web analytics
Connect with us

Opini

Maksud Hati Membina Desa, Apa Daya Paham Tak Sampai

Published

on

Sumber: Caritra
Sunaji Zamroni

   Sunaji Zamroni, MSi
  Dewan Nasional Fitra

Semua lapisan masyarakat terdampak Covid-19. Tidak hanya di kota, desa-desa di pelosok nusantara pun mulai terpapar. Kebijakan negara yang tak memberlakukan karantina wilayah (lockdown), memicu tanggapan pro dan kontra. Apalagi pemerintah, awal mulanya, tidak melarang orang mudik/pulang kampung ke desa-desa. Sontak memicu tindakan spontan dan tanpa skema yang jelas dari masyarakat desa. Alih-alih pemerintah mengintegrasikan inisiatif masyarakat tersebut ke dalam skemanya, yang dilakukan justru menerbitkan perintah-perintah beruntun dan berubah-rubah ke desa. Perintah kepada desa untuk melakukan padat karya tunai desa (PKTDesa) dan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) yang bersumber dari dana desa, menimbulkan komplikasi persoalan yang tidak sepele.

Sudah terbukti Coronavirus disease (Covid-19) menginfeksi dunia. Ada 210 negara terdampak Covid-19, dengan jumlah kasus sampai 18 April 2020 mencapai 2.329.030 pasien,  160.542 pasien meninggal dan 595.866 pasien sembuh, (https://www.worldometers.info/coronavirus/). Indonesia mengumumkan kasus konfirmasi Covid-19 pertama kali pada 2 Maret 2020, dengan kasus 2 pasien, dan ternyata menyebar cepat dan merata ke seluruh propinsi Indonesia, sampai tanggal 18 April 2020 jumlah terkonfirmasi mencapai 6.248, dimana 535 meninggal (8,6%) dan 631 sembuh, (https://covid19.kemkes.go.id). Kawasan Jabodetabek menjadi pusat penyebaran (epicentrum), sedangkan daerah lain terpapar karena mengimpor kasus melalui mobilitas orang daerah (imported cases) yang berkegiatan dan berinteraksi dengan orang-orang “suspect carrier” di Jabodetabek. Covid-19 akhirnya mengalir antar kota antar propinsi, bahkan meluas ke pelosok desa nusantara. Pandemi global Covid-19 ini memicu resiko serius bagi desa, akibat para migran kota dan luar negeri yang terpaksa mudik ke desa.

Desa harus tanggap atas resiko Covid-19 ini. Meskipun pemerintah menganjurkan para migran tidak mudik ke desa, termasuk jelang Hari Raya Idul Fitri, faktanya justru terlihat arus mudik dari Jabodetabek, luar negeri dan kota-kota ke desa. Faktor inilah yang diyakini memicu penjalaran Covid-19 melebar ke desa[1]. Terlebih literasi masyarakat desa juga masih rendah mengenai Covid-19 ini. Beragam respon pun bermunculan di tingkat masyarakat desa. Ekspresi tanggap Covid-19 pun bermunculan di kampung/dusun, bahkan komunitas RT[2]. Beberapa pemerintahan desa pun memperlihatkan prakarsa tanggap Covid-19 yang patut diapreasiasi dan ditiru. Salah satu desa yang nampak aktif berinisiatif untuk menjalankan “desa tanggap Covid-19” adalah Desa Panggungharjo di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta[3]. Desa ini melakukan pendataan masyarakat desa berbasis unit kepala keluarga dengan aplikasi google form. Beberapa variabel yang didata antara lain, yaitu; data keluarga,  data ekonomi keluarga, data kesehatan keluarga, dan data kepemilikan barang keluarga.

Berbasis data tersebut desa akhirnya bisa memetakan situasi dan kondisi masyarakat desa. Aspek kesehatan, sosial dan ekonomi masyarakat terpantau. Sehingga, ketika ada kasus warga salah satu dusun terkonfirmasi terinfeksi Covid-19, maka Pemerintah Desa bersama para pihak di RT, Dusun, Kecamatan bergerak cepat dan tegas melakukan karantina wilayah RT dan sebagian wilayah dusun. Keluarga dari warga yang terinfeksi diisolasi di rumahnya, sedangkan warga tetangga dilarang keluar dusun tanpa alasan esensial yang jelas. Kebutuhan pangan dan dukungan kesehatan warga dusun ditanggung serta dipenuhi pemerintahan desa. Gotong royong warga desa dan jejaring pemerintahan desa menjadi penopang perlindungan ke warga yang dikarantina. Jadi bisa dikatakan, bahwa Desa bertindak mencegah, menangani dan mengelola resiko-resiko Covid-19 bisa dilakukan secara bergotong royong bersama warga dan jejaring sosial yang ada. Tidak musti tindakan pemerintahan desa dalam menanggapi Covid-19 bersandar pada APBDesa.

Desa Tanggap Covid-19

Praktik cepat dan tegas Desa Panggungharjo menarik untuk direplikasi. Desa lain bisa melakukan hal yang sama, bahkan lebih meluas lagi. Terlebih enabling environment kebijakan Desa Tanggap Covid-19 telah diterbitkan oleh Kementerian Desa PDTT. Melalui SE Menteri Desa PDTT No 8 Tahun 2020 Tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa jo SE Menteri Desa No 11 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Desa PDTT No 8 Tahun 2020 Tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa. Himbauan Menteri Desa ini bermaksud untuk memandu desa dalam mengoptimalkan penggunaan dana desa. Kini Menteri Desa pun menerbitkan Peraturan Menteri Desa PDTT No 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa PDTT No 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2020. Aspek legal dari Jakarta inilah yang saat ini memayungi desa-desa di Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Tantangan yang penting untuk ditemani bahkan didukung oleh para pihak, bagaimana desa tanggap Covid-19 melalui optimalisasi dana desa bisa menjangkau aspek mitigasi resiko kesehatan (terinfeksi Covid-19), mitigasi resiko pendidikan (ketersediaan infrastruktur internet, kemampuan menyediakan data internet), serta mitigasi ekonomi (ketahanan pangan, kesempatan kerja, keamanan rantai pasok)?

Kebijakan Desa tanggap Covid-19 tidak boleh diseragamkan. Kemendesa PDTT harus senantiasa kokoh memegang asas utama UU Desa, yaitu rekognisi dan subsidiaritas. Arahan  penggunaan dana desa serempak untuk PTKDesa dan BLT-Dana Desa, sudah termasuk offside. Tindakan ini menyempurnakan langkah tidak tepat Pemerintah dalam memperlakukan desa dan dana desa. Dengan payung hukum Pasal 21 PP No 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, Menteri Desa PDTT mengatur prioritas penggunaan dana desa selama ini. Residu persoalan sentralisme penggunaan dana desa ini, sayang sekali diulangi dalam merespon pageblug Covid-19. Desa diinstruksikan, dikendalikan, bahkan dikontrol dalam membelanjakan dana desa untuk merespon pageblug Covid-19. Paling sedikit seperempat dana desa harus dibelanjakan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Itupun hanya boleh untuk warga miskin yang tetiba tidak punya mata pencaharian, belum terdata di data warga miskin, atau memiliki keluarga yanag berpenyakit kronis/menahun. Desa tak berkutik. Dana miliknya sendiri, namun peruntukannya dan besaran alokasinya harus tunduk pada kuasa di atasnya.

Situasi pandemi Covid-19 ini tak pasti berakhirnya. Kebijakan negara untuk desa, anehnya, malah sentralistik. Padahal desa harus mengembangkan mitigasi resiko secara komprehensif dalam ketidakpastian ini. Keleluasaan desa dan lokalitasnya mustinya didorong untuk bekerja sesuai kewenangannya. Karenanya supradesa musti membimbingnya, bukannya mengendalikan dan mengontrolnya secara kaku dan ketat. Saat ini desa harus merumuskan mitigasi resiko sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pemerintah daerah (kabupaten/kota, propinsi) dan pemerintah pusat seharusnya fokus membimbing desa agar cermat dan tepat dalam menyusun mitigasi resiko ini. Justru ini sebaliknya. Supradesa malah langsung mengeksekusi agar desa merubah APBDesa dan realokasi dana desa untuk PKTDesa dan BLT. Padahal waktu yang bersamaan, skema bantuan sosial dari pemerintah pusat (PKH, BPNT) dan pemerintah daerah (bantuan sosial) sedang meluncur ke desa juga.

Desa harus menghadapi norma regulasi dan fakta masyarakat yang terdampak. Dua arus ini tidak selalu ketemu. Norma regulasi menekankan pendataan penerima Bansos sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Padahal masyarakat desa yang terdampak, masalahnya jauh lebih komplek.  Norma regulasi akhirnya berhenti pada pengertian yang normatif dan kaku. Situasi seperti ini menyesakkan. Ada peraturan tetapi tidak bisa membantu banyak kepada masyarakat yang terdampak. Apalagi data terpadu  kesejahteraan sosial (DTKS) menjadi basis data penyaluran bansos. Cilakanya akurasi  data pada DTKS masih bermasalah. Orang yang mustinya tidak mendapat bansos malah terdata di DTKS. Sedangkan warga desa yang seharusnya terdata sebagai penerima sembako, justru terpental (exclusion error). Simalakama pun menggelayuti desa. Loyal ke regulasi atau kepentingan warga terdampak?

 

 

[1] https://jateng.sindonews.com/read/3845/707/warga-blora-geger-pemudik-asal-jakarta-rapid-test-positif-corona-1587211472, https://regional.kompas.com/read/2020/04/17/13374151/pasien-positif-dan-pdp-corona-di-pandeglang-sebagian-besar-pemudik, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4973520/6-orang-positif-corona-di-sukoharjo-3-di-antaranya-pemudik , dan masih banyak lagi kasus serupa yang dikabarkan media.

[2] https://nasional.tempo.co/read/1325478/banyak-kampung-di-yogya-lockdown-sendiri-begini-kondisinya , https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4956966/banyak-kampung-ramai-ramai-lockdown-pemda-diy-kearifan-lokal https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4956966/banyak-kampung-ramai-ramai-lockdown-pemda-diy-kearifan-lokal, https://regional.kompas.com/read/2020/04/01/10571011/viral-foto-lockdown-desa-di-magetan-ini-penjelasan-camat-barat, dan banyak lagi aksi lokalitas lainnya.

[3]https://www.panggungharjo.desa.id/panggungtanggapcovid19/ , https://bebas.kompas.id/baca/nusantara/2020/04/17/kisah-desa-panggungharjo-tanggap-covid-19/.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Pantangan Dalam Budaya Mayarakat Minangkabau

Published

on

Sumber foto: goodnewsfromindonesia

Annisa Aulia Amanda
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Andalas

Dalam budaya kemasyarakatan, bahasa telah lama berfungsi sebagai saluran utama untuk bertukar informasi, sebelum munculnya bahasa tertulis. Melalui perkataan yang diucapkan, individu memiliki kapasitas untuk menyebarkan adat istiadat dan praktik dalam kelompoknya masing-masing, yang pada akhirnya membentuk identitas dan perilaku khas komunitas tersebut. Bahasa dan budaya saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan pandangan Sibarani bahwa bahasa dan budaya perlu dipelajari bersama-sama untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia (Maulana, Rafiq dan Septiani 2024).

Kebudayaan bahasa ini, yang pada dasarnya merupakan landasan kebudayaan, bertahan dalam beberapa kurun waktu karena diwariskan dari generasi ke generasi, khususnya bahasa lisan. Evolusi budaya lisan tradisional yang sudah berlangsung lama mengambil berbagai bentuk, baik melalui sastra lisan atau dalam bentuk folklor. Istilah folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu folklore, istilah ini diciptakan oleh William John Thomas pada tahun 1846 (Dundes, 1965). Beliau menjelaskan bahwa Folklore adalah gabungan dari dua kata yaitu folk dan lore; folk mengacu pada sekelompok masyarakat tertentu, sedangkan lore mewakili adat istiadat, tradisi, dan pengetahuan budaya yang diwariskan dalam komunitas tersebut. Kolektif masyarakat ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain suku, agama, pendidikan, dan letak geografis yang penting kolektif ini memiliki satu faktor yang sama.

Bisa dikatakan bahwa folklor adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat daerah tertentu yang tersebar dan diwariskan—sedikitnya 2 generasi (130-150 tahun)—di antara kolektif masyarakat tertentu, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1985). Salah satu kategori folklor adalah ungkapan kepercayaan yang hidup dalam suatu kelompok bermasyarakat. Kepercayaan rakyat atau takhayul menyangkut terhadap kepercayaan dan praktik (Danandjaja, 1985). Praktik ini mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan praktik spiritual dalam kolektif kebudayaan. Setiap budaya memiliki kepercayaannya masing-masing, salah bentuknya berupa ungkapan larangan.

Di Minangkabau, berbagai daerah terdapat ungkapan larangan yang disebut dengan “pantangan”. Pantangan bukanlah sekadar candaan untuk menakut-nakuti seseorang. Dalam Budaya Minangkabau hal itu menjadi sebuah didikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Pantangan menjadi salah bentuk bahasa yang mencerminkan nilai budaya masyarakat, khususnya masyarakat Minangkabau yang sering ungkapan larangan ini pada anak-anak, remaja, atau pada seseorang yang mencoba hal baru.

Pantangan ini diturunkan dari generasi ke generasi namun sayangnya eksistensinya mulai terancam akibat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pantangan. Minangkabau adalah suku yang penuh dengan berbagai tradisi, namun pada tahun 1900-an mulai terjadi perubahan terhadap adat Minangkabau yang diakibatkan fenomena modernisasi (Koentjaraningrat, 1985). Secara perlahan perkembangan teknologi dunia digital mempengaruhi perkembangan tradisi dan kebudayaan tradisional. Masyarakat lupa atau bahkan tidak mengenal lagi pantangan yang pernah ada di Minangkabau.

Berikut beberapa pantangan yang ditemukan dan makna kulturalnya;

 

Jan manyapu tangah malam, tasapu razaki beko.

“Jangan menyapu di malam hari, atau rezekimu akan tersapu.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak menyapu di malam hari, atau rezekinya akan hilang. Menurut logika hal ini tak dapat diterima. Namun secara kultural, menyapu di malam hari akan membuat rezeki akan ikut tersapu. Hal ini adalah didikan agar seseorang tidak menyapu di malam hari karena dapat mengganggu istirahat orang lain.

 

Padusi jan acok-acok malala, ndak laku beko do.

“Perempuan jangan suka berkeliaran, nanti tidak ada lelaki yang mau menikahi.”

Secara leksikal, data di tas bermakna larangan untuk perempuan untuk berkeliaran (atau pergi bukan untuk hal yang penting) karena nantinya tidak akan ada lelaki yang ingin menikahinya. Memang secara logika tidak ada kaitan antara kedua hal tersebut. Namun secara kultural, pantangan ini adalah didikan untuk perempuan Minangkabau. Hal ini bermaksud untuk menjaga dan melindungi perempuan dari hal-hal yang buruk yang dapat terjadi di luar rumah.

 

Jan mandi lamo-lamo, di sapo beko.

“Jangan mandi terlalu lama, atau kamu akan kesurupan.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak mandi terlalu lama atau orang tersebut akan kesurupan. Secara kultural, data di atas bermakna bahwa kamar mandi merupakan tempat membersihkan diri sehingga tak boleh terlalu lama di dalamnya. Jika dilanggar, akibatnya akan mengalami kesurupan. Pantangan ini sebenarnya adalah didikan untuk anak-anak agar tidak bermain-main di kamar mandi, karena dapat terjatuh, kedinginan atau mengalami hal buruk lainnya.

 

Jan lalok magrib-magrib, taimpik hantu beko.

“Jangan tidur ketika menjelang malam, atau kamu akan ditindih hantu.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidur ketika jadwal salat Magrib, atau orang itu akan mengalami ketindihan hantu.  Secara kultural, waktu Magrib menjadi waktu yang sakral bagi masyarakat Minangkabau yang umumnya beragama Islam. Waktu salat Magrib adalah jadwal untuk menunaikan salat. Karena hal itu, pantangan ini menjadi nasihat agar seseorang segera melaksanakan kewajibannya yaitu salat Magrib.

 

Jan mangaluh wakatu kadai rami, langang beko.

“Jangan mengeluh ketika toko sedang ramai, nanti sepi.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk pedagang agar tidak mengeluh ketika dagangannya ramai atau akibatnya dagangannya akan sepi. Secara kultural, masyarakat Minangkabau menganggap mengeluh ketika dagangan ramai sama saja tidak bersyukur atas hal yang telah diberikan Tuhan. Pantangan ini menjadi didikan untuk seseorang agar tidak seseorang agar tidak mengeluh atas apa yang telah terjadi dan tak lupa bersyukur atas berkah yang diberikan Tuhan.

 

Jan makak-makak wakatu malam, berang setan beko.

“Jangan berisik di malam hari, nanti setan marah.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak berisik di malam hari, atau nanti setan marah. Secara kultural, malam menjadi waktu bagi orang-orang untuk beristirahat. Penggunaan kata “setan” dilakukan untuk menakuti orang-orang agar menghargai waktu orang lain yang ingin istirahat di malam hari. Pantangan ini adalah didikan untuk seseorang agar tidak mengganggu waktu istirahat orang lain

 

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pantangan di masyarakat Minangkabau merupakan cerminan nilai, adab, sosial, dan kepercayaan masyarakat Minangkabau yang diwariskan turun-temurun. Pantangan ini berfungsi sebagai pendidikan, peringatan, dan nasihat bagi generasi yang lebih muda. Meskipun tidak memiliki dasar ilmiah, bahkan tidak rasional, pantangan memiliki fungsi penting dalam masyarakat Minangkabau.

Di masa sekarang, pantangan Minangkabau dianggap tidak lagi relevan dan mulai dilupakan hingga tak diketahui keberadaannya oleh generasi muda. Padahal keberadaan pantangan penting karena merupakan warisan budaya yang kaya dan berharga. Pantangan memberikan wawasan bagaimana masyarakat Minangkabau dulunya memandang suatu hal dan bagaimana berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Pantangan menjadi aturan tak tertulis yang memberikan pendidikan kepada generasi muda.

 

 

 

Padang, 10 Maret 2025

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending