Oleh Enik Maslahah
Secara tidak kita sadari, banyak perempuan desa belum memahami trafiking. Padahal, sebagaian besar perempuan desa telah mengalaminya. Kenyataan itu terungkap dalam diskusi Mitra Wacana bersama kelompok perempuan, Putri Pertiwi , dengan Dr. Ulrich Dornberg dari Jerman, di Galur, Kulonprogo, Yogyakarta, Kamis (20/3).
Perempuan yang pernah bekerja di Malaysia, Siangapura, Arab Saudi, dan Hongkong bersatu membentuk orgnisasi, Putri Pertiwi, dalam rangka mencegah terjadinya “obral manusia” di desanya. Suatu istilah yang akrab di telinga mereka sebagai ganti sebutan trafiking. .
Beberapa perempuan menceritakan pengalamannya ketika menjadi korban trafiking. Dari mulai proses mengakses informasi, proses pemberangkatan hingga kondisi kerja yang jauh dari harapan. Ketidak jelasan informasi awal menyebabkan perempuan tidak banyak paham. Apa yang perlu disiapkan dan apa yang akan dilakukan ketika ada penyelewengan dari pihak agen penyalur. Sebagian besar mereka mengalami penyekapan dan ketidakjelasan waktu pemberangkatan. Baik mereka yang bekerja di rumah tangga maupun di pabrik, rata-rata jam kerja melebihi dari standar. Bahkan waktu istirahat nyaris tidak pernah dinikmati. Meski, gaji yang diterima dianggap melebihi gaji yang diperoleh di desanya. Namun, para perempuan ini menganggap, gaji yang didapat belum bisa memenuhi impian yang diharapkan.
Melihat kondisi di atas Pak Ulrich menanyakan, apa yang bisa dipelajari dari situasi tersebut. Jawaban para perempuan ini menarik, mereka berkomitmen menghindarkan anak cucu mereka dari trafiking. Belajar berwiraswasta dan menggali potensi di daerahnya sebagai harapan dari para perempuan ini kepada anak cucu dan komunitas di sekitarnya. Menurut pandangan mereka, strategi itu lebih baik untuk memajukan dan mensejahterakan komunitasnya. Akhirnya, diskusi ditutup dengan pembukaan undian arisan dan simpan pinjam sebagai pengikat diantara anggota kelompok Putri Pertiwi.