web analytics
Connect with us

Opini

Kisahku Bersama Women Care Karangjati Banjarnegara

Published

on

Foto bareng di balai desa Karangjati Banjarnegara

oleh Darini (Anggota WOCA Karangjati)

Nama saya Darini. Saya lahir di Karangjati, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara pada 21 Juni 1974, anak sulung dari tujuh bersaudara. Saya dilahirkan dalam keluarga yang kurang mampu. Ayah saya seorang penderes nira. Pekerjaan itu pun dilakukan jika sungai sedang tidak banjir.

Penderitaan hidup sudah tidak asing lagi bagiku. Kekurangan makan, pakaia bahkan kasih sayang. Sedari kecil saya sudah ditempa dengan keharusan bekerja keras, kesederhanaan dan penderitaan. Pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah, kerja mengurus adik- adidku terlebih dulu. Bahkan kadang ibu menyuruh membawa adikku ke sekolah agar beliau bisa memasak nira untuk dijadikan gula. Maklum, ketika waktu saya kelas satu sekolah dasar, umurku baru enam tahun , tapi aku sudah punya dua orang adik.
Ada satu hal yang selalu kuingat kala bersekolah dulu. Bila pelajaran olah raga tiba, ibu menyuruhkan sarapan air tajin, yaitu air hasil rebusan memasak nasi, lalu diberi garam. Anak sekarang mungkin minum susu. Tapi aku harus minum air tajin,. Kata ibu, tajin bagus untuk kesehatan. Saya aku percaya apa yang ibu lakukan demi kebaikan anak-anaknya. Beliau pasti ingin anaknya sehat walau dengan uang seadanya. Kebiasaan minum air tajin terbawa hingga sekarang. Aku masih sering minum tajin.

Pada masa kanak-kanakku, untuk makan dengan lauk telur ataupun daging ayam harus menunggu saat Lebaran tiba. Atau kalau tidak ya jika bapak diundang kenduri. Itu pun pasti tidak banyak. Harus berbagi dengan adik. Saat pulang sekolah walaupun perut keroncongan tidak bisa langsung makan, tapi harus mencari kayu bakar dulu. Itu persyararatan dari ibuku, karena juga repot mengurus kedua adikku yang masih balita dan harus memasak nira untuk dijadika gula jawa.

Tak Pernah Protes

Meski hidup dengan kondisi seperti itu, namun aku tidak pernah mengeluh atau protes. Saya tetap menuruti semua perintah orang tuaku, dan yang selalu kuingat pesan mereka adalah: “Kamu anak sulung alias mbarep harus bisa menjadi contoh bagi adik-adikmu”. Saya bersyukur, berkat didikan kedua orangtuaku yang begitu keras dan disiplin, bisa menjalani hidup dengun rasa qonaah dan nrima ing pandum, tidak terlalu mengejar duniawi, karena ayah pernah berpesan, “Tanamlah padi maka akan tumbuh rumput, tapi jika kamu menanam rumput tidak mungkin akan tumbuh padi,”. Pepatah itu yang kemudian saya cari artinya dan saya tanyakan pada ayah. Dijawab demikian, “Kalau kamu menanam kebaikan atau berbuat baik untuk akhirat maka rezeki akan menyertaimu. Namun jika kamu hanya mengejar kehidupan dunia, maka akhirat akan terlupakan.”

Sekolahku hanya lulus Sekolah Dasar (SD) karena faktor biaya. Dulu belum ada program (Bantuan Operasional Sekolah) BOS dari pemerintah. Bagi keluarga yang tidak mampu seperti kami, waktu itu tahun 1980, setiap bulan harus membayar Rp 100 rupiah, angka itu cukup besar. Harga beras sekilogram waktu itu di kisaran Rp 50 rupiah. Setiap kali hendak upacara atau olahraga, barulah diberi uang saku Rp 10 untuk beli es, ondol atau sempeleo, jajanan khas desa yang dibuat dari bahan alami. Walau makan seadanya kami sehat tidak berpenyakitan karena belum terkontaminasi bahan kimia.

Itulah kisah masa kecilku yang kalau aku ceritakan pada anak- anakku mereka tidak percaya dan menganggap saya mengarang cerit. Kadang mereka juga bilang, agar kisah masalaluku tidak usah diceritakan karena zaman dulu sudah tidak lagi pas dengan masa kini.

Jadi PRT

Setelah lulus SD, hanya selang beberapa bulan saya langsung diajak ikut kerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Kala itu usiaku belum mencapai 13 tahun. Tubuhku juga masih kecil. Tapi karena ingin meringankan beban oranang tua, saya ikut tetangga bekerja di Bukateja, Purbalingga. Di sana saya bekerja mengasuh anak umur dua tahun, dan harus bersih-bersih rumah, mengepel dan menyapu. Gaji pertama yang saya terima waktu itu Rp 6.000,00, Jumlah yang kecil, untuk ukuran sekarang. Tapi saya sudah membantu beban orang tuaku.

Saya terus bekerja sampai ke Bandung, Yogyakarta, Purwokerto dan akhirnya ikut kursus baby sitter di sebuah lembaga pelatihan keterampilan di Purbalingga yang bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja. Pengalamanku bertambah karena praktek di sebuah rumah bersalin yang cukup ternama sampai sekarang yaitu di Rumah Bersalin (RB) Umu Hani dan RB Panti Nugraha Purbalingga. Karena terbiasa kerja serta memandikan adikku walau masih bayi , saya sudah tidak canggung lagi memandikan bayi yang baru lahir. Tidak merasa jijik atau takut pada darah. Kalau seorang ibu yang melahirkan, saya disuruh mendampingi dan saya pun selalu siap.

Setelah kursus selama tiga bulan, saya lulus dengan predikat rangking pertama u dan mendapat pekerjaan mengasuh anak kembar di rumah keluarga Drg. Bambang di perumahan Dr RSUD Purbalingga. Akhirnya saya pun tiba saatnya mengakhiri masa lajang. Saya menikah dengan pemuda bernama Tarsim, saat usia saya 19 tahun. Delapan belas bulan kemudian kami dikaruniai anak.

Meski hanya lulusan SD, semangat belajarku tak pernah padam. Saya aku selalu mencari informasi dari buku, media televisi dan yang lain, karena mencari ilmu bukan hanya di sekolah dan saya bertekad, suatu saat pasti bisa bersekolah lagi karena menuntut ilmu tidak ada batasan usia. Terbukti waktu usia sudah menginjak 35 tahun, saya ikut program Kejar Paket B dilanjutkan Kejar Paket C. Nilai ujian cukup memuaskan, masuk tiga besar dari 31 orang murid. Sekarang jika ditanya tentang sekolah, saya bisa menjawab bahwa saya adalah lulusan SLTA walau ijazah paket C, tapi saya bangga karena saya peroleh dengan penuh perjuangan di tengah kesibukan sebagai seorang ibu rumah tangga.

Di desa saya juga aktif ikut berbagai macam kegiatan seperti di Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), menjadi ketua POKJA 1. Ketua Pos Yandu,Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Sub PPKBD, Ketua P3A Cahaya Wanita Banjarnegara (CAWAN BARA), P3A CAWAN SUSU, Ketua Divisi Konseling P3A Women Care, Ketua TRI BINA yaitu Bina keluarga balita (BKL), Bina keluarga remaja (BKR),Bina keluarga lansia (BKL) .ketua Pos Pembinaan Terpadu (POSBINDU) dan juga menjadi pendamping PIK REMAJA.

Di tengah-tengah kesibukan yang begitu padat, saya tetap menomorsatukan keluarga, karena bagiku keluarga paling utama. Tanpa dukungan mereka, saya tidak bisa apa-apa.
Saya mempunyai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki. Anak pertama, kini 23 tahun, emestinya ia sudah tumbuh menjadi seorang adis, tapi Tuhan berkehendak lain. Anakku anaku seorang difabel. Namanya Rizki Nur Utami, lahir tanggal 11 September 1994. Sampai sekarang belum bisa menolong diri sendiri, masih seperti bayi. Untuk makan minum masih disuapi. Demikian pula jika buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) masih di celana. Indera yang berfungsi hanya penciuman dan perasa.
Dulu sempat berpikir bahwa Tuhan tidak adil. Dosa apa saya sehingga diberi cobaan seberat ini. Tapi seiring berjalannya waktu saya mulai sadar bahwa Tuhan tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuannya. Saya justru bersyukur karena diberi amanah anak yang difabel berarti Tuhan memberi kepercayaan dan menganggapku mampu merawatnya.

Putraku yang kedua namanya Yoga Fathurrohman usianya 18 tahun dia sudah lulus SMK. Anak anak ketiga, lelaki, Hafid Bagus Wicaksono usianya 12 tahun sekarang dia duduk di kelas satu SLTPN. Suamiki, Tarsim, bekerja sebagai perangkat Desa. Itulah sekelumit kisah keluargaku.

Bersama P3A WOCA

Kini, saya akan bercerita tentang kegiatan bersama dengan Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) WOMEN CARE (WOCA). Awalnya, 17 Oktober 2014 berdirilah organisasi Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) Women Care (WOCA), dengan dukungan dan pendampingan dari Mitra Wacana WRC Yogyakarta. T erbentuknya Women Care mendapat dukungan dari pemerintah Desa Karangjati dengan diterbitkannya surat keputusan Kepala Desa nomor 149/12/2014. Kebetulan Kepala Desa Karangjati adalah seorang perempuan, Ibu Kusyati.

Awal mula tim Mitra Wacana datang ke Desa Karangjati, kami masih bingung. Saya ingat betul waktu itu kami sedang senam bersama para lansia tiba-tiba ada dua orang tamu yaitu Mbak Enik Maslahah dan Mbak Kholiyah, memperkenalkan diri dari tim Mitra Wacana Yogyakarta. Mbak Enik menjelaskan maksud dan tujuannya kepada kami. Katanya akan ada pembentukan P3A di dua desa di Kecamatan Susukan yaitu Desa Berta dan Desa Karangjati.

Meski sudah diterangkan, kami masih bingung dan belum mengerti. Akhirnya kami disuruh berkumpul di Desa Berta selama dua hari. Tapi, waktu itu saya tidak bisa hadir pada hari pertama karena ada acara bersamaan dengan pengajian di RW dan saya ditugasi sebagaipembawa acara. Pada hari kedua baru bisa ikut dan sungguh semuanya terasa asing, baik orang-orangnya yang dari Mitra Wacana itu, maupun materinya. Waktu itu ada Mas Mansyur, Bu Rindang dan entah siapa lagi aku lupa. Begitu aku mendengarkan materi yang disampaikan, yaitu tentang gender, saya tambah bingung. Materi soal apakah gender itu? Begitu saya berpikir. Benar-benar pengetahuan baru yang masih asing di telinga.
Setelah beberapa kali ikut pertemuan sedikit demi sedikit kami mulai mengerti, tapi kadang kami juga masih bertanya- tanya dan menduga-duga mau dibawa ke mana kami ini.

Bahkan di tengah keragu-raguan kami ada oknum yang mengira Mitra Wacana adalah organisasi radikal yang harus diwaspadai. Tapi akhirnya kami bisa merasakan betapa besar manfaat ilmu yang diberikan oleh tim Mitra Wacana untuk kehidupan kami khususnya kaum perempuan.

Rasakan Perubahan

Dengan adanya P3A Women Care di Desa Karangjati sungguh terasa begitu banyak perubahan yang kami alami, khususnya bagi diri saya dan juga keluarga yang semula kami masih awam tentang masalah gender, perlindungan perempuan dan anak dan juga pencegahan kekerasan seksual terhadap anak (PKSTA) dan juga tentang ilmu Parenting atau Pola Asuh Anak. Sedikit demi sedikit pikiran kami mulai terbuka dan mengerti akan pentingnya semua itu. Dulu kami masih berpikiran bahwa soa; perlindungan anak dan perempuan sudah ada pihak yang mengurusi, semua itu bukan urusan kita. Saya juga belum tahu apa perbedaan empati dan simpati .

Tapi seiring berjalannya waktu saya mulai menyadari bahwa tugas perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah tugas kita semua sebagai manusia dan warga indonesia, sesuai dengan amanah undang-undang. Sedikit-sedikit saya juga mengerti tentang Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dan juga Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Setelah ikut P3A banyak ilmu yang saya aku dapat yang paling mendasar yaitu tentang macam-macam kekerasan dan empat zona yang dibuat lagu serta slogan kami :

STOP KSTA,!! WANI NGOMONG WANI LAPOR AJA MENENG BAE..!!!
Untuk teman-teman yang belum tahu syair lagu empat zona, begini syairnya:
Ada 4 zona dalam tubuh kita
Yang tak boleh disentuh oleh orang lain
Yang pertama mulut… mulut..
Yang kedua dada… dada..
Yang ketiga kemaluan,
Yang keempat pantat , malu pantat…
Itu semua milik tubuh kita ,
Yang tak boleh disentuh dan harus dijaga.

Itulah lagu andalan kami jika melakukan sosialisasai ke sekolah SD atau SMP, dan anak-anak pun bisa langsung hafal dan mengerti tentang empat zona tubuh manusia yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.Memang mengajarkan pada anak lewat lagu atau nyanyian lebih cepat diterima dan di hafal, apalagi lagunya juga riang sesuai dengan dunia anak.
Lagu itu kami ciptakan sendiri, dan sekarang sudah banyak yang memakai untuk sosialisasi bahkan sampai diputar di radio. Tentu saja kami sangat bangga.

Di P3A Women Care, Karangjati, kami beranggotakan 20 orang anggota yang aktif, Meskisudah beberapa kali tambal sulam personel tapi anggota aktif kami tetap bertahan berjumlah 20 orang. Pergantian personel terjadi karena ada yang meninggal, yakni senior kami, Bu Kustati. Meski sudah sepuh tapi beliau masih eksis dan aktif di semua organisasi.

Pergantian juga terjadi karena banyak yang mengundurkan diri karena ada kesibukan yang lebih menyita waktu sehingga dia harus memilih mana yang diprioritaskan. Hal itu terjadi pada Ketua WOCA pertama yaitu Bu Sri Wahyuni, seorang guru TK sehingga tidak bisa terlalu sering mengikuti kegiatan di luar sekolah, sehingga Bu Sri Wahyuni memilih untuk mengundurkan diri dengan alasan takut kurang maksimal di WOCA. Beliau aktif sekitar satu setengah tahun,. Beeberapa bulan kemudian baru digantikan oleh wakil ketua yaitu Bu Suminah.

Di bawah kepemimpinan Bu Suminah kami berusaha terus berbenah dan kegiatan dari Mitra Wacana juga sudah mulai banyak di praktekkan . Kami mulai mengadakan sosialisasi baik di tingkat sekolah maupun sosialisasi silang yang dilaksanakan rutin tiap bulan. Yang dimaksud sosialisasi silang yaitu misalnya kami yang personel dari RW 1 bertugas untuk sosialisasi di RW 2 dan begitu seterusnya. Setiap bulan personelnya bergantian supaya semua belajar dan menjadi bisa, Setiap program kami bahas bersama di pertemuan rutin atau kami menyebutnya rutin miting, yang kami adakan setiap satu bulan sekali dan tempaatnya anjang sana agar semua anggota tahu rumah anggota yang lain, dan juga lebih mempererat silaturahmi dan juga tidak bosan karena tempatnya berpindah-pindah. Walaupun kadang karena kesibukan masing-masing kadang yang hadir hanya 15 orang bahkan pernah hanya 10 orang, tapi kami tetap selalu semangat.
Saya juga menciptakan mars WOCA walau liriknya begitu simpel tapi itu mencakup cita-cita kami yang menginginkan Desa Karangjati menjadi desa LAYAK ANAK dan AMAN UNTUK PEREMPUAN . Demikian syair lagu Mars WOCA tersebut :

Mars WOCA

Marilah Kita Semua Bergerak
Dengan Tekad Stop Kekerasan
Lindungi Perempuan Dan Anak
Dari Segala Bentuk Kekerasan

Women Care Perempuan Peduli
Berbagi Ilmu Dan Informasi
Tak Bosan Bersosialisasi
Kami Bekerja Sepenuh Hati
Ref; Mari Kita Wujudkan
Karangjati Aman Dan Tentram
Bebas Dari Kekerasan
Ramah anak Dan Perempuan 2*

Pengalaman Pertama Melakukan Sosialisasi

Kali pertama saya melakukan sosialisasi bersama teman-teman P3A WOCA di sekolah dalam program P3A Ngambah Sekolah adalah ke SMPN 1 Susukan. Waktu itu jumlah siswa peserta sekitar 250 anak. Semula saya masih merasa takut. B agaimana nanti menghadapi anak-anak yang begitu banyak dan baru dikenal. Tapi begitu kami sampai di sekolah sambutan dari pihak sekolah terutama kepala sekolah, Pak Rojat, sangat hangat dan merespons baik maksud dan tujuan kami untuk ikut sosialisasi Pencegahan KSTA.
Waktu itu kami berenam , yaitu Bu Kades yang selalu mendampingi dan menjadi pelindung kami. Bu Bidan Menik, yang aktif di KLA atau Kelurahan Layak Anak, ada Bu Suminah sang ketua WOCA, Bu Rahayuningsih alias Bu Yayuk perangkat desa yang aktif di semua kegiatan desa, ada pula Bu Budi Mulyani Ketua Tim Penggerak PKK Desa Karangjati, kami biasanya memanggil dengan sebutan BUKET atau bu ketua dan saya, Darini. Selainitu ada pula Mbak Poe sang pendamping WOCA yang sangat kami sayangi dan kami banggakan dan kami anggap sudah seperti keluarga sendiri. Mbak Poe cantik dan masih singel. Walau berpendidikan tinggi dan banyak prestasi tapi tidak sombong.
Di SMP N Susukan, para siswa sangat antusias mengikuti sosialisasi. Apalagi kami mengadakan pertanyaan interaktif yang berhadiah buku, mi instan alat tulis dan lain-lain. Kami menggunakan metode “bola bicara” yaitu kami melempar bola yang terbuat dari kertas dan yang terkena lemparan harus menjawab pertanyaan yang kami ajukan. Awalnya mereka masih malu-malu tapi setelah beberapa anak kami ajak maju ke depan akhirnya yang lain malah berebut ingin maju.

Kami juga membagikan potongan kertas dan menyuruh siswa menuliskan tentang pengalaman atau peristiwa kekerasan yang pernah mereka alami di sekolah dan siapa pelakunya, serta tindakan apa yang mereka lakukan, apakah diam saja atau melapor pada guru. Dan hasilnya ternyata banyak siswa yang mengalami tindak kekerasan di sekolah mulai dari bullying, kekerasan fisik yang dilakukan antar siswa dan yang menarik ternyata banyak siswa putri yang mengalami pelecehan seksual, antara lain dipegang pada area dada dan pantat, disingkap roknya, di-suit-suit pelajar pria ada juga yang dipalak seniornya.
Sosialisasi berdurasi dua jam. Ketika pamit dengan kepala sekolah, kami merasa lega pulang ke Karangjati.

Sosialisasi Berlanjut

Acara P3A Ngambah Sekolah yang berikutnya adalah ke SMPN 2 Susukan. Seperti biasa sebelum mengadakan sosialisasi kami berkunjung dulu sekaligus pemberitahuan lewat lisan sebelum ada pemberitahuan resmi lewat surat. Waktu itu saya bersama Bu Kades Kusyati sang pelindung kami, dan Bu Suminah, Ketua WOCA. Kami diterima guru bimbingan konseling (BK) bernama Pak Joko. Beliau bercerita banyak tentang kasus-kasus yang terjadi di SMPN 2 Susukan. Ternyata banyak kasus yang terjadi mulai dari pacaran yang kebablasan sampai anak perempuan dibawa kabur pacarnya sampai tiga hari dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain .

Peserta di SMPN 2 Susukan lebih banyak lagi karena semua siswa kelas 7 dan 8 semua ikut, berjumlah 528 siswa. Karena ruangan tidak cukup maka kami jadikan dua sesi. Untuk sesi pertama kelas 7 pukul 09.00 9 sampai 10.30 WIB dan setelah istirahat 10 menit lalu kelas 8 dimulai sampai selesai pukul 11.45 WIB.

Seperti biasa kami memberi pertanyaan interaktif dan berhadiah dan juga membagikan kertas untuk menuliskan pengalaman mereka apakah mereka pernah mengalami kekerasan dan kekerasan apa yang di alami dan siapa pelakunya serta apa tindakan yang mereka lakukan. K ami mendapat banyak catatan, antara lain ada yang mengalami kekerasam fisik yang dilakukan oleh oknum guru di sekolah itu. Kami juga menemukan ada korban sodomi. Tapi kata beberapa teman korban, anak itu sudah sering menjadi korban oleh beberapa teman sekolahnya tapi katanya korban justru menikmatinya dan tidak mengeluh. Kami pun melaporkan hal tersebut kepada kepala sekolah dan guru BK diiringi pesan kami agar anak tersebut terus dipantau dan diperhatikan.

Dan lucunya karena jargon kami langsung dihafal oleh anak-anak begitu saya berjumpa dengan mereka di jalan mereka langsung teriak: WANI NGOMONG WANI LAPOR AJA MENENG BAE..!! (berani bicara, berani melapor. Jangan diam saja). Semoga saja mereka juga hafal dan mengerti materi PKSTA yang kami ajarkan.

P3A Ngambah Sekolah juga ke sekolah SD yang ada di Karangjati yang jumlahnya ada dua SD dan satu Madrasah Ibtidaiyah (MI). Respon anak-anak SD sangat antusias apalagi karena ada pancingan hadiah anak- anak semua maju ingin menjawab pertanyaan supaya dapat hadiah mereka sangat aktif menjawab pertanyaan .

Waktu sosialisasi di MI ada pengalaman menarik yaitu ada seorang siswa difabel ikut tunjuk jari menjawab pertanyaan. Saat ditanya kelas berapa dia jawab kelas 5, padahal kata teman-temannya baru kelas 1 dan sudah 2 tahun tidak naik kelas memang karena keterbelakangan mental. Tapi semangatnya sungguh luar biasa dan kami memberinya hadiah karena keberaniannya itu.

Untuk sosialisasi silang yang dilaksanakan tiap bulan tentu beda lagi ceritanya karena pesertanya kebanyakan ibu-ibu , mereka juga sangat antusias tapi tetap saja ada yang cuek asyik ngobrol sendiri karena mungkin merasa tidak perlu atau tidak penting.
Waktu saya sosialisasi di RW 4 pesertanya justru banyak bapak-bapak. Dalam acara itu, ketika saya menyampaikan bahwa memaksa istri berhubungan seksual padahal kondisi istri sedang sakit atau capek, maka hal itu termasuk perkosaan dalam perkawinan dan merupakan kekerasan seksual juga termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Reaksi mereka pum langsung ramai. Kaum ibu yang hadir langsung berteriak : Rungakna kuwe pak. Aja cokan maksa kue KDRT. Ngerti ora?! (dengarkan itu Pak. Jangan suka memaksa. Itu termasuk KDRT. Tahu nggak?) Mendengar hal itu, kontan para bapak yang hadir pun tidak mau kalah. Mereka menjawab : Angger nang ngumah ora diwehi, olih sih jajan ning njaba. Hayo gari milih sing ndi? (kalau di rumah tidak diberi, boleh kan jajan di luar. Hayo, tinggal pilih yang mana?). Sungguh luar biasa memang, A khirnya setelah kami jelaskan panjang lebar mereka pun mengerti bahwa harus ada persetujuan kedua belah pihak antara suami istri bila hendak berhubungan intim, agar tidak ada yang merasa dipaksa.

Begitu banyak pengalaman yang saya dapat bersama WOCA dan Mitra Wacana. Kalau u saya tuliskan semua mungkin tidak cukup 100 lembar Intinya dengan adanya WOCA dan bimbingan dari Mitra Wacana begitu banyak perubahan yang saya rasakan dari yang tidak tahu apa itu geender PKSTA dan teknik konselor, sekarang sudah mengerti walaupun kadang harus buka catatan dulu kalau mau sosialisasi.

Kalau boleh saya minta Mitra Wacana WRC jangan pernah berhenti mendampingi kamiI. Karena kami masih butuh banyak bimbingan. Tapi apa daya semua ada peraturannya dan juga karena kontrak ada batasnya. Hanya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan. Semoga WOCA bisa terus berjalan dan bertahan setelah dilepas oleh Mitra Wacana.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)

Published

on

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Di balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan. 

Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya. 

Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya? 

Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.

Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi. 

Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme

Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan. 

Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.

Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.

Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi​.

Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi. 

Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.

Gambaran Eksploitasi PRT

Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong. 

Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.

Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku​.

RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT

RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.

Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.

Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.

Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.

Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.

Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.

Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.

Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja. 

Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka​.

Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?

Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.” 

Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.

Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi. 

Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil​.

Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.

Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.

Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.

Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Referensi

  1. hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
  2. Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan

JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending