web analytics
Connect with us

Opini

Menapaki “Kembang 6 Rupa”

Published

on

menapaki kembang 6 rupa

Menapaki “Kembang 6 Rupa”

“Kembang 6 Rupa” adalah seri film dokumenter pendek tentang 6 remaja perempuan yang tengah menghadapi masa depan di kampung halamannya. “Kembang 6 Rupa” diproduksi oleh Yayasan Kampung Halaman, organisasi nirlaba yang berbasis di Yogyakarta (didirikan pada tahun 2006) yang berkolaborasi dengan 6 (enam) sutradara dan 6 (enam) remaja perempuan di Indramayu, Sumedang, Kuningan, Sleman, Sumbawa dan Wamena.

Acara bedah film ini diselenggaran oleh Yayasan Kampung Halaman dan Yayasan Festival Film Dokumenter ini dilaksanakan di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY) Jl. Sriwedani No. 1 Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta pada Jum’at, 9 Desember 2016. Film dokumenter ini mengisahkan cerita kehidupan enam remaja perempuan mengenai persoalan pendidikan, kebebesan berkeyakinan, mobilitas, ketenagakerjaan, kebebasan berpendapat, masalah pekerjaan, keluarga, dan keadilan gender.

Dalam upaya meraih mimpi dan cita-citanya, setiap manusia termasuk remaja, membutuhkan akses mobilitas, baik mobilitas akan pengetahuan maupun fisik. Akses mobilitas remaja diantaranya adalah keluarga, pendidikan, agama, teknologi, pekerjaan, peraturan dan kebijakan. Dari banyak akses tersebut, keluarga adalah akses utama dengan memberikan dukungan adil antara perempuan dan laki-laki, karakter terbuka dan berpikiran maju.

Film pendek Kembang 6 Rupa dibuat secara kolaborasi antara Kampung Halaman (KH), remaja dan pembuat film. Sejak Juli 2014, proses dialog mulai dibangun antara KH, pembuat film, remaja subjek, keluarga dan komunitas. Keterlibatan semua pihak menjadi nafas dengan semangat saling memberdayakan. Kini semua orang dapat belajar dari kegigihan dan perjuangan wanita dibalik keterbatasan yang mereka miliki dan hambatan yang datang silih berganti.

Dalam pemutaran dan diskusi, Kampung Halaman ingin mencari tahu tentang hal-hal yang selama ini belum tepat ketika melihat remaja perempuan, hal yang tidak terungkap karena tidak disadari atau sengaja didiamkan. Trailer film kembang 6 rupa dapat dilihat di :

https://www.youtube.com/watch?v=QmA-nAzSuPw

https://www.youtube.com/watch?v=81scVgeTjbE

 

Berikut adalah sinopsis dari “Kembang 6 Rupa”

Kebebasan Berkeyakinan sesuai UUDKuningan
Karatagan Ciremai

DURASI 17 menit 15 detik

Sutradara : Ady Mulyana

Anih Kurniasih (15 tahun) dari Desa Cigugur, Kuningan, Jawa Barat yang meyakini agama leluhurnya: Sunda Wiwitan. Berdasar-­ kan alasan negara hanya mengakui enam agama resmi, Anih dan keluarganya senantiasa mengalami diskriminasi. Sejak lahir, ia tercatat sebagai anak angkat dari kedua orangtua kandungnya. Pernikahan orangtuanya dianggap tidak sah. Akibatnya, Anih dan adik-­adiknya kesulitan untuk mendapatkan akte kelahiran dan surat administrasi kependudukan lainnya. Disadari atau tidak, yang dialami Anih adalah diskriminasi terstruktur. Sampai kapan hal ini terus berlangsung? Bisakah Anih memperoleh pendidikan setinggi mungkin sesuai dengan cita-­citanya?

Isu : Kebebasan Berkeyakinan sesuai UUD, Pemerintahan yang Adil, Kualitas Pendidikan

kemiskinan, kualitas pendidikanSumbawa
Haruskah ke Negeri Lain?

DURASI 15 menit 31 detik

Sutradara : Anton Susil

Maesarah (17 tahun) adalah satu dari remaja dari Pulau Bungin, Sumbawa yang ingin mem-­ perbaiki kehidupan keluarganya dengan bekerja di Malaysia. Untuk dapat dikirim ke Malaysia, SMK tempat Maesarah (Mae) bersekolah me minta calon pekerja seperti Mae untuk menyiapkan biaya sebesar Rp. 2 juta. Saat Mae mencari informasi dari tetangga yang sudah memberangkatkan anak mereka ke Malaysia, dia menemukan adanya indikasi adanya jaring laba-­laba seputar biaya keberangkatan yang melibatkan pihak sekolahnya.

Isu : Kemiskinan, Kualitas Pendidikan, Keadilan Gender, Pekerjaan Layak

 keadilan gender

Sleman
Bangun Pemuda! Pemudi Sudah

DURASI 08 menit 38 detik

Sutradara : Michael A.C Winanditya

Nala Sahita Putri (17 tahun), anggota perempuan yang sangat kritis di GAMA 55, sebuah sub Karang Taruna di Dusun Krapyak, Desa Wedomar-­ tani, DIY. Berdiri sejak 1984, GAMA 55 diharapkan menjadi salah satu ujung tombak masyarakat khususnya dari pihak orang tua untuk menjadi wadah bagi remajanya ikut membangun dusun. Itukah yang terjadi? Bagaimana kerjasama antara anggota perempuan dan anggota laki-­laki GAMA 55? Kenapa anggota perempuan dianggap tidak memiliki potensi? Benarkah?

Isu : Keadilan Gender dan Kebebasan Berpendapat.

 Kualitas pendidikan

Wamena

Agnes, Pewaris Budaya Dunia ?

DURASI 06 menit 50 detik

Sutradara: Arief Hartawan

Agnes Asso (17 tahun), remaja perempuan dari Distrik Asolokobal (11 KM dari Wamena, Papua). Kehamilan dan kelahiran putrinya membuat sekolah Agnes terhenti di kelas 1 SMA. Karena sampai saat ini Agnes belum juga dinikahi oleh pasangannya, maka untuk menyambung kehidupannya sebagai orangtua tunggal, Agnes mengandalkan keterampilannya mengan-­ yam dan menjual noken. Bisakah noken memenuhi kebutuhan sehari-­hari dan impian untuk melanjutkan sekolah?
Isu : Kualitas Pendidikan dan Keadilan Gender

Kemiskinan, Kualitas Pendidikan, Keadilan Gender dan Pekerjaan Layak Indramayu

Miang Meng Jakarta  (Aku Ingin Ke Jakarta)

14 menit 29 detik

Sutradara: Opan Rinaldi

Ika (16 tahun) dari Desa Amis, Indramayu sangat ingin bekerja ke Jakarta. Masa lalu yang buruk membuat Ika memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya saat di SMP. Usianya yang belum cukup, dan keinginan ibunya agar dia tetap tinggal di Indramayu membuatnya frustasi. Segala upaya dia lakukan agar segera pergi dari Amis. Akankah Ika terus bertahan di kampungnya?

Isu : Kemiskinan, Kualitas Pendidikan, Keadilan Gender dan Pekerjaan Layak

 Keadilan Gender dan Kualitas Pendidikan

Sumedang

Bintang di Pelupuk Mata (Tak Tampak)

DURASI 16 menit 03 detik

Sutradara : Dwi Sujanti Nugraheni

Pipit Fitrianti (16 tahun) dari Desa Cibeureum Wetan, Sumedang adalah gadis ceria yang sudah kenyang diberi stigma sebagai “cabe-­cabean” oleh orang-­orang di kampungnya. Stigma itu yang membuat prestasi Pipit tidak diakui. Padahal Pipit adalah murid dan atlet berprestasi. Cita-­citanya tak muluk, ia hanya ingin menjadi guru olahraga atau guru matematika, tapi jalan penuh rintang sepertinya akan menghadang, bahkan pihak sekolahnya enggan mendukung cita-­cita Pipit. Siapa seharusnya yang mendukung Pipit?

Isu: Keadilan Gender dan Kualitas Pendidikan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum

Published

on

Adam Tri Saputra
Kader Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari.

Dewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.

 

Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).

 

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).

 

Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).

 

Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.

 

Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).

 

Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending