Rilis
Mendorong Nalar Kritis Pemilih Pemula

Published
11 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Rindang Farihah
Setiap warga negara Indonesia mempunyai untuk hak dipilih dan memilih. Begitu pula dengan para pemuda yang dalam konteks ini biasa disebut sebagai pemilih pemula. Pemilih pemula ini berusia 17 tahun ke atas. Dalam pemilu 2014 terdaftar ada 186.612.255 pemilih dari jumlah tersebut 20-30% nya atau sekitar 60 juta adalah pemuda atau pemilih pemula.. Tentunya jumlah suara yang potensial untuk di bidik oleh partai politik.
Banyak kalangan menilai, pemilih pemula cenderung tidak mau menggunakan hak pilih nya dikarenakan mereka apatis terhadap situasi perpolitikan di Indonesia yang di warnai praktek korupsi, perempuan dan intrik. Di sisi lain karakter pemilih pemula yang rata-rata berusia remaja cenderung anti kemapanan, pro perubahan dan status quo. Namun disisi lainnya lagi, nilai positifnya mereka cenderung independen, mandiri tidak mau di setir sehingga jauh dari praktek money politik.
Namun pertanyaannya adalah, tugas siapa mendidik para pemilih pemula ini? Apakah KPU? ataukah Partai Politik? ataukah Sekolah? atau Orang Tua? Banyak informasi yang seharusnya diiperoleh mereka. Terkait apa itu PEMILU, tahapan-tahapan pemilu, partai-partai peserta pemilu, dsb. Para pemilih pemula ini harus faham betul tentang visi misi partai-partai peserta pemilu serta agenda kerja partai. Karena ini adalah pengalaman pertama mereka, jangan sampai sekedar memilih. Mereka berhak memperoleh informasi seluas-luasnya.
Pada dasar nya memberikan pendidikan politik kepada anak-anak kita adalah tugas bersama. KPU hanyalah lembaga khusus yang ditunjuk oleh negara sebagai penyelenggara PEMILU. Pendidikan politik tidak seharusnya diberikan ketika mendekati Pemilu. Pendidikan politik bisa diberikan setiap saat, bahkan oleh lembaga pendidikan, melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Bahkan sebenarnya kegiatan pemilihan ketua kelas, ketua OSIS di sekolah pun sebenarnya adalah kegiatan politik, sehingga bisa dijadikan pembelajaran politik oleh mereka.
Satu hal yang harus selalu ditekankan mengenai upaya penyadaran bagi pemilih pemula ini untuk menggunakan hak pilihnya adalah dengan mengingatkan manfaat dan kerugian ketika tidak menggunakan hak pilihnya, bahwa bagaimana pemilu ini nanti menentukan masa depan bangsa ini, karena terkait siapa yang akan memimpin negara ini dan kebijakan seperti apa yang diusulkan oleh anggota DPR, lalu kebijakan seperti apa dan pemimpin seperti apa yang di inginkan oleh mereka. Dengan penyadaran seperti ini harapannya mereka akan dengan penuh kesadaran dan kerelaan datang ke pos pemiliihan dan menggunakan hak pilihnya.
Terutama pemilih pemula perempuan, sangat penting buat mereka untuk menggunakan hak pilihnya, sebagai pihak yang selama ini rentan menjadi korban kekerasan, baik di wilayah domestik, publik juga kekerasan oleh negara. Bagaimana negara seringkali tidak hadir ketika mereka butuh perlindungan, juga banyak nya Perda Diskriminatif yang di syahkan di era Otonomi Daerah. Jadi, pilihlah caleg yang benar-benar mengerti kebutuhan perempuan dan bersedia memperjuangkan hak kalian.
You may like
Berita
Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Published
3 weeks agoon
2 June 2025By
Mitra Wacana
Oleh Nurmalia Ika Widiasari, S.H., MKn (Dewan Pengurus Mitra Wacana)
Jakarta, 24 Mei 2025 — Di tengah tantangan kesetaraan gender dan ketidakadilan sosial yang masih mengemuka di Indonesia, para perempuan dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di lantai 4 Grha Pemuda Katedral Jakarta dalam forum diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas Bersama.” Acara ini merupakan serial ketiga dari Bonum Commune Forum (BCF) yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Jakarta dan 5P Global Movement. Mitra Wacana hadir sebagai tamu istimewa dan duduk di barisan depan forum tersebut.
Mengusung semangat Hari Perempuan Internasional bertema “For All Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment,” forum ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar selebrasi simbolik, melainkan panggilan untuk aksi nyata. Acara dibuka dengan sambutan hangat dan selingan humor oleh Inaya Wahid, aktivis dan seniman, yang menghidupkan suasana diskusi sejak menit pertama.
Tiga narasumber utama hadir dengan cerita dan perjuangan yang menyentuh. Sumini, pengelola hutan adat dari Aceh, membagikan kisah perjuangannya menjaga hutan dengan pendekatan damai. “Kami tidak melawan para pembakar hutan dengan kekerasan, kami ajak makan, lalu berdialog,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil dan konsisten.
Suster Laurentina, yang dikenal sebagai “Suster Cargo,” membagikan realitas pahit para Buruh Migran (BM) asal NTT. Ia menyinggung banyaknya BM yang meninggal di luar negeri tanpa perlindungan hukum yang memadai. “Kadang saya disebut perempuan kurang kerjaan karena urus jenazah. Tapi ini panggilan hati,” tegasnya, yang disambut tawa haru peserta ketika ia menjawab guyonan Inaya dengan spontan dan jenaka.
Sementara itu, Octavia Wuri dari Sekolah Tanpa Batas menuturkan perjuangannya mendirikan sekolah inklusif bagi anak-anak difabel dan marjinal. Ia nyaris menyerah, hingga seorang siswanya mengaku ingin bunuh diri. “Saat itu saya tahu, saya tidak bisa berhenti,” katanya, lirih namun penuh daya.
Diskusi semakin kuat ketika penanggap seperti Karlina Supeli dan Andar Nubowo menekankan pentingnya memperluas solidaritas lintas isu dan gender. Karlina menyoroti bahwa perubahan sosial bisa memakan waktu hingga 2000 tahun jika tidak ada intervensi nyata. Sedangkan Andar menyebut tiga perempuan pembicara sebagai “Power Rangers perubahan.”
Isu-isu penting seperti larangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi Ahmadiyah, hingga pembongkaran makam juga mengemuka dalam sesi tanya jawab. Inaya Wahid merespons dengan tegas bahwa perjuangan Gusdurian adalah membela yang minoritas dan terpinggirkan, karena “mereka yang kerap dilupakan negara.”
Forum ditutup dengan pernyataan solidaritas dari peserta lintas iman, termasuk Pak Kusbini yang menyampaikan duka atas wafatnya Paus dan harapan atas pemilihan Paus Leo. “Kita mungkin tidak seiman, tapi kita sejalan dalam perjuangan kemanusiaan,” ujarnya mantap.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa suara perempuan dari akar rumput adalah kunci untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Nilai Metafora Pada Puisi “ Hujan Deras di Waktu Senja”
