Opini
Mahasiswa? Peran dan Permasalahannya
Published
5 months agoon
By
Mitra WacanaMahasiswa itu identik dengan perubahan sosial. Entah itu perubahan sistem politik-ekonomi dan sosial-budaya, ataupun dalam perubahan sikap (tingkah laku) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau secara bahasa, adalah penggabungan anatar kata “maha” dan “siswa”. Dalam KBBI, kata “maha” berarti amat atau teramat. Atau dalam arti lain, kata “maha” yaitu sangat, atau sesuatu yang melampaui. Sedangkan “siswa” adalah murid atau peserta didik atau pelajar (dalam jenjang sekolah dasar ataupun menengah).
Dapatlah kita gabungkang makna dari “Mahasiswa” yaitu seseorang yang belajar (murid) dengan kapasitas keilmuan yang cukup melampaui atau teramat tinggi. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 12 Tahun 2012, mahasiswa adalah peserta didik dalam jenjang Pendidikan Tinggi. Sehingga tempat belajarnya bukan lagi sekolah, tetapi perguruan tinggi (Universitas atau Institut).
Mahasiswa adalah pelopor dalam perubahan (agen of change), pengontrol permasalahan sosial (agen social control), dan sebagai generasi penerus kemerdekaan yang kokoh dan kuat (iron stock). Dengan itu setiap mahasiswa harus mampu menjadi teladan perubahan dan moral yang baik (moral force), serta selalu taat beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan kebangsaan (guardian of value).
Semua mahasiswa adalah aktivis dari setiap bidangnya masing-masing. Lantas bagaimana dengan mahasiswa hedonis (sikap yang selalu foya-foya, bergemerlapan, atau senang-senang), pragmatis (mencari keuntungan dengan sebab-akibat atau nilai guna untuk dirinya), apatis (sikap tidak peduli dengan yang lain, acuh tak acuh) dan oportunis (mementingkan untuk keuntungan diri sendiri), masih pantaskah disebut mahasiswa?
Dalam buku Gerakan Mahasiswa dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional, Dody Rudianto (2010) menuliskan ada tiga tipe mahasiswa aktivis. Pertama, Mahasiswa Aktivis Aktif. Kedua, Mahasiswa Aktivis Intelektual. Dan ketiga, Mahasiswa Aktivis Puritan.
Mahasiswa Aktivis Aktif yaitu mahasiswa yang aktif di kampus (kuliah, riset, pengembangan minat, dan pelatihan-pelatihan tertentu), aktif menulis di media cetak atau media online, dan aktif meluruskan problematika sosail (menyuarakan aspirasi masyarakat).
Mahasiswa Aktivis Intelektual yaitu mahasiswa yang aktif di kampus (kuliah, riset, pengembangan minat, dan pelatihan-pelatihan tertentu), aktif menulis di media cetak atau media online, tetapi tidak aktif dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Sementara Mahasiswa Aktivis Puritan yaitu mahasiswa yang hanya aktif mengikuti perkuliahan, pengembangan minat dan bakat dari study club atau komunitas tertentu, melaksanakan penelitian berbasis keilmuannya, dan pengembangan diri dengan mengikuti pelatihan atau seminar-seminar tertentu.
Jelaslah sudah tentang hal ini, ‘siapa itu mahasiswa’. Adakah perubahan siklus perkembangan dan pola pergerakan masaiswa dari tahun ke tahun? Ada 5 periode gerakan mahasiswa di Indonesia, baik perubahan tingkah laku maupun dalam perubahan sistem bernegara
Periode Pertama. Mahasiswa terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Fase ini, mahasiswa dari pelbagai kalangan atau organisasi sosial kemasyarakatan ikut andil dengan mengangkat senjata melawan Belanda. Hal itu dilakukan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Periode ini disebut dengan periode kemerdekaan, yang bermula dari tahun 1945 hingga 1949.
Periode Kedua. Mahasiswa dengan gerakan demonstrasi akibat permasalahan pada sistem pemerintahan indonesia. Hal ini bermula dari dekrit presiden 1959 dan keputusan presiden tentang Trikora (Tiga Komando Rakyat) di masa Orde Lama. Maka pada waktu itu mahasiswa menuntut tiga hal, yaitu pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga. Gerakan ini pada tahun 1966. Selanjutnya, aksi masa (Periode Demonstrasi) terus dipakai sebagai jalan perubahan sosial, berlangsung pada tahun 1974, lebih dikenal dengan gerakan Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. Setelah peristiwa Malari, maka pemerintahan Orde Baru mempertegas terkait kebebasan dan ideologi dengan pemanfaatan Angkatan Bersentaja Republik Indonesia, hingga banyak mahasiswa yang sulit menyampaikan aspirasi.
Periode Ketiga. Periode ini, Mahasiswa berjuang dengan tuliisan dan seni. Seperti musik yang bergendre HAM (Hak Asasi Manusia), keadilan dan kesejahteraan. Grup-grup lawak yang bertujuan sebagai wadah kritik pemerintah, teaterikal jalanan, puisi-puisi dan artikel sosial, baik yang dimuat di media cetak, majalah, dan selembaran-selembaran. Hingga dibuatlah buku-buku membangkitkan proses berpikir dan buku-buku pergakan untuk perubahan sosial. Masa ini adalah salah satu masa sulit para mahasiswa; banyak yang diculik, disiksa, dihilangkan identitasnya, dan hal-hal buruk lainnya. periode ini bermula setelah Malari 1974 hingga 1998. Penyebutan untuk periode ini adalah Periode Intelektual (masa kebangkitan seni dan ilmu pengetahuan).
Periode Kempat. Periode ini adalah puncak keberhasilan dari propaganda yang dibangun para mahasiswa di periode ketiga. Mahasiswa difase ini, mereka berkalaborasi dengan berbagai tokoh politik, organisasi buruh-tani, tokoh-tokoh pemuda, cendikiawan dan akdemisi, dan pers. Gerakan ini ditandai dengan krisis ekonomi dan buruknya kekuasaan (sistem pemerintahan) Orde Baru, hingga puncaknya adalah menggulingkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Periode ini disebut Masa Reformasi dan berlangsung hingga tahun 2004.
Periode Kelima. Periode ini, mahasiswa sudah lebih banyak eksis di dunia digitalisasi. Proses informasi semakin cepat dengan kemajuan teknologi. Pemanfaatan teknologi informasi berkembang semakin luas. Media sosial adalah sarana utama mahasiswa di periode ini. Penyebutan pada fase ini yaitu Periode Digitalisasi (Information Technology), yang bermula dari tahun 2004 hingga sekarang.
Dengan pemanfaatan teknologi modern, mahasiswa saat ini seperti termanjakan dengan keadaan. Berpikir sudah lebih praktis, banyak copy-paste, sulit bersosialisasi, malas bertindak, sedikitnya keaktifan dalam organisasi, ikut-ikutan, kuliah hanya untuk cari kerja, dan masih banyak lagi. Dengan masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa, maka peran agen of change and control social tidak lagi bermanfaat, tidak berhasil menyuarakan aspirasi rakyat. Dikarenakan nilai-nilai sejarah bangsa banyak terlupakan dan nilai-nilai agama dan budaya banyak yang ditinggalkan.
Dari problematika yang ada, terkumpullah 10 permasalahan inti (pokok) mahasiswa yang dianggap sepele atau yang dianggap biasa. Masalah tersebut yaitu, Tidak menjalankan kewajiban agama; Malas membaca; Tertipu dengan penampilan; Hanya pandai retorika; Tidak peduli (acuh tak acuh) dengan problematika sosial; Sangat aktif bermasyarakat, tetapi kuliah terlupakan; Kebanyakan main game online, scroli media sosial (TikTok, IG dan sejenisnya), dan Rebahan; Ketidakstabilan dalam manajemen waktu; Pacaran, hal yang melampaui batas; dan, Tidak mau belajar ilmu agama.
Pada hakikatnya, mahasiswa harus aktif dalam segala hal. Harus aktif di ruang kelas, aktif berorganisasi, aktif membaca dan menulis, aktif berdiskusi, aktif meneliti permasalahan sosial, aktif dalam membela kebenaran, dan seterusnya. Sehingga label aktivis sangat tepat digaungkan kepadanya. Karena sebaik-baik mahasiswa adalah mahasiswa yang selalu aktif dan berani menyuarakan kebenaran dimanapun berada.
You may like
Opini
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum
Published
1 month agoon
12 September 2024By
Mitra WacanaDewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).
Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).
Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).
Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).