web analytics
Connect with us

Opini

Mendidik Anak Berjiwa Entrepreneur

Published

on

Hermansyah Kahir

Hermansyah Kahir

Oleh: Hermansyah Kahir (Pernah belajar pada Jurusan Manajemen Perbankan Syariah UMJ)

Tantangan terbesar semua negara tak terkecuali Indonesia dewasa ini adalah menciptakan lapanga kerja. Perluasan lapangan kerja yang relatif lebih lambat daripada pertumbuhan populasi penduduk sudah menyebabkan meningkatnya pengangguran. Dibutuhkan perluasan lapangan kerja baru untuk mengurai persoalan klasik ini. Salah satu sektor pendukung untuk menciptakan lapangan kerja baru adalah sektor wirausaha.

Sektor ini dapat menjadi jalan tengah antara ketidakmampuan negara dalam menyediakan lapanga pekerjaan bagi masyarakat. Selain itu, wirausaha diyakini dapat menjadi alternatif baru bagi pertumbuhan ekonomi kreatif di kalangan anak-anak muda khususnya yang baru lulus dari perguruan tinggi. Banyak kalangan menilai bahwa wirausaha adalah kunci untuk kemajuan sebuah bangsa. Negara maju seperti Amerika Serikat ditopang oleh wirausaha yang jumlahnya lebih dari 10 persen dari jumlah penduduknya. Pada 1980-an negeri Paman Sam telah melahirkaan sekitar 20 juta entrepreneur yang mampu menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan.

Semakin banyak orang yang berwirausaha makan akan semakin banyak pula lapangan pekerjaan yang tercipta. Meskipun demikian, wirausaha tidak dapat diperoleh secara instan. Perlu adanya penanaman jiwa wirausaha sejak dini karena pada masa-masa inilah masa yang paling produktif untuk menanamkan jiwa wirausaha kepada anak. Jiwa wirausaha tidak dapat dipelajari selayaknya belajar membaca tetapi perlu ditanamkan sejak dini sehingga karakter wirausaha dapat tertanam kuat dalam diri seseorang. Jennie M. Xue (2016) mengatakan, membesarkan anak-anak berjiwa entrepreneur sejak dini berarti mempekenalkan seawal mungkin personality trait entrepreneur serta arti pasar, produk dan strategi bisnis.

Dukungan Keluarga

Kewirausahaan merupakan harapan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat luas. Karenanya, banyaknya jumlah entrepreneur di suatu negara akan menunjukkan tingginya kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan suatu negara akan lebih berhasil jika ditopang oleh wirausaha apalagi kemampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja sangat terbatas. Artinya, untuk menggarap semua aspek pembangunan pemerintah akan kewalahan karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit pula.

Kewiraussahaan perlu diperkenalkan sejak dini di dalam keluarga sehingga lebih matang dan terarah ketika si anak sudah tumbuh dewasa. Pada dasarnya jiwa wirausaha tidak hanya diperlukan untuk berbisnis saja, hampir dalam segala bidang sangat dibutuhkan jiwa entrepreneur untuk keberhasilan kerja dan organisasi. Karena semangat kerja, kreativitas, disiplin, inovatif, gigih, kerja keras, tidak mudah putus asa merupakan karakteristik jiwa unggul yang diperlukan di bidang apa saja.

Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak-anak, karena dalam keluargalah anak dilahirkan dan berkembang menjadi dewasa. Pendidikan kewirausahaan dalam lingkungan keluarga diawali dengan pemberian contoh-contoh positif dari orangtua. Suasana rumah juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan perilaku anak.
Semakin banyak pengalaman yang diperoleh anak melalui pendidikan keluarga, maka akan semakin banyak pula karakteristik dan sifat-sifat positif anak baik dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Hal ini akan memperkuat mental dan sikap seorang anak ketika dewasa nanti.

Jiwa entrepreneurship sebenarnya sudah dimiliki oleh setiap individu, tapi memiliki kadar yang berbeda tergantung bagaimana orangtua mengasah dan melatihnya dalam lingkungan keluarga. Dalam konteks inilah jiwa entrepreneurship, yang berkaitan dengan life skill ini sangat dibutuhkan dalam proses belajar mengajar. Dengan pendidikan, seorang entrepreneur akan memiliki visi dan misi yang tinggi, memiliki jiwa kreatifitas dan inovasi yang kuat, pemberani, jujur dan berjiwa kompetitif.

Dengan pendidikan dan penanaman jiwa wirausaha sejak dini dalam keluarga, diharapkan anak-anak tumbuh dengan pribadi yang siap untuk berwirausaha. Mininal mereka dapat menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Dan, tentunya dapat membuka lapangan pekerjaan yang sangat luas bagi orang lain.

Banyak tokoh sukses karena memiliki jiwa entrepreneur sejak masih anak-anak. Sebut saja JK Rowling, di mana berkat hobi menulisnya sejak usia 6 tahun telah mengantarnya menjadi salah satu penulis terkaya. Bahkan ia sering memperlihatkan karyanya kepada orangtua dan teman-temannya. Contoh lain adalah Jon Chu yang sejak kecil senang menonton video dan lebih suka mengomunikasikan isi makalah sekolahnya daripada diketik. Karena kebiasaannya ini Jon Chu tumbuh sebagai sutradara kawakan berkelas dunia.

Karena wirausaha tidak dilahirkan, maka orangtua perlu terlibat langsung dan mendukung kebiasaan-kebiasaan positif anak di rumah sehingga anak-anak tumbuh dewasa dengan memiliki jiwa entrepreneur sejak dini. Diharapkan di masa mendatang mereka dapat menjadi wirausaha sukses yang dapat menciptakan pekerjaan baru, sehingga dapat mengurangi pengangguran, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengentaskan masyarakat dari cengkraman kemiskinan. Lebih jauh lagi, sebagai motor pembangunan ekonomi para wirausaha ini dapat membawa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan bermartabat.

 

Biodata penulis

Nama : Hermansyah Kahir
Tanggal Lahir : Sumenep, 28-01-1988
Pekerjaan : Penulis
Alamat : Jl. KH. Abdul Ghani Kampung Bulak Rt/Rw: 02/02 No. 22 Kel. Cempaka Putih Ciputat Timur Tangerang Selatan 15412
Hp : 087889922066
email : hermansyahkahir@yahoo.com
Twitter : @hermansyahkahir

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Mendidik Anak Berjiwa Entrepreneur – Hermansyah Kahir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum

Published

on

Adam Tri Saputra
Kader Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari.

Dewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.

 

Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).

 

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).

 

Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).

 

Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.

 

Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).

 

Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending