web analytics
Connect with us

Opini

Kita Perempuan, Kita Bisa!

Published

on

Jeklin Mandani

             Jeklin Mandani

Happy International Women’s Day – International Women’s Day (selanjutnya disingkat IWD)  adalah agenda tahunan yang berlangsung sejak 1911. 8 Maret menjadi hari raya perjuangan perempuan melawan ketidakadilan yang terjadi hampir di semua sektor kehidupan. Meski telah lebih dari seabad, perjuangan itu tidak kunjung berhenti. Karena ketidak adilan, kesewenang-wenangan dan kekerasan terhadap perempuan masih terus terjaga.

IWD tahun ini mengangkat tema #EachForEqualAn equal world is an enabled world. Kita dapat secara aktif memilih untuk menantang stereotip, melawan bias,    memperluas persepsi, memperbaiki situasi dan merayakan pencapaian perempuan. Kesetaraan gender sangat penting bagi ekonomi dan masyarakat untuk berkembang. Dunia dengan kesetaraan gender bisa lebih sehat, lebih kaya, dan lebih harmonis – jadi bukankah ini hebat?

Pembahasan tentang perempuan dan kesetaraan gender terus menjadi hal yang menarik, untuk kemudian diwujudkan dalam suatu action atau tindakan nyata agar kesetaraan itu benar-benar dapat terwujud. Sayangnya, masih banyak anak-anak perempuan dan perempuan-perempuan di Indonesia yang masih kurang percaya diri dengan potensi yang dia miliki. Tidak yakin bahwa dirinya sebagai perempuan itu mampu melakukan perubahan.

 

Mengutip dari web resmi IWD, “We are all parts of a whole. Our individual actions, conversations, behaviors and mindsets can have an impact on our larger society”. Kita semua (perempuan) adalah bagian dari keseluruhan. Tindakan, percakapan, perilaku, dan pola pikir individu kita dapat berdampak pada masyarakat kita yang lebih luas. Lalu, akankah kesetaraan itu bisa terwujud dengan sempurna jika kita sebagai perempuan saja tidak percaya diri?. Lantas, apakah ketidak adilan, kesewenang-wenangan dan kekerasan terhadap perempuan akan sirna jika perempuan tak mau bersuara?. Dan apakah perempuan akan kuat jika sesama perempuan tidak mampu untuk saling menyemangati?

Nah, masih di euforia Hari Perempuan Internasional, saya ingin memberikan semangat bagi diri saya sendiri sebagai perempuan, perempuan-perempuan di sekitar saya dan di Indonesia, yang saya kutip dari video menarik percakapan antara 2 perempuan hebat di Indonesia yaitu Najwa Shihab dan Agnez Mo.

Kodrat perempuan itu hanya 4: Menstruasi, Hamil, Melahirkan dan Menyusui. Selebihnya WE CAN DO IT! (Najwa)

Banyaknya batasan-batasan terhadap perempuan seolah perempuan tidak boleh ini perempuan tidak bisa itu dengan alasan “Bukan Kodratnya” sungguh menjadi sesuatu yang amat sangat keliru dan menyebabkan perempuan tidak bisa untuk berkembang. Dan di video ini mbak nana mengatakan bahwa kodrat perempuan itu hanya empat. Selebihnya perempuan bisa melakukan apapun seperti yang juga dilakukan oleh laki-laki.

Empowering Women is Giving Women Choice(Agnez)

Berbicara tentang gerakan Feminist atau Kesetaraan Gender artinya bukan perempuan ingin menyaingi kaum laki-laki. Dan Betul kata mbak nana, yang perlu ditekankan adalah, setara BUKAN BERARTI sama. Kesetaraan adalah tentang memberdayakan perempuan, dimana ketika perempuan berdaya maka perempuan juga harus diberikan kesempatan untuk memilih. Sayangnya, budaya patriarki yang masih langgeng menjadikan perempuan tidak bisa memilih. ketika perempuan memilih untuk belum menikah dan mengejar karirnya yang didapat hanya gunjingan dari masyarakat. Sedangkan jika laki-laki yang memilih untuk menunda menikah dan mengejar karir, masyarakat dengan sangat baik memaklumi dan berkata “wajar laki-laki, masih mau fokus dulu sama karirnya”. Padahal hanya karena belum menikah dan berkarir bukan berarti perempuan ingin menyaingi laki-laki, apalagi menentang kodratnya.

You Look So Beautiful from Inside (Agnez)

Penyakit kebanyakan perempuan adalah merasa kurang percaya diri atau bahasa kekiniannya Insecure. Nah, di sini cici Agnez ngajak perempuan semua buat menyadari bahwa cantik itu bukan dari apa yang kamu pakai, bukan dari seberapa mahal make-up yang ada dikulit kamu. Karena itu semua akan percuma jika kita (perempuan) memilik bad personality. Yak. Intinya good personality yang akan bikin kamu look so beautiful girls. Dan itu tidak bisa ditutupi. So, mari percantik diri dengan Ilmu dan Akhlaq.

Terkadang tanpa sadar atau bahkan secara sadar dilakukan, justru malah perempuan yang sering menjatuhkan perempuan lain. (Najwa)

Saya sepakat dengan pernyataan mbak Nana ini, bahkan kalau boleh jujur, Saya lebih takut dengan sesama perempuan ketimbang dengan laki-laki. Budaya “Nyiyir” yang melekat pada masyarakat kita terutamanya perempuan ternyata menjadi hal yang berdampak tidak baik dan menyebabkan kaum perempuan menjadi sulit berkembang. Lontaran “ih dia udah nikah, dia kok belum”, “dia kan udah nikah lebih lama kok belum hamil-hamil sih”, “perempuan itu di rumah aja gak usah keluar-keluar, kaya perempuan gak bener”, “ya ampun perempuan kok sekolah tinggi sih. Nanti gak laku lo”, dan masih banyak lagi cibirian-cibiran yang dilontarkan oleh perempuan kepada perempuan lainnya. Seperti yang saya bilang saat opening di atas, lantas apakah kesetaraan gender bisa paripurna jika sesema perempuan saja saling menjatuhkan dan mencibir? Mari deh kita ubah bersama budaya itu. Untuk saling memotivasi satu sama lain. Memotivasi sesama perempuan. Karena saya yakin seyakin-yakinnya, semangat yang diberikan oleh rekan sesama perempuan itu lebih Masoooookkkk daripada semangat gombal-gombal yang diberikan oleh lawan jenis.

Perempuan Harus Berani Bermimpi (Najwa)

Bung Karno pernah berkata “bermimpilah setinggi langgit, maka jika kau terjatuh kau akan terjatuh di antara bintang-bintang”. Girls, pernayataan Bung Karno itu bukan hanya untuk kaum laki-laki saja, kita kaum perempuan berhak dan wajib memiliki mimpi yang besar. Mbak Nana dan Cici Agnez telah berhasil memberikan contoh kepada kita semua bahwa perempuan itu bisa kok. Banyak perempuan muda di Indonesia yang takut bermimpi, takut menunjukan bahwa dirinya memiliki mimpi dan ide besar hanya karena dia perempuan. Bukankah itu menyedihkan? Nah, di video ini perempuan diajak untuk berani Speak Up, berani bersuara.

Walau masyarakat masih sering mengkorelasikan perempuan yang sukses dengan negatif, sedangkan laki-laki sukses itu idaman, perempuan tidak boleh takut. Justru dari sini kaum perempuan harus berani bersuara dan action untuk meraih mimpi itu. Dan menunjukan kalau perempuan bisa dan berhak sukses.

Love and Forgive (Agnez)

Nilai yang sungguh luar biasa yang disampaikan oleh Cici Agnez, “menjadi baik bukan hanya kepada mereka yang baik terhadapmu. Menjadi baiklah kepada semua orang bahkan kepada mereka yang membencimu”. So girls, dunia perempuan memang sulit lepas dari yang namanya nyiyiran. Kamu melakukan A dinyiyirin, kamu melakukan B C D dinyiyirin. Terkadang kita merespons nyiyiran itu dengan kembali menebar ujaran kebencian dan akhirnya memusuhi orang yang nyiyir terhadap kita. Sering kita jumpai, anak SD SMP SMA bahkan ibu-ibu yang membuat kelompok-kelompok dengan dalih senasib sepenanggungan dan kemudian ketika mereka bertemu isinya hanya menjelakkan orang di luar kelompok mereka. Sulit memang, mencintai dan memafkan orang yang nyiyirin kita. Tapi, mari kita coba, untuk mencintai dan memafkan. Toh ndak ada gunanya juga buat hidup kita kalau kita balas nyiyir dan mebenci mereka. Keep Focus aja buat berkarya.

Membahas perempuan memang selalu kompleks. Sejuta permasalahan yang melakat dan menuntut solusi. Sekali lagi, lewat tulisan ini saya mengajak diri saya sendiri, perempuan terdekat saya dan seluruh perempuan di Dunia untuk berani bersuara dan berkarya. Saling bergandengan tangan untuk menyemangati sesama perempuan demi terlaksananya kesetaraan gender yang paripurna. Komunitas yang bisa untuk mengubah semua mindset negatif tentang perempuan adalah perempuan itu sendiri. So, YOU ARE SPECIAL GIRLS!!! DENGAN APAPUN YANG ADA PADAMU. AND I LOVE YOU.

Sumber: https://wagers.id/catatanjee/kita-perempuan-kita-bisa/

[red.robi]

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published

on

Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.

Dapur, Awal Penjara Domestik?

Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.

Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.

Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”

Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan

Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.

Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.

Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.

Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.

Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”

Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.

Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.

Mulai dari Berbagi Beban

Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.

Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.

Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”

Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”

Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur

Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”

Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”

Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.

Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending