.
Materi di atas dapat diserap dengan baik oleh kelompok remaja karena merasa lebih dekat dengan dunia mereka. Bagi kelompok remaja, informasi pengetahuan ini membuat mereka berani bersikap dan melawan ketika dalam membangun relasi ada perilaku pasangan yang melecehkan.
Sedangkan bagi kelompok perempuan, ada yang mengaku mudah menerima materi gender. Namun ada pula yang menolaknya karena dianggap sebagai bentuk “berani” dengan suami. Menurut mereka, pembelajaran bersama Mitra Wacana akan berdampak negatif jika bertambah pintar, kritis terhadap kondisi lingkungan sekitarnya.
Sebagai pendamping, saya dapat memahami reaksi dan kegelisahan mereka. Karena, pembahasan isu gender ternyata menimbulkan resistansi bagi sebagian kelompok laki-laki. Misalnya, ada suami yang mulai melarang istrinya mengikuti kegiatan bersama Mitra Wacana.
Menyikapi kejadian di atas, saya mencoba melakukan pendekatan kepada beberapa tokoh masyarakat. Saya sempat menyampaikan di forum-forum warga, membaur dan mengikuti kegiatan di desa serta sering “nongkrong” di balai desa. Akhirnya saya mendapatkan informasi jika ada sebagian orang yang mendukung kegiatan Mitra Wacana, meskipun ada juga kritik kepada kami bahwa proses pembelajaran yang kami lakukan dituduh “merugikan” laki-laki. Alasan mereka, istri sudah berani berdebat dengan suami. Sebaliknya, bagi Mitra Wacana merupakan tanda-tanda keberhasilan jika perempuan sudah mulai mengemukakan pendapatnya dihadapan suami.
Ketika mendampingi Desa Berta ada satu peristiwa yang membuat gempar di kecamatan Susukan, yaitu kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kepala desa kepada seorang perempuan. Perempuan korban masih memiliki hubungan saudara dengan kepala desa. Dalam pembacaan saya sebagai pendamping, kejadian tindak kekerasan seksual ini makin membuka mata masyarakat jika perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan. Peristiwa ini juga memicu kemarahan warga Desa Berta untuk “menghukum” dengan memberikan sanksi sosial dan melengserkan kepala desa.
Kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan korban tersebut juga menjadi tanda bahwa ada ketimpangan gender dan persoalan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku merupakan kepala desa yang memiliki power (kekuatan), sedangkan perempuan korban adalah warga biasa, yang sehari-hari bekerja mengurus rumah tangga.
Dari kejadian tersebut, Mitra Wacana memperoleh kepercayaan karena sedikit banyak terlibat dalam pertemuan dan diskusi-diskusi membahas tindak lanjutnya. Kelompok perempuan dan remaja serta masyarakat merasa perlu memiliki pengetahuan dan kepedulian melakukan pencegahan kekerasan. Karena, setiap orang rentan menjadi korban.
Selama proses menemani kelompok perempuan dan remaja, saya menemukan momen ketika anggota kelompok rata-rata masih memiliki anak yang berusia di bawah 18 tahun. Saya mencoba memperkenalkan isu parenting kepada mereka.
Suatu hari, saya menjumpai seorang perempuan yang melakukan kekerasan verbal dan fisik pada anak. Saya mencoba mencari informasi dengan mengunjungi para perempuan yang sedang bekerja membuat bulu mata (ngidep). Menurut penuturan mereka, memarahi anak dianggap sebagai cara mendidik yang wajar dan lumrah.
Berbekal inormasi di atas, menjadi bahan diskusi dengan mereka menggunakan pendekatan parenting. Dimulai dari mengidentifikasi berbagai pola perilaku orang tua dalam mendidik anak, kebiasaan orang tua dalam mengajarkan sesuatu kepada anak. Mereka bercerita, ketika anaknya terjatuh malah memukul/ menyalahkan benda di sekitar. Menurut mereka cara ini cukup efektif sementara waktu. Setelah saya mengamati mereka tidak menyadari bahwa yang memukul/ menyalahkan benda perilaku yang perlu diubah. Mereka mengungkapkan jika Tindakan memarahi dilakukan secara turun temurun yang meraka dapatkan dari orang tua mereka. Membentak, menjewer dan mencubit anak menurut mereka wajar dilakukan agar anak diam/ menjadi penurut.
Berbagai kebiasaan “negatif” yang mereka lakukan pada anak dibahas dalam pertemuan, terutama dampak pada perkembangan anak di masa depan. Berbekal pengetahuan dan literatur yang saya miliki, kami memulai dari sebab akibat (konsekuensi) tindakan menyalahkan pihak lain (memukul benda) ketika anak terjatuh. Kami sampai pada kesimpulan bahwa membentak anak termasuk tindakan kekerasan verbal yang bisa memengaruhi kondisi psikologisnya.
Contohnya ketika membentak anak yang sedang tantrum. Menurut Dokter Amir Zuhdi, ahli neuroscience Indonesia menyatakan bisa memutus sambungan neuron (sel-sel saraf otak) pada anak. Bentakan dan teriakan pada anak membuat anak takut dan tubuhnya memproduksi lebih banyak hormon kortisol (hormon stress) yang mempercepat kematian sel saraf otak. Akibatnya anak berhenti memproses pengetahuan dan pengalaman hidupnya, membuat daya berpikirnya lambat. Dampaknya anak menjadi penakut dan tidak independent (tidak berani mengambil keputusan secara mandiri) karena takut berbuat salah.
Dengan parenting, ternyata mampu memengaruhi perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku orangtua saat mendidik anak. Dari perilaku yang cenderung menggunakan kekerasan menjadi lebih ramah anak. Saya juga mengenalkan nilai-niali keadilan dan kesetaraan gender. Pembagian peran antara suami dan istri ketika mendidik anak bisa memengaruhi tumbuh kembangnya.
Fenomena makin maraknya remaja pacaran, juga menjadi pembahasan dalam pertemuan dengan kelompok perempuan dan anak. Pernah ada cerita dari ibu-ibu di Desa Berta bahwa remaja perempuan yang menjalin pacaran dianggap karena kurang kasih sayang dari ayah. Akibatnya anak tersebut mencari “kasih sayang” di luar rumah.
Bagi anak laki-laki, kehadiran ayah menjadi bisa sosok panutan dalam menjalin relasi dengan Ibu. Bagi sebagian anak, dari sosok ayah juga bisa belajar kepemimpinan.
Menurut hemat saya, dengan topik parenting ternyata bisa memantik kesadaran bersama jika menjadi orang tua tidak semudah yang dibayangkan karena tidak ada manual book pasti ketika akan mengenal karakter anak. Saya percaya, melalui berbagi pengetahuan dan pengalaman bisa menjadi pembelajaran yang bermanfaat agar di masa mendatang setiap orang tua mampu menemani hak tumbuh kembang anak sesuai dengan zamannya.
Saya merasa, dengan parenting kelompok perempuan terlihat lebih nyaman ketika mendiskusikan pembagian peran di dalam keluarga. Mereka memiliki motivasi ingin menciptakan generasi yang lebih baik dengan cara saling menghargai peran-peran yang dilakukan oleh suami/istri atau anggota keluarga lainnya.
P3A sebagai gerakan sosial
Pada tahun kedua, terbentuk Pusat Pembelajaran Perempuan dan anak (P3A) setelah mendapatkan berbagai macam pengetahuan isu gender dan parenting di masing-masing desa. P3A lahir dengan cita-cita menjadi wadah perempuan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan melalui organisasi. P3A juga berfungsi sebagai sanggar belajar perempuan. Harapannya mampu menjadi gerakan sosial untuk melawan segala bentuk kekerasan di Banjarnegara.
Hadirnya P3A juga sebagai jawaban atas keinginan perempuan dan remaja agar bergerak secara bersama- sama untuk kemajuan perempuan. Karena, di Desa Berta dan Karangjati belum banyak yang memiliki pengalaman berorganisasi. P3A di Desa Berta bernama Pelita Hati. Desa Karangjati P3A Women Care.
Selama mendampingi mereka, dalam catatan saya P3A telah memberikan kontribusi bagi desanya. Mereka membagikan pengetahuan dan pengalamannya yang diperoleh ketika belajar bersama Mitra Wacana pada lingkungan sekitarnya. P3A juga memiliki perencanaan kegiatan, menyusun alur pelaporan korban kekerasan berbasis gender, terlibat dalam musyawarah perencanaan dan pembangunan desa dan mengelola bilik konseling di balai desa setelah berhasil memperjuangkan aspirasinya.
Bagi saya, para perempuan P3A ini adalah individu yang kreatif ketika mengenalkan bahaya kekerasan seksual kepada anak-anak sekolah melalui lirik dan lagu sentuhan aman dan tidak aman. Bahkan, banyak diantara mereka juga tampil sebagai narasumber/ fasilitator kegiatan edukasi di sekolah-sekolah.
Mereka tampil percaya diri ketika membawakan materi kekerasan dalam pacaran di sekolah. Memang tidak dapat dipungkiri jika pacaran sudah menjadi fenomena bagi kalangan pelajar, namun P3A menanamkan nilai- nilai penghargaan kepada pasangan agar melakukan pacaran sehat; tidak mengatur, dan tidak menjadi pelaku kekerasan (verbal, fisik, psikis, seksual dan ekonomi).
Ada satu kisah dari anggota P3A Pelita Hati, Lilis, yang mampu menguak pelaku kekerasan seksual di sekolah yang dialami oleh anak perempuannya. Menurut Lilis, melihat gelagat anaknya yang tidak seperti biasanya. Anak perempuannya tiba-tiba tidak bersemangat pergi ke sekolah, terlihat murung, dan sering menyendiri.
Berlahan, Lilis mendekati anaknya meluangkan waktu bersama anaknya untuk mengetahui perubahan perilakunya. Anak mulai bercerita, bahwa sekolah sudah tidak nyaman, pernah diraba-raba area pribadinya oleh oknum guru.
Lilis berinisitif menyampaikan kegundahan hatinya ini kepada P3A. Dengan dukungan dari teman-temannya ini mereka melaporkan kejadian ini kepada pihak sekolah dan meminta dinas pendidikan kabupaten memecat secara tidak hormat oknum guru yang melakukan pelecehan. Perjuangan mereka membuahkan hasil. Oknum guru yang melakukan pelecehan seksual dipecat dari sekolah. Lilis bersama P3A juga memberikan ultimatum kepada pihak sekolah agar melindungi peserta didik dari pelecehan seksual.
Saya mencatat perubahan paling signifikan P3A ketika di awal pendampingan rata-rata masih menganggap jika musyawarah di desa hanya milik laki-laki, bahkan tidak percaya diri ketika menghadiri pertemuan-pertemuan di balai desa. Namun setelah sekian lama mengorganisir mereka, tampak jelas perubahan individu dan P3A. Jika sebelumnya mereka hanya mengurus konsumsi, sekarang sudah berperan menjadi peserta yang berani mengungkapkan pendapatnya untuk kepentingan kaum perempuan. Bagi saya, P3A telah terlibat sebagai warga yang terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan di desa.
Saya juga menyaksikan proses perubahan individu di P3A. Contohnya Samiarti, berani terbuka dengan pengalamannya bercerai 3 kali yang di stigma buruk oleh lingkungan tempat tinggalnya. Namun warga tidak mengetahui jika Samiarti pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Samiarti juga pernah mengalami masa tidak percaya diri ketika tampil di masyarakat. Menurutnya, pengalaman hidupnya bisa menjadi contoh bahwa kekerasan terhadap perempuan apapun bentuknya harus dilawan. Karena, ketika didiamkan anak-anaknya juga menjadi korban terus menerus. Bagi Samiarti, P3A memiliki kesan tersendiri sebagai kawan seperjuangan dan membuatnya lebih optimis menatap masa. Aktivitas Samiarti di P3A juga mendapatkan dukungan dari suaminya saat ini.
Saya juga mengenal Ibu Sum, Ibu Yayuk, Ibu Darwati dari Desa Karangjati yang selalu merespon ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan, meskipun berasal dari desa lain. Pernah ada seorang perempuan bukan warga Desa Karangjati melaporkan jika cucunya yang tuna bisu, berusia 11 tahun diperkosa oleh kakek tirinya. Saat itu, Ibu Sum dan P3A Women Care segera mengunjungi korban untuk mendampingi mereka melaporkan kasus tersebut kepada P2TP2A Kabupaten Banjarnegara dan Kepolisian. Namun, kasus berakhir damai karena pelaku mengancam akan melakukan bunuh diri jika di penjara. Kejadian ini tentu sangat tidak adil bagi korban karena pelaku melenggang bebas, sedangkan korban rentan mengalami trauma seumur hidup. Saat itu, memang ada keputusan dari kepala desa jika pelaku harus menjauh dari rumah korban.
Bagi saya seorang pendamping, keberanian perempuan P3A membela korban patut diapresiasi. Mengingat, sebelum tergabung di P3A mereka sebagai perempuan yang terpinggirkan karena hampir tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan di desa. Namun, sekarang sudah terlibat aktif melakukan pelindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan.
Saya perlu mengucapkan syukur dan berterima kasih tidak terhingga atas perjuangan perempuan P3A yang saat ini masih melakukan upaya-upaya pencegahan kekerasan dan memberikan layanan bagi korban. Mereka juga memiliki konsistensi sebagai agen perubahan di desanya.
Pembelajaran
Segala bentuk kekerasan adalah kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. Seperti diketahui, bahwa hak asasi melekat pada semua manusia sejak dilahirkan (tidak bisa dibeli atau diberikan). Contohnya, hak untuk mendapatkan rasa aman, nyaman, tanpa diskriminasi, dan bebas dari rasa takut. Perlu gerakan bersama melawan segala bentuk ketidakadilan, agar para korban berani bersuara mengungkapkan yang dialaminya. Banyak korban kekerasan yang akhirnya memilih diam karena tidak mendapatkan dukungan. Cap negatif sering kali disematkan pada korban dan menjadi sasaran pengucilan atas peristiwa yang mereka alami. Padahal dengan lekatnya label negatif tersebut, proses pemulihan pun menjadi masalah baru. Dampaknya, korban mengalami kekerasan berulang.
P3A telah mencontohkan kepada kita semua, bahwa dengan bergerak bersama, membangun jaringan dan menumbuhkan kesadaran kolektif dari lingkungan terdekat mampu menghadirkan perubahan dan cara pandang baru dalam menciptakan relasai setara. Dengan begitu, akan tercipta generasi humanis atau generasi yang memutus rantai kekerasan.
Berita
Diseminasi Pendataan PMI bersama Stakeholder
Published
6 days agoon
27 September 2024By
Mitra WacanaJumat, 27 September 2024 Diseminasi hasil pendataan PMI oleh Mitra Wacana selama bulan Juli-Agustus 2024 di 9 Desa dampingan di Kulon Progo yang bertempat di Joglo Girli Resto & Cafe.
Acara ini dihadiri oleh Kepala Dinas Sosial PPPA Kulon Progo, BP3MI DIY, Imigrasi DIY, Polres Kulon Progo, Balai Dikmen Kulon Progo, Diskominfo Kulon Progo dan 9 Pemerintah Kalurahan dampingan.