web analytics
Connect with us

Opini

Membangun dari Desa

Published

on

perempuan di tengah zaman
arif sugeng widodo

arif sugeng widodo

Oleh: Arif Sugeng Widodo

Pembangunan di Indonesia yang cenderung kota sentris membuat pembangunan terpusat di kota-kota besar khususnya Jakarta. Warga di daerah, khususnya daerah-daerah yang secara ekonomi kurang berkembang, banyak warganya mencari penghidupan di kota besar, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Medan, Surabaya, Makassar dan kota lainnya. Maka muncul istilah urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pembangunan yang berpusat pada kota tersebut, menjadi daya tarik bagi warga di daerah yang ingin mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak untuk berbondong-bondong bekerja ke kota. Arus migrasi tersebut pada akhirnya menimbulkan masalah sampai sekarang tidak saja bagi kota tapi juga bagi desa.

Saat ini, khususnya kota Jakarta kepadatannya boleh disebut parah. Masalah permukiman, ketersediaan lahan, dan kemacetan lalu lintas menjadi persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Namun arus migrasi tidaklah berhenti. Kita dengan mudah bisa melihat bahwa arus migrasi ke kota tetaplah tinggi namun ada tren lain yang menjadi tujuan migrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak, tidak ke kota besar di negeri sendiri namun ke negeri lain atau yang lazim disebut sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia).

Migrasi ke-negara lain, ternyata lebih diminati oleh sebahagian besar warga masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan “banjirnya” TKI ke luar negeri dengan membawa satu harapan mampu memenuhi dan mencukupi kebutuhan keluarga yang berada di desa. Beberapa negara tujuan TKI masih di Asia, yaitu Malaysia, Singapura, Korea, Hongkong dan Arab Saudi. Perlu untuk disimak bahwa adanya arus TKI tersebut patut menjadi perhatian serius. Semakin besar jumlah TKI maka akan semakin banyak masalah yang muncul, seperti yang kerap diberitakan di media massa. Beberapa permasalahan tersebut adalah adanya tindakan kekerasan (fisik, ekonomi dan seksual), hingga pembunuhan yang menimpa TKI saat bekerja di luar negeri. Masalah lain yang kerap dialami oleh para TKI adalah penipuan oleh majikan dan penyalur tenaga kerja, bahkan tindakan diskriminasi baik oleh negara tujuan maupun oleh pemerintah Indonesia sendiri. Persoalan lain-pun kerap muncul khususnya yang dialami Tenaga Kerja Wanita, misalnya “pengkhianatan” oleh pasangan/suami; ditinggal menikah, perselingkuhan, uang kiriman habis atau bahkan diceraikan.

Rentetan kejadian yang kerap menimpa TKI khususnya TKW, menimbulkan keprihatinan bersama, bukan hanya TKW yang bersangkutan tapi juga warga negara yang mempunyai empati terhadap kasus yang menimpa TKW di negeri seberang. Kepedulian warga masyarakat itu salah satunya saat adanya TKW yang di vonis hukuman mati tapi bisa bebas dengan cara membayar sejumlah denda yang ditentukan . Warga Indonesia yang peduli atas kasus tersebut, bersama-sama menggalang dukungan mengumpulkan uang koin sebagai bentuk kepedulian sesama warga yang sebenarnya merupakan sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah yang kurang mampu “melindungi” warga di negara lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tingkat masyarakat, kepedulian terhadap orang lain masih ada dan menjadi modal sosial dalam membangun Indonesia. Tuntutan agar pemerintah benar-benar peduli terhadap warganya cukup besar melalui usulan pembangunan yang tidak terpusat hanya di kota besar akan tetapi juga di daerah. Inilah yang menjadi tonggak lahirnya Undang-Undang N0.6 Tentang Desa yang telah disahkan pada 2014.

Adanya undang-undang desa tersebut membuka ruang pembangunan yang merata di seluruh Indonesia, sehingga masalah urbanisasi dan migrasi ke luar negeri bisa ditekan karena desa memberi sumber ekonomi yang diperlukan. Paling tidak, desa bisa mencegah praktik-praktik ilegal yang selama ini terjadi melalui program penguatan informasi pada masyarakat. Desa mampu membuka ruang-ruang partisipasi bagi warganya dalam menyusun program desa sehingga majunya suatu desa merupakan kemajuan bersama. Partisipasi yang dimaksud adalah semakin terbukanya ruang keterlibatan perempuan dalam aspek perencanaan, pengawasan, implementasi dan evaluasi. Karena, di beberapa daerah tertentu ada warga masyarakatnya menjadi TKI di luar negeri akan tetapi ada juga yang memutuskan untuk berhenti dan tinggal kembali di desa. Mantan buruh migran perempuan inilah yang bisa masuk untuk terlibat dalam kegiatan desa. Pengalaman mereka dapat menjadi pengalaman dan sumber pengetahuan saat desa membuat kebijakan, khususnya yang berkaitan erat dengan TKI.

*Tulisan ini awalnya direncanakan untuk tajuk rencana di Buletin Mitra Media, eh space nya terbatas…..

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online

Published

on

Sumber: Freepik
 

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

The world has become increasingly interconnected, with the use of smartphones and the internet skyrocketing globally. Children and young adults in particular are heavy users of social media and are at the forefront of digital usage. This rise in digital engagement has brought with it a host of opportunities, but also significant risks for young users. As children navigate the online world, they are increasingly exposed to dangers such as cyberbullying, online sexual exploitation, and harmful content. Addressing online safety is thus an urgent priority for all countries. However, Indonesian children in particular have a high rate of access to the internet and all of the potential accompanying issues. 
 
According to the 2023 report by Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), over 80% of children aged 10-17 in Indonesia have access to the internet, with the majority engaging through mobile devices. Popular platforms include TikTok, YouTube, WhatsApp, and Instagram, often used without adequate supervision. While internet use can support learning and creativity, it also poses challenges when digital literacy and parental guidance are lacking. Many parents are less, or totally unfamiliar with some or all of these platforms, making it difficult to warn against same of the dangers of online engagement.
 
Children in Indonesia face a range of online risks. Cyberbullying has become prevalent on social media and there is also a risk of online grooming and sexual exploitation. These issues are exacerbated by the anonymity and accessibility of online communication, the ability of individuals to hide their identity emboldens them in their actions. ECPAT Indonesia noted a significant rise in online child sexual exploitation cases during the COVID-19 pandemic. Exposure to harmful content, including pornography, hate speech, and graphic violence, is also widespread and frequently insufficiently regulated. Girls in particular are more at risk of facing online harassment and discrimination.
 
Indonesia has enacted several laws to address online risks, including Law No. 11/2008 on Electronic Information and Transactions and Law No. 35/2014 on Child Protection. While these frameworks provide a foundation for action, enforcement remains inconsistent, and child-specific digital protections are still evolving. The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has launched digital literacy campaigns, but their reach and impact vary. Regional disparities and limited teacher training further constrain effective implementation.
 
To address this growing concern, the Indonesian government is preparing stronger safeguards for children on digital platforms. Inspired by recent steps taken by countries like Australia, Indonesia is considering a law that would restrict access to social media for users under the age of 16. The move follows increasing reports of online abuse and growing concerns among parents, educators, and child protection advocates. There has been a mixed response to this proposed safeguard, with some feeling it is overly restrictive and authoritarian while others feel it is a necessary measure to protect the mental health and safety of Indonesia’s children.
 
Kominfo is also working on interim child protection guidelines. These guidelines aim to regulate digital content, enforce stricter age verification mechanisms, and compel social media companies to take greater responsibility for harmful content on their platforms. While some critics worry about overregulation and the potential to limit young people’s access to information, many experts argue that the safety of children must come first. “Digital literacy alone is not enough,” says a child rights activist based in Jakarta. “We need infrastructure, policy, and corporate accountability to protect our children in cyberspace.”
 
There are various strategies that can be utilised to improve the safety of children online. In the home parents can be empowered with tools and knowledge about how to protect their children’s safety online through workshops. Schools can implement digital literacy programs into the curriculum to help children to understand the potential risks. Reporting systems for instances of online abuse can be created and made readily accessible and child-protection laws can also be enhance and updated to reflect the current online landscape.
 
Online safety for children in Indonesia is a pressing concern requiring coordinated action across sectors. With its growing digital youth population, Indonesia is well-positioned to lead regional efforts in child online protection. Prioritizing inclusive, culturally sensitive, and rights-based strategies will help ensure that all children can explore the digital world safely and confidently.
 
References
• APJII. (2023). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia.
• ECPAT Indonesia. (2020). Online Child Sexual Exploitation in Indonesia.
• Kominfo. (2023). Digital Literacy Campaigns.
• Raharjo, B. (2022). Digital Parenting in Indonesia: Challenges and Cultural Contexts.
• UNICEF Indonesia. (2021). Digital Literacy for Children and Adolescents in Indonesia.
• UNICEF Office of Research – Innocenti. (2020). Growing Up in a Connected World.
• UNESCO Jakarta. (2019). Safe Internet Use for Indonesian Youth.

Continue Reading

Trending