web analytics
Connect with us

Publikasi

MANIFESTO HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL JOGJAKARTA 2023

Published

on

international Women's Day 2023

Dengan banyaknya aturan masyarakat yang tertulis (produk hukum) dan tak tertulis (produkpatriarki) membuat banyak perempuan berada dalam posisi dilemahkan, dipinggirkan, bahkan dikriminalisasi. Masih banyak kelompok perempuan anak, remaja, dewasa, usia lanjut, petani, buruh, LGBTIQ, masyarakat adat dan disabilitas yang mengalami diskriminasi hak dan akses dalam lingkungan sosialnya. Bukan hanya diskriminasi hak, namun hingga berujung pada kekerasan yang berdampak fatal seperti maraknya kasus femisida (kekerasan dan pembunuhan hanya karena mereka perempuan).

Perempuan memiliki andil dalam masyarakat dan dunia, namun kita kerap dilupakan dalam sejarah. Banyak perempuan yang masih terus berjuang untuk meraih kesetaraannya. Ini yang kemudian diperingati setiap tanggal 8 Maret sebagai International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional.

Namun seperti yang kita semua rasakan. Tak perlu melihat terlalu jauh. Lihat diri kita sendiri, ibu, kakak, adik, sahabat, keluarga, dan juga pejuang-pejuang kemerdekaan hak perempuan masih terus mengalami kekerasan terstruktur yang datang dari berbagai penjuru. Negara, institusi pendidikan, kepolisian, layanan kesehatan, institusi agama, bahkan tak sedikit yang datang dari pasangan atau keluarga kita sendiri.

Perempuan dan kelompok yang diminoritaskan oleh sistem patriarki ini terus berjuang hingga hari ini dengan segala cara. Memperkuat solidaritas, saling belajar dan empati merupakan salah satu kunci. Perempuan adalah penopang peradaban.Kami akan terus menghujamkan cakar kami pada siapapun yang menghalanginya. Pada setiap orang yang mencoba menguasai dan menjajah tubuh kami.

Kami akan menghancurkan semua tembok yang membatasi dengan kepalan tangan yang sama seperti tangan yang kita gunakan untuk memeluk bayi kita. Luapkan amarahmu pada mereka yang merendahkanmu sama seperti ketika negara merampas tanah dan ruang hidup keluarga kita. Sama seperti ketika gajimu dipotong seenaknya oleh bosmu.

Kami menuntut kemerdekaan penuh untuk menjalani hidup kami, untuk memilih dan meyakini pilihan kami sendiri tanpa didikte dan dikontrol oleh siapapun, apalagi oleh negara. Kami menuntut kebebasan untuk mencintai diri sendiri kami, untuk bertindak, untuk berpikir, untuk melawan. Kami menuntut kemerdekaan dan kesetaraan penuh bagi semua. Kami bertujuan untuk menghancurkan struktur patriarkis yang sistematis dan penuh kekerasan.

“Selama perempuan, pejuang lingkungan, kaum minoritas, seluruh pejuang HAM tidak merdeka, maka seluruh manusia tidak akan merdeka!”

Kamu tidak sendiri, kami ada disini untuk kamu. Kita bersama.

Kami ada, dan akan terus berlipat ganda.

Oleh karena itu, kami melihat bahwa permasalahan kekerasan seksual dan penindasan perempuan serta kaum minoritas seksual tidak dapat diselesaikan secara menyeluruh tanpa mencabut akar penindasan dan sistem yang menciptakannya. Untuk itu, solidaritas dan gerakan massa yang masif diperlukan untuk memenangkan perjuangan pembebasan perempuan dan segenap rakyat tertindas. Momentum International Women’s Day ini menjadi kesempatan untuk bersolidaritas dan bergerak bersama untuk menyikapi berbagai hal yang berkontribusi pada penindasan yang bersifat sistemik ini menjadi sentral bagi perjuangan perempuan sekarang ataupun di masa mendatang. Terkait dengan pentingnya solidaritas ini, Komite International Women’s Day Yogyakarta 2023 menuntut :

  1. Tolak UU KUHP
  2. Tolak UU Cipta Kerja
  3. Tolak raperda dan 48 regulasi yang mengkriminalisasi & persekusi terhadap teman-teman LGBTQ+
  4. Merevisi UU TPKS ke marwah aslinya seperti yang ada di RUU PKS
  5. Mendesak pemerintah untuk menciptakan ruang aman di instansi pendidikan dan keagamaan
  6. Stop pembungkaman terhadap peserta didik
  7. Mendesak menciptakan kurikulum pendidikan gender di lingkungan pendidikan
  8. Hentikan perampasan tanah dan bebaskan 3 petani pakel
  9. Hentikan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan
  10. Hentikan kriminalisasi terhadap pejuang HAM dan masyarakat sipil
  11. Berikan akses aborsi legal dan aman
  12. Jaminan perlindungan dan ruang aman untuk pekerja perempuan di lingkungan kerja
  13. Reformasi aparatur negara
  14. Kuota 50% untuk perempuan di semua jabatan publik dengan menigkatkan kompetensi, kredibilitas, serta peran perempuan dalam penyelenggaraan negara
  15. Upah layak nasional untuk kesejahteraan buruh
  16. Berikan jaminan hak-hak buruh Migran dengan Layak
  17. Berikan jaminan Informasi, dan Konselor Psikis dan Hukum bagi korban KDRT
  18. Sahkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)
  19. Pemenuhan hak terhadap orang dengan disabilitas

Kami bertujuan untuk menghancurkan struktur patriarkis yang sistematis dan penuh kekerasan. “Selama perempuan, pejuang lingkungan, kaum minoritas, seluruh pejuang HAM tidak merdeka, maka seluruh manusia tidak akan merdeka!” Kamu tidak sendiri, kami ada disini untuk kamu. Kita bersama. Kami ada, dan akan terus berlipat ganda.

KOMITE IWD 2023

Yogyakarta, 08 Maret 2023

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Published

on

Oleh: Dhia Qatrunnada Afiluman
Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, Seno Gumira Ajidarma dikenal bukan hanya sebagai penulis yang peka terhadap realitas sosial, tetapi juga sebagai seniman kata yang kerap menjungkirbalikkan logika narasi demi mengeksplorasi makna yang lebih dalam. Salah satu cerpen terkenalnya, Dodolitdodolitdodolibret, adalah contoh nyata bagaimana absurditas, bunyi, dan humor bisa menjadi alat yang ampuh untuk menertawakan kekuasaan yang membatu, terutama kekuasaan yang menjelma dalam bentuk spiritualisme tanpa makna.

Cerpen ini berkisah tentang Kiplik, seorang tokoh yang merenungkan makna dari doa yang benar. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang dapat mencapai “berjalan di atas air” hanya dengan berdoa, sebagaimana diceritakan dalam dongeng yang ia dengar. Namun alih-alih menolak logika spiritual itu, Kiplik justru memperdalam “ilmu berdoa”, sebuah proses yang semakin absurd dan ritualistik. Ia mengajarkan bahwa agar doa berhasil, gerakannya harus tepat, ucapannya tidak keliru, dan waktunya sesuai. Ia pun akhirnya dikenal sebagai Guru Kiplik, sang pengajar “cara berdoa yang benar.”

Namun yang menjadikan cerpen ini luar biasa bukan sekadar premisnya, melainkan bagaimana Seno menggunakan bunyi absurd dalam judul cerpennya dodolitdodolitdodolibret, untuk membongkar absurditas sistem kepercayaan yang kehilangan esensi. Bunyi ini muncul seperti mantra, tidak bisa dijelaskan artinya, namun dipercayai memiliki kekuatan. Di sinilah estetika bunyi menjadi strategi naratif yang kritis. Bunyi-bunyi kosong ini mengejek sistem spiritual atau ideologis yang memaksa ketaatan pada simbol tanpa menjelaskan substansi di baliknya.

Cerpen ini bekerja seperti cermin jenaka yang memantulkan wajah serius para pemuja “doa yang benar.” Lewat Kiplik, Seno menyindir betapa masyarakat kerap mengagung-agungkan tata cara, upacara, dan formula, tetapi melupakan makna. Ritual menjadi teater, dan keyakinan menjadi pertunjukan formal. Guru Kiplik tidak pernah menyebut dirinya nabi, namun dielu-elukan, dimintai izin untuk diikuti, bahkan dipuja seolah ia sumber keselamatan. Seno menghadirkan kritik halus terhadap bagaimana kekuasaan spiritual sering kali dibentuk oleh kharisma dan kebutuhan kolektif akan kepastian, bukan oleh makna sejati yang dirasakan.

Menariknya disini, Seno tidak menyampaikan kritiknya dengan murka atau agitasi. Ia menggunakan humor, ironi, dan absurditas. Dalam satu bagian akhir cerpen, sembilan murid Guru Kiplik yang berhasil “berdoa dengan benar” justru berlari-lari di atas air sambil berteriak panik karena lupa cara berdoa yang benar. Seno menyisipkan pertanyaan mendalam dalam kelucuan itu: apakah yang kita cari dari kekuatan spiritual? Ketenangan, keselamatan, atau sekadar rasa bahwa kita “berada di jalur yang benar”? Dan betapa mudahnya “doa” menjadi beban, bukan pembebasan, jika dimaknai hanya sebagai aturan, bukan relasi batin.

Melalui estetika bunyi dan narasi yang ditenun dari absurditas, Dodolitdodolitdodolibret menghadirkan refleksi tentang kekuasaan: bukan hanya yang berwujud negara atau agama, tapi juga kekuasaan simbol dan kepercayaan yang hidup dalam pikiran kolektif. Ia menertawakan, bukan menghina kekuasaan itu. Tertawa dalam cerpen ini bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk resistensi halus, sekaligus pengingat bahwa ketika makna dikunci oleh kekuasaan simbolik, suara manusia akan tetap mencari celah untuk menyelinap keluar, entah lewat satire, entah lewat bunyi tak bermakna: dodolitdodolitdodolibret.

Continue Reading

Trending