Opini
Mahasiswa? Peran dan Permasalahannya

Published
11 months agoon
By
Mitra Wacana

La Ode Muhmeliadi, Mahasantri RTM Darul Falah Cawan Klaten
Mahasiswa itu identik dengan perubahan sosial. Entah itu perubahan sistem politik-ekonomi dan sosial-budaya, ataupun dalam perubahan sikap (tingkah laku) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau secara bahasa, adalah penggabungan anatar kata “maha” dan “siswa”. Dalam KBBI, kata “maha” berarti amat atau teramat. Atau dalam arti lain, kata “maha” yaitu sangat, atau sesuatu yang melampaui. Sedangkan “siswa” adalah murid atau peserta didik atau pelajar (dalam jenjang sekolah dasar ataupun menengah).
Dapatlah kita gabungkang makna dari “Mahasiswa” yaitu seseorang yang belajar (murid) dengan kapasitas keilmuan yang cukup melampaui atau teramat tinggi. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 12 Tahun 2012, mahasiswa adalah peserta didik dalam jenjang Pendidikan Tinggi. Sehingga tempat belajarnya bukan lagi sekolah, tetapi perguruan tinggi (Universitas atau Institut).
Mahasiswa adalah pelopor dalam perubahan (agen of change), pengontrol permasalahan sosial (agen social control), dan sebagai generasi penerus kemerdekaan yang kokoh dan kuat (iron stock). Dengan itu setiap mahasiswa harus mampu menjadi teladan perubahan dan moral yang baik (moral force), serta selalu taat beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan kebangsaan (guardian of value).
Semua mahasiswa adalah aktivis dari setiap bidangnya masing-masing. Lantas bagaimana dengan mahasiswa hedonis (sikap yang selalu foya-foya, bergemerlapan, atau senang-senang), pragmatis (mencari keuntungan dengan sebab-akibat atau nilai guna untuk dirinya), apatis (sikap tidak peduli dengan yang lain, acuh tak acuh) dan oportunis (mementingkan untuk keuntungan diri sendiri), masih pantaskah disebut mahasiswa?
Dalam buku Gerakan Mahasiswa dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional, Dody Rudianto (2010) menuliskan ada tiga tipe mahasiswa aktivis. Pertama, Mahasiswa Aktivis Aktif. Kedua, Mahasiswa Aktivis Intelektual. Dan ketiga, Mahasiswa Aktivis Puritan.
Mahasiswa Aktivis Aktif yaitu mahasiswa yang aktif di kampus (kuliah, riset, pengembangan minat, dan pelatihan-pelatihan tertentu), aktif menulis di media cetak atau media online, dan aktif meluruskan problematika sosail (menyuarakan aspirasi masyarakat).
Mahasiswa Aktivis Intelektual yaitu mahasiswa yang aktif di kampus (kuliah, riset, pengembangan minat, dan pelatihan-pelatihan tertentu), aktif menulis di media cetak atau media online, tetapi tidak aktif dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Sementara Mahasiswa Aktivis Puritan yaitu mahasiswa yang hanya aktif mengikuti perkuliahan, pengembangan minat dan bakat dari study club atau komunitas tertentu, melaksanakan penelitian berbasis keilmuannya, dan pengembangan diri dengan mengikuti pelatihan atau seminar-seminar tertentu.
Jelaslah sudah tentang hal ini, ‘siapa itu mahasiswa’. Adakah perubahan siklus perkembangan dan pola pergerakan masaiswa dari tahun ke tahun? Ada 5 periode gerakan mahasiswa di Indonesia, baik perubahan tingkah laku maupun dalam perubahan sistem bernegara
Periode Pertama. Mahasiswa terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Fase ini, mahasiswa dari pelbagai kalangan atau organisasi sosial kemasyarakatan ikut andil dengan mengangkat senjata melawan Belanda. Hal itu dilakukan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Periode ini disebut dengan periode kemerdekaan, yang bermula dari tahun 1945 hingga 1949.
Periode Kedua. Mahasiswa dengan gerakan demonstrasi akibat permasalahan pada sistem pemerintahan indonesia. Hal ini bermula dari dekrit presiden 1959 dan keputusan presiden tentang Trikora (Tiga Komando Rakyat) di masa Orde Lama. Maka pada waktu itu mahasiswa menuntut tiga hal, yaitu pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga. Gerakan ini pada tahun 1966. Selanjutnya, aksi masa (Periode Demonstrasi) terus dipakai sebagai jalan perubahan sosial, berlangsung pada tahun 1974, lebih dikenal dengan gerakan Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. Setelah peristiwa Malari, maka pemerintahan Orde Baru mempertegas terkait kebebasan dan ideologi dengan pemanfaatan Angkatan Bersentaja Republik Indonesia, hingga banyak mahasiswa yang sulit menyampaikan aspirasi.
Periode Ketiga. Periode ini, Mahasiswa berjuang dengan tuliisan dan seni. Seperti musik yang bergendre HAM (Hak Asasi Manusia), keadilan dan kesejahteraan. Grup-grup lawak yang bertujuan sebagai wadah kritik pemerintah, teaterikal jalanan, puisi-puisi dan artikel sosial, baik yang dimuat di media cetak, majalah, dan selembaran-selembaran. Hingga dibuatlah buku-buku membangkitkan proses berpikir dan buku-buku pergakan untuk perubahan sosial. Masa ini adalah salah satu masa sulit para mahasiswa; banyak yang diculik, disiksa, dihilangkan identitasnya, dan hal-hal buruk lainnya. periode ini bermula setelah Malari 1974 hingga 1998. Penyebutan untuk periode ini adalah Periode Intelektual (masa kebangkitan seni dan ilmu pengetahuan).
Periode Kempat. Periode ini adalah puncak keberhasilan dari propaganda yang dibangun para mahasiswa di periode ketiga. Mahasiswa difase ini, mereka berkalaborasi dengan berbagai tokoh politik, organisasi buruh-tani, tokoh-tokoh pemuda, cendikiawan dan akdemisi, dan pers. Gerakan ini ditandai dengan krisis ekonomi dan buruknya kekuasaan (sistem pemerintahan) Orde Baru, hingga puncaknya adalah menggulingkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Periode ini disebut Masa Reformasi dan berlangsung hingga tahun 2004.
Periode Kelima. Periode ini, mahasiswa sudah lebih banyak eksis di dunia digitalisasi. Proses informasi semakin cepat dengan kemajuan teknologi. Pemanfaatan teknologi informasi berkembang semakin luas. Media sosial adalah sarana utama mahasiswa di periode ini. Penyebutan pada fase ini yaitu Periode Digitalisasi (Information Technology), yang bermula dari tahun 2004 hingga sekarang.
Dengan pemanfaatan teknologi modern, mahasiswa saat ini seperti termanjakan dengan keadaan. Berpikir sudah lebih praktis, banyak copy-paste, sulit bersosialisasi, malas bertindak, sedikitnya keaktifan dalam organisasi, ikut-ikutan, kuliah hanya untuk cari kerja, dan masih banyak lagi. Dengan masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa, maka peran agen of change and control social tidak lagi bermanfaat, tidak berhasil menyuarakan aspirasi rakyat. Dikarenakan nilai-nilai sejarah bangsa banyak terlupakan dan nilai-nilai agama dan budaya banyak yang ditinggalkan.
Dari problematika yang ada, terkumpullah 10 permasalahan inti (pokok) mahasiswa yang dianggap sepele atau yang dianggap biasa. Masalah tersebut yaitu, Tidak menjalankan kewajiban agama; Malas membaca; Tertipu dengan penampilan; Hanya pandai retorika; Tidak peduli (acuh tak acuh) dengan problematika sosial; Sangat aktif bermasyarakat, tetapi kuliah terlupakan; Kebanyakan main game online, scroli media sosial (TikTok, IG dan sejenisnya), dan Rebahan; Ketidakstabilan dalam manajemen waktu; Pacaran, hal yang melampaui batas; dan, Tidak mau belajar ilmu agama.
Pada hakikatnya, mahasiswa harus aktif dalam segala hal. Harus aktif di ruang kelas, aktif berorganisasi, aktif membaca dan menulis, aktif berdiskusi, aktif meneliti permasalahan sosial, aktif dalam membela kebenaran, dan seterusnya. Sehingga label aktivis sangat tepat digaungkan kepadanya. Karena sebaik-baik mahasiswa adalah mahasiswa yang selalu aktif dan berani menyuarakan kebenaran dimanapun berada.
You may like
Opini
Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published
6 days agoon
14 April 2025By
Mitra Wacana
Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.
Dapur, Awal Penjara Domestik?
Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.
Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.
Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”
Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan
Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.
Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.
Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.
Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.
Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”
Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.
Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.
Mulai dari Berbagi Beban
Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.
Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.
Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”
Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”
Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur
Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”
Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”
Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.
Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana