Pembahasan mengenai peran partisipasi perempuan dalam desa, akan bermuara pada persoalan budaya patriarkhi (menganggap laki-laki paling unggul) yang masih membelenggu perempuan hingga saat ini. Selain budaya patriarkhi, kurangnya partisipasi perempuan juga disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri, sehingga sangat sering ditemui perempuan yang hanya bergerak mengikuti bukan membentuk pola gerak yang baru, ungkap Ngatiyar, narasumber talkshow di radio MBS FM Jl.Tegalgendu Kotagede Yogyakarta pada Jum’at (13/10/17) membahas mengenai partisipasi perempuan dalam desa.
Ngatiyar menambahkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan minimal ada dua hal penting yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas perempuan di desa. Pertama, hadirkan pihak yang mampu dan mau mengorganisir serta memperkuat perempuan. Permulaan dalam memperkuat perempuan adalah mendorong secara psikis, sehingga perempuan yang semula kurang percaya diri memiliki motivasi untuk bergerak. Memiliki keinginan untuk ikut berproses dan berkontribusi dalam pembangunan desa. Mengingat, upaya pembentukan karakter selalu berasal dari keinginan diri sendiri untuk mau membentuk diri.
Kedua, pemerintah memberikan ruang bagi perempuan secara terbuka lebar untuk meaksimalkan perannya. Keterbatasan ruang gerak perempuan di desa-desa cenderung berasal dari segala lini. Baik dari diri perempuan itu sendiri, lingkungan sekitar, pemerintah setempat, dan kesepakatan tidak langsung mengenai hak perempuan di desa.
“ Proses pembangunan desa akan berjalan dengan baik ketika pemerintah desa responsif dan masyarakat aktif. Jika kedua katup ini dapat bertemu, maka proses pembangunan desa akan berjalan dengan tepat ”, Ngatiyar mengungkapkan. Kendala dari pernyataan tersebut adalah, seringnya terjadi ketimpangan kerja antara dua komponen pembangun desa itu. Seiring berlalunya waktu, banyak perempuan warga desa yang berperan aktif dalam pembangunan, dan munculnya banyak relawan yang ikut bekerja sama sebagai pihak yang mencoba mendampingi perempuan.
Mitra Wacana WRC mengorganisir dan mendukung peran perempuan di desa untuk mendirikan P3A (Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak). Dalam proses mengembangkan potensi perempuan di desa, ada beberapa fase yang telah dilewati. Pertama, pertumbuhan. Dalam hal ini diperlukan upaya untuk menumbukan kesadaran perempuan mengenai siapa dirinya dan dalam posisi seperti apa mereka dalam struktur sosial di desanya. Hal ini dapat diketahui melalui upaya untuk membaca diri sendiri. Dengan harapan perempuan mampu, sadar, dan tahu peran dan posisinya.
Kedua, fase perkembangan. Setelah menyadari posisinya selanjutnya perempuan akan mulai berfikir mengenai apa yang dapat dilakukan oleh desa dan untuk desa yang memberikan keuntungan bagi perempuan. Ketiga, aksi. Pada fase ini mulai muncul gagasan dan argumentasi. Para perempuan mencoba untuk mengeluarkan suaranya, dan menyampaikan gagasan pada forum-forum desa. Seluruh fase ini membutuhkan satu kunci utama yakni kesadaran personal akan keberadaan diri sebagai bagian dari kelompok, dan peran dalam kesadaran komunal. Karena hal ini akan berkaitan dengan kedekatan psikologis antar anggota kelompok, sehingga mampu memperkuat diri. (Windi Meilita)