Rilis
Membincang Pasal-Pasal Bias Dalam RKUHP
Published
7 years agoon
By
Mitra WacanaTalkshow radio
Tempat : Smart FM
Host : Endah
Hari/Tanggal : Selasa, 20 Februari 2018
Pukul : 10.00-11.00 WIB
Narasumber : (1) Yogi Zulfadli (LBH Yogyakarta), (2) Dyah Roessusita (Jaringan Perempuan Yogyakarta)
Sebagai masyarakat sipil kita menyayangkan dengan adanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dirumuskan kembali dan akan segera disahkan. Ada beberapa hal yang krusial dan berdampak negatif terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia. Dilihat dari sebabnya, munculnya RKUHP adalah karena keinginan Negara untuk mengganti KUHP lama yang merupakan tinggalan Belanda yang beberapa klausul juga dianggap tidak berpihak kepada kepentingan atau kebebasan masyarakat sipil. Beberapa tema yang krusial bisa dilihat antara lain; kebebasan untuk menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat, menghidupkan kembali pasal-pasal, misalnya pasal penghinaan terhadap presiden, juga terdapat pasal-pasal lain yang mengekang untuk menyebarkan ideologi. Indonesia dalam konteks sebagai Negara hukum yang dinyatakan dalam Pasal 3 UUD 1945 bahwa di Negara hukum itu seharusnya ada perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Kebebasan untuk menyatakan pendapat, pikiran dan kebebasan berekspresi menjadi bagian dari hak asasi manusia semestinya dijamin, dilindungi dan dihormati oleh Negara. Sementara di dalam RKUHP ternyata spirit yang dibangun melalui klausul-klausul justru kontraproduktif dengan semangat kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat yang sudah dinyatakan dalam konstitusi. Hal tersebut tidak beda jauh dengan KUHP yang lama yang dalam beberapa poin terhadap pasal-pasal bermasalah. Dalam kaitannya dengan penuntasan HAM yang berat, di Indoensia sendiri sudah ada UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Berat. Masalah yang muncul dalam RKUHP ini adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran HAM berat yang justru lebih rendah sehingga tidak sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000. Ancaman awal minimal 10 tahun penjara di UU HAM ternyata di RKUHP justru menjadi 5 tahun, begitu juga hukum maksimal di UU HAM 25 tahun ternyata di RKUHP hanya 20 tahun. Ini merupakan kemunduran terhadap kebijakan di Negara kita mengingat masih banyak PR pelanggaran HAM berat di masa lalu yang belum tuntas dan adanya potensi terjadinya pelanggaran HAM berat di masa yang akan datang.
Dalam konteks hukuman mati, dalam KUHP lama masih diatur. Indonesia masih menerapkan adanya hukuman mati. Dalam RKUHP yang baru hukuman mati juga masih dipertahankan. Sementara jika kita mengacu dalam UUD, secara normatif sebenarnya hak hidup merupakan hak setiap orang yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun. Jika dilihat secara empirik, kondisi Indoensia dalam hal penegakan hukum mengalami dekadensi moral karena beberapa aparat penegak hukumnya sebagian bisa disuap hingga munculnya rekayasa kasus. Apabila seseorang divonis dengan hukuman mati maka akan berdampak serius karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa proses peradilan akan bersih dari campur tangan dari pihak lain. Oleh karena itu, jika masih terdapat kondisi semacam ini maka hukuman mati menjadi hal yang justru bermasalah. Karena apabila seorang terdakwa divonis hukuman mati dan hukum tersebut sudah dilaksanakan sedangkan di kemudian hari orang tersebut terbukti tidak bersalah maka tidak ada yang bisa mengembalikan nyawa seseorang. Ini menjadi PR besar apabila hukuma mati tetap dipertahankan.
Ada beberapa masukan yang dirumuskan oleh Jaringan Perempuan Yogyakarta kepada DPR terhadap norma-norma dalam rancangan saat ini yang mungkin bisa direview kembali untuk diubah dengan hal-hal yang lebih mementingkan kepentingan rakyat. Diantaranya yang paling pokok adalah hal yang berkaitan dengan perluasan zina, tetapi isinya ternyata mengancam korban kekerasan seksual termasuk juga korban pemerkosaan. Awalnya pada pasal 484 tentang Perluasan Zina dicantumkan bahwa laki-laki dan perempuan yang tidak ada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dan bisa dibuktikan maka mereka bisa dipenjara. Disisi lain hal ini sudah mengalami penolakan dan pro-kontra di kalangan masyarakat terhadap hal itu, karena pihak yang kontra menganggap Negara tidak perlu mengatur sedemikian jauh terhadap hak privasi warga terhadap hal tersebut.
Namun yang perlu disayangkan adalah ketika pasal tersebut ditambahi dengan beberapa norma yang lainnya, yakni orang yang tidak dalam ikatan perkawinan ketika melakukan persetubuhan akan bisa dipidana. Tuntutan itu bisa dilakukan oleh suami-istri dan pihak ketiga yang berkepentingan. Kemudian karena banyak pro kontra akhirnya pada tanggal 2-14 Februari saat Panja bersidang akhirnya atas tuntutan dari anak, ibu, bapak, suami-istri, dan pihak ketiga yang berasal dari masyarakat luas kemudian berbalik yang bisa menuntut hanya orang tua, suami, istri dan anak. Hal itu dianggap sudah menyelesaikan masalah.
Dalam banyak fenomena di sekitar kita, perempuan-perempuan korban kekerasan sering kali tidak bisa membuktikan kekerasan seksual yang dialaminya. Ketika hal tersebut tidak bisa dibuktikan maka pelaku kekerasan akan bebas. Korban hanya bisa mengadu dan berusaha memproses mencari keadilan, dan apabila tidak bisa membuktikan maka kasus tersebut akhirnya lepas. Selama ini pembuktian untuk kekerasan perempuan sangat sulit. Dalam pasal KUHP yang lama harus ada bukti yang nyata dan ada saksi yang melihat. Padahal kekerasan seksual memiliki karakteristik tertentu. Hal tersebut sangat banyak terjadi di sekitar kita.
Banyak sekali kasus yang didampingi oleh satuan unit pemerintahan misalnya P2TP2A atau Dinas Pemberdayaan Perempuan dan berjejaring dengan pendamping kekerasan pasti lolos. Namun ini suatu usaha yang sudah dilakukan dan dalam mencari keadilan merupakan salah satu terapi psikologi para korban, setidaknya mereka berani untuk melaporkan. Itupun saat ini para korban akhirnya tidak mau menempuh kasus hukum karena sulitnya membuktikan tindak kekerasan seksual ini. Dengan kondisi yang seperti itu, adanya pasal-pasal perluasan zina ini pada saat korban kekerasan dalam proses upaya hukum tidak bisa membuktikan malah bisa dituntut balik dengan pasal ini oleh keluarga pelaku. Misalnya ada seseorang yang dituntut melakukan kekerasan seksual, kemudian perempuan yang menuntut tersebut tidak bisa membuktikan maka pihak yang dituntut akan sangat berpotensi melakukan aksi menuntut balik dengan dalih bahwa ini adalah pasal pencabulan dan perluasan zina.
Perempuan-perempuan korban kekerasan atau pencabulan tersebut malah bisa menjadi korban, sehingga mereka menjadi takut untuk lebih lanjut memproses dalam mencari penegakan hukum. Hal yang sangat disayangkan dari pasal perluasan zina tersebut akan sangat mengekang sehingga orang menjadi sangat sibuk membuktikan bahwa ada orang yang melakukan perbuatan zina dalam kondisi bukan suami-istri. Kondisi saat ini saja sudah tebang pilih hukum. Ini juga tidak konsisten dengan pasal yang lainnya. Mislanya dalam pasal 484 disebutkan pula orang yang hidup bersama sebagai suami-istri di luar pernikahan yang sah akan dipidana paling lama 6 bulan.
Selain itu, hal lain yang kontra-produktif adalah penjeratan terhadap LGBT. Mereka juga mengalami kriminalisasi yang tersebut dalam Pasal 495 yang disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sesama jenis kelaminnya patut diduga belum berumur 18 tahun dipidana paling lama 9 tahun. Apabila masih 18 tahun, pelaku ini masih masuk dalam pasal perlindungan anak. Namun hukuman paling lama 9 tahun ini kontra-produktif dengan perlindungan anak yang masa hukumannya lebih dari itu. Hal lainnya yang menjadi perhatian adalah ketika ada pasal tentang promosi kesehatan perempuan. Cara berkampanye yang apabila mengarah pada penggunaan alat kontrasepsi dan mempertunjukkan alat tersebut maka bisa dipidana.
Dalam peraturan sebelumnya tidak disebutkan, namun pada tahun 2015 hal tersebut sudah mulai diwacanakan. Kecuali yang melakukan kampanye itu adalah tenaga medis, bidan, perawat dan paramedis. Namun gerakan untuk keluarga berencana ini ada di semua lapisan masyarakat, ada kader yang kadang-kadang dalam melakukan kampanye keluarga berencana memakai alat kontrasepsi yang tergantung audiennya. Jadi ketika melakukan promosi dengan memperlihatkan jenis-jenis kontrasepsi itu dilarang dan sampai diatur dalam KUHP. Sebenarnya ini merupakan kemunduran untuk kesehatan reproduksi dan keluarga berencana. Dengan adanya aturan tersebut malah membatasi keterlibatan masyarakat dalam membantu mensosialisasikan program-program pemerintah.
Mengenai pasal kekerasan, banyak kasus korban perkosaan yang selanjutnya berakhir pada prostitusi karena mereka tidak mendapat penanganan yang bagus sehingga mereka menanggung beban psikologis dan mental. Itulah penyebab banyaknya korban kekerasan yang masuk dalam dunia prostitusi. Bisa jadi bukan karena salah dirinya sendiri, tapi dimungkinkan karena lingkungan dan otoritas, juga karena mereka tidak mendapatkan penanganan yang cukup memadai.
Dalam penyampaian keberatan terhadap RKUHP sebenarnya sudah dibuka ruang untuk masyarakat. Dalam pembuatan UU di tingkatan legislatif ada satu momen yang disebut public hearing, yakni dengar pendapat dari masyarakat. Disini masyarakat dapat memberikan pendapat dan pandangannya terkait dengan satu hal yang sedang dibahas dan akan diundangkan oleh badan legislatif. Apabila setelah terbentuknya RKUHP ini ternyata masih banyak pasal yang dianggap kurang mengakomodir masyarakat, bisa jadi masyarakat tidak secara intensif dilibatkan dalam perumusannya. Jika pada akhirnya RKUHP ini disahkan, maka langkah untuk menolak keberatannya dengan melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Pergerakan masyarakat sipil yang besar dan massif akan menjadi sangat penting untuk mempengaruhi kebijakan.
Apabila RKUHP sudah disahkan maka penolakan keberatan bisa dilakukan melalui judicial review terhadap pasal-pasal yang dianggap memberatkan dengan masyarakat sebagai pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Mekanismenya adalah pemohon harus membuat pengajuan tertulis kepada MK. Dalam RKUHP terdapat pasal tentang Penghinaan Terhadap Presiden. Ini merupakan pasal lama yang dimunculkan kembali dan sudah diuji materikan, kemudian oleh Mahkamah Konstitusi dicabut keberadaan pasalnya. Namun dalam RKUHP ini mencoba dimunculkan kembali oleh DPR. Negara seharusnya membuat kebijakan yang tidak mengekang kebebasan warga sipil. Bagi gerakan masyarakat sipil harus solid dan melakukan advokasi terhadap penolakan RKUHP.
Upaya yang dilakukan LBH untuk memberikan pendidikan kritis terhadap masyarakat merupakan bagian dari gerakan lembaga bantuan hukum karena masyarakat harus sadar hukum dan sadar Hak Asasi Manusia, sehingga perubahan kebijakan itu bisa dimulai. Berkaitan dengan RKUHP, pendidikan hukum yang diberikan berbasis pada pengaduan yang masuk ke LBH. Sedangkan upaya yang dilakukan Jaringan Perempuan Yogyakarta dalam memberikan pendidikan kritis terhadap masyarakat adalah melalui konsolidasi berbagai elemen untuk mencermati beberapa pasal dan langkah selanjutnya adalah melakukan aksi. Melalui aksi damai yang dilakukan di tempat umum serta selebaran yang dibagikan setidaknya masyarakat sudah bisa membaca dan mengerti bagaimana mekanisme hukum ini dijalankan. Selain itu, pendidikan lewat medsos juga telah dilakukan baik LBH Yogyakarta maupun Jaringan Perempuan Yogyakarta. (Nawa)
*Disarikan dari talkshow radio
You may like
Di penghujung tahun, detik- detik yang di hitung dengan hitungan jari di guyur hujan deras. Jalan tampak sunyi. Aspal basah di hujani, atas rahmat sang kuasa. Harusnya, saat itu semua orang berada di sebuah gubuk yang biasanya orang-orang menyebutnya ‘rumah’. Mata yang sibuk terpejam melawan kerasnya malam, selayaknya ingin merebahkan sekujur di tempat ternyaman mereka.
Malam pergantian tahun ini, sudah tanggal 1 Januari. Ada apa dengan alam yang seolah murung. Malam yang sudah gelap, jauh tampak lebih jelas tanpa sinar bulan purnama penuh sebagai penyambutan tamu baru. Air turun di mana-mana, orang-orang tak dapat di merayakannya. Tak ada asap yang mewarnai batas kota, rumah-rumah menutup rapat dari segala arah. Bersama kabut dan rintihan air hujan di sepanjang kota.
Suara gemuruh kilat membuatku menekap daun telinga, menarik selimut dan berdoa. Takut yang tak kunjung hilang, saat mendengar suara tajam dari langit itu. Mataku tertuju di jendela yang berada di sisi kiriku. Hal baiknya adalah gorden yang menjutai. Sehingga, cahaya kilat yang berakar itu tidak terlihat jelas olehku.
Satu jam berlalu, aku menunggu hujan yang tak kunjung reda. Rasa lelah sepanjang hari di tempat kerja membuat ku tertidur. Ponsel yang berada di saku pun bergetar dan membuatku terbangun.
“Nak Naini tidak pulang malam ini?” Tanya bik Arsih.
“Aku tidak bik, hujan deras. Malam ini sepertinya aku tidur di rumah sakit. Bibik tidurlah, tidak usah menungguku”. Jawabnya.
Dengan terpaksa, aku harus tidur di ruangan bersuhu nol sedikia derajat itu. Itu biasa untukku, tidak ku heran lagi. Kadag kala rasa bosan ini membuatku jengkel. Meskipun begitu, aku malas pulang kerumah. Pulang pun untuk apa, tak ada yang menunggu atau menyambutku. Di rumah itu hanya ada aku dan bik Arsih yang sudah ku anggap sebagai keluarga.
“Apa ku terobos saja hujan ini? Batinnya.
“Sepertinya, juga sudah mereda. Hanya rinai. Tapi… (melihat jam) ini sudah jam segini. Tapi kasihan bibik yang tinggal di rumah sendiri. Tak apa lah basah sedikit.” Kataku pelan.
Hari-hari mengabdi di tempat bagi orang-orang yang berharap akan manusia yang menjadi perantara Tuhan. Sesekali aku menggerutu akan apa yang aku lakukan sekarang. Padahal itu adalah keinginan ku sejak lama.
“Dulu ini yang aku mau, tapi sekarang ntah kenapa aku begitu muak. Aku lelah menghadapi hari-hari. Bahkan malam ku pun terusik.” Kataku dengan nada agak marah.
Sebelum aku berpikir, bahwa hal ini tidak akan menyangkut persoalan malam hari. Bagiku, malam begitu indah untuk di ganggu. Tapi nyatanya, aku sendiri yang merusaknya. Karena saat malam, tanpa terkecuali siapa pun pasti menantinya, utuk bisa merasakan apa saja. Anehnya, bagi beberapa orang, malam buruk bagi wanita. Selalu saja di sangkut pautkan dengan karakter manusia.
“Aku tak peduli apa yang dipikirkan orang tentangku, apa lagi mereka-mereka…”
Saat itu, malam sudah kembali. Langkahku diterangi oleh bulan sebagian purnama. Kala itu, jalan tak begitu sepi masih banyak yang lalu lalang. Gedung-gedung tinggi terlihat menyala dan berpenghuni yang megurangi sedikit ketakutanku.
“Huhh… hari ini begitu melelahkan. Sampai saja aku di rumah akan ku dorong raga ini untuk meninggalkan jiwaku sejenak.”
Memang lokasi rumah sakit tidak terlalu jauh dari rumahku. Tetap saja lelah jika harus berjalan kurang lebih 20 menit. Akhirnya, hanya beberapa langkah lagi. Tak sengaja, ia bertemu dengan seorang laki-laki tua.
“Baru pulang kah nak?.” Tanya bapak itu.
“Iya, Pak. Kebetulan rumahku di sebrang jalan itu, Pak?”
Tanpa mengetahui alas anku, bapak itu langsung saja mengatakan.
“Apa kau tidak malu nak? Bukanlah anak seorang wanita? Pulang selarut ini tidak dilihat baik oleh siapapun.” Ketus bapak itu dengan mata melotot.
“Aku menunggu hujan reda, Pak. Ketika ku lihat sudah reda, aku pulang.” Jawabku pelan.
“(menggelengkan kepala) ada baiknya besok pagi kau pulang.”
Dengan wajah tertunduk, hatiku rasanya seperti selembar kertas yang kusut setelah remas-remas. Aku tak berkata-kata apa saat itu, hanya mengangguk dan berkata iya.
“Tapi saya seorang dokter, Pak”. Jawabku sedikit membentak.
“Sungguh hal yang wajar, jika seorang dokter pulang larut malam pak. Sibuk banget merawat pasien membuat ku lupa apakah ada siang dan malam.” Balas ku sedikit keras.
“Tidak ada alasan. Bapak tak mau hanya karena kamu pulang larut malam. Kompleks lingkungan ini jadi kotor”.
Lidahku kelu, tak bekutik untuk sepatah katapun. Bola mata kuliah lirih akan ucapan bapak itu.
“Apakah aku seburuk itu?” (Tanya batinku).
Rasa lelah yang terpendam seketika melayang bersama kata per kata yang keluar dari mulut bapak itu. Aku tak ingin berpikir tentang apa-apa lagi, meskipun apa yang di katakan itu menusuk hati. Aku terus saja berjalan walau dengan wajah murung.
“Kalau di bilang sedih ketika ada orang yang meragukan karekaterku. Itu hak mereka. Tapi… apakah dokter yang pulang malam itu buruk? Hmm.. entah salah ku, atau alam yang sedang tak berpihak kepadaku.”
Saat kaki ku tepat di depan pintu, aku tak berpikir apa-apa selain tidur. Terpejam lah mata ini, tak ingin memikirkan perkataan bapak itu. Tapi masih saja terpikir olehku setiap ucapan yang dilontarkan bapak itu kepada ku beberapa menit yang lalu.
“Apa salahnya bapak itu mendengarkan penjelasan ku. Sebelum ia menuduhku yang tidak-tidak. Entah apa yang di pikirkan bapak itu. Matanya saat melihatku seolah-olah aku adalah sampah.”
Hampir sekitar 3 menit aku termenung, namun akhirnya rasa kesalku kalah dengan rasa lelahku.
****
Keesokan paginya, kebetulan aku mendapatkan jadwal shift pagi. Rasa lelah yang belum tuntas, tapi boleh buat apa. Ini adalah resiko setiap apa yang kamu lakukan mau tidak mau harus menerima dengan lapang dada. Berusaha lupa, akan kejadian malam pergantian tahun itu. Alam lagi-lagi mengajakku bercanda dengan manusia-manusia yang menganggap diri mereka adalah orang berdarah putih.
Kejadian itu tak ada ceritakan kepada siapapun. Terkecuali bapak itu dan aku untuk menjalani hari-hari seperti biasanya. Mencoba tersenyum dengan orang-orang yang harus ku berikan senyuman.
Pagi Minggu di tanggal 1 dengan tahun yang baru, cuaca tampak cerah. Tak seperti kemarin, yang tampak murung. Alam memiliki tangan yang menggandengku dengan terangnya hari ini. Ia memberiku semangat.
“Berarti kemarin itu memberikan tanda untukku, akan ketemu bapak itu”. Ucapku.
“Tapi sudahlah, itu cerita kemarin”. Lanjutnya.
“Dok, pasien ruangan mawar 2 darurat (bergegas)”.
Di antara kamar-kamar dalam lowongan rumah sakit, terpikir dibenakku kenapa aku harus memikirkan apa yang orang lain katakan. Melakukan apapun tak harus di ketahui banyak orang. Biarlah sang kuasa yang menilai bagaimana aku. Akhirnya, ku tutup cerita kemarin dengan kebaikan hari ini dan selanjutnya.
Mitra Wacana dan LBH APIK Yogyakarta: Penguatan Jaringan Untuk Kesetaraan Gender dan HAM
Kunjungan Talithakum: Berbagi Cerita dan Menguatkan Keluarga Purna Migran P3A Rengganis
MITRA WACANA DAN FORUM PEREMPUAN HARGOTIRTO EDUKASI KESEHATAN MENTAL DI DUSUN SEKENDAL, HARGOTIRTO
Mitra Wacana dan LBH APIK Yogyakarta: Penguatan Jaringan Untuk Kesetaraan Gender dan HAM
Meningkatkan Efektifitas Perencanaan Organisasi Melalui Logframe dan Metode SMART
P3A Kalurahan Banaran (P3A Pesisir) Membuat Perencanaan Organisasi Tahun 2025
Trending
- Opini3 hours ago
Mitra Wacana dan LBH APIK Yogyakarta: Penguatan Jaringan Untuk Kesetaraan Gender dan HAM
- Kulonprogo5 hours ago
Kunjungan Talithakum: Berbagi Cerita dan Menguatkan Keluarga Purna Migran P3A Rengganis
- Kulonprogo6 hours ago
MITRA WACANA DAN FORUM PEREMPUAN HARGOTIRTO EDUKASI KESEHATAN MENTAL DI DUSUN SEKENDAL, HARGOTIRTO