Budaya patriarki yang masih berkembang di Indonesia selalu dikaitkan dengan terbelenggunya kebebasan perempuan untuk memperoleh hak-haknya. Padahal masalah yang ditimbulakan tidak melulu tentang perempuan. Pada artikel kali ini saya ingin membahas tentang laki-laki yang juga bisa dirugikan dari langgengnya budaya patriarki di Indonesia.
Menurut Alfian Rokhmansyah (2013) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Dari pengertian tersebut terlihat jelas bahwa budaya ini menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat atau inferior (kelas nomor dua). Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyababkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia.
Sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Dari situlah timbul permasalahan bahwa budaya patriarki ini membatasi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik dan psikologi. Sehinga perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi karena adanya pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki.
Budaya patriarki masih terus berkembang sampai saat ini, dimana gerakan feminisme sudah sangat berkembang. Gerakan feminisme memiliki tujuan mendobrak nilai-nilai lama (patriaki) yang selalu dilindungi oleh kokohnya tradisi struktural fungsional, atau dalam kata lain gerakan feminisme ini ingin menjadikan perempuan setara dengan laki-laki untuk mendapatkan hak-haknya dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik dan psikologi.
Walupun masalah budaya patriaki dan terbelenggunya perempuan ini belum juga selesai, dewasa ini kita sudah bisa melihat adanya kesetaraan gender di Indonesia meskipun masih jauh dari kata sempurna. Pada era penjajahan Belanda atau Jepang, terdapat peraturan yang melarang perempuan mengenyam pendidikan, kecuali mereka berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan. Sekarang, perempuan bisa dengan bebas bersekolah setinggi yang dia mau. Bahkan sudah ada beberapa pemimpin perguruan tinggi yang perempuan. Pada era dulu juga masih sangat jarang bahkan cenderung tidak ada perempuan yang mampu menempati posisi strategis di dalam pemerintahan, hingga kini sudah banyak pemimpinan daerah, menteri, anggota legislatif perempuan meskipun jumlahnya belum setara dengan laki-laki yang ada.
Seiring berkembangnya zaman, bahwa ternyata yang menjadi korban (dirugikan) oleh adanya budaya patriaki bukan hanya perempuan saja. Mengapa?
Jumlah perempuan bekerja dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada Februari 2019 tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan sebesar 55,5% naik 0,06% dari Februari 2018. Hal ini tentunya menunjukan bahwa kesadaran akan kesetaraan gender oleh masyarakat Indonesia mulai terlihat.
Meningkatnya angka perempuan bekerja ini juga menimbulkan masalah baru pada lingkungan budaya patriarki, yaitu ketika seorang perempuan (istri) memiliki jabatan dan penghasilan yang lebih besar daripada laki-laki (suami). Respon of society seolah mencibir dan menjudge bahwa si laki-laki kalah, kurang power dan menjadi suami-suami takut istri. Stigma-stigma di atas muncul karena semua tahu bahwa laki-laki memilki kewajiban untuk mencari nafkah. Bahkan, pada tahun 2016 sebuah studi Havard menemukan bahwa beberapa pasangan lebih cenderung bercerai jika sang suami bekerja paruh waktu atau tidak bekerja sama sekali. Dari sini kita seharusnya bisa berfikir secara jernih. Bahwa jabatan atau penghasilan laki-laki yang lebih rendah daripada istri tidak seharusnya menjadi cibiran selama si laki-laki masih sadar akan kewajibannya sebagai seorang suami untuk bekerja dan menafkahi keluarganya. Jadi, bukan tentang berapa banyak gaji tapi tenang berapa besar rasa tanggungjawab si laki-laki tersebut.
Selanjutnya, yang sering menimbulkan negative respon of society adalah ketika seorang laki-laki membantu urusan dapur perempuan. Urusan dapur yang erat kaitannya dengan perempuan menjadikan seolah-olah dapur bukanlah tempat bagi seorang laki-laki. Padahal ketika kita berbicara tentang “kesetaraan gender” maka harusnya hal ini menjadi biasa atau sudah sewajarnya perempauan dan laki-laki saling bekerjasama bahkan untuk urusan dapur. Sayangnya, budaya patriarki yang masih langgeng ini menjadikan masyarakat menganggap laki-laki yang mengurusi urusan dapur adalah laki-laki lembek. Teringat salah satu cerita teman saya ketika ia dicibir dan dianggap sebagai suami yang kalah dengan istrinya hanya karena ia pagi-pagi memasak di dapur sedangkan istrinya masih tertidur. Padahal, hal itu teman saya lakukan karena ia tidak tega membangunkan istrinya yang semalaman begadang akibat mengurusi anak balita mereka yang sedang sakit dan rewel semalaman. Sang istri dianggap malas dan sang suami dianggap kalah atau lembek. Hohoho oh Maha benar society dengan segala fatwanya.
Budaya patriarki pelan-pelan harus mulai kita kikis demi terwujudnya sebuah kesetaraan gender yang paripurna. Yang tidak menimbulkan kerugian bagi kaum perempuan dan juga kaum laki-laki. Bukankah semua akan terasa lebih ringan jika dilakukan bersama? Tanpa lupa akan adanya kodrat dan kewajiban masing-masing. Salam kesetaraan .