Rilis
Mengawal Keterbukaan Informasi Publik untuk Jogja Berbudaya
Published
7 years agoon
By
Mitra WacanaTempat : Kartika Indah Swara
Host : Okti Purbandari
Hari/Tanggal : Senin, 19 Februari 2018
Pukul : 11.00-12.00 WIB
Narasumber : Hazwan Iskandar Jaya
Insatnsi : Komisi Informasi Daerah D.I.Yogyakarta
Lahirnya Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik tahun 2008 dilatarbelakangi pasca reformasi bahwa pemerintahan diharapkan bisa berjalan sesuai harapan masyarakat. Keterbukaan merupakan salah satu unsur demokrasi yang mana prinsip-prinsip transparansi harus dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia, terutama lembaga Negara. Untuk mencapai pemerintahan yang bersih dan baik, maka prinsip transparansi menjadi kebutuhan utama karena masyarakat berpartisipasi tentang bagaimana kebijakan publik akan diambil, bagaimana pelaksanaan dijalankan dan bagaimana akuntabilitasnya juga disampaikan kepada masyarakat sebagai pemberi mandat untuk menjalankan roda pemerintahan. Jika dilihat pada masa Orde Baru, banyak informasi yang dirahasiakan sehingga banyak terjadi pemberedelan media. Masyarakat kurang melihat bagaimana pemerintahan menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan publik. Sekarang ini kita sudah melihat bahwa informasi yang sudah terbuka ditambah dengan teknologi informasi yang mudah di era digital menjadi keniscayaan informasi itu sudah harus dibuka sejelas-jelasnya kepada masyarakat.
Bahwa kebijakan yang diambil pemerintah, bagaimana menjalankannya dan bagaimana akuntabilitas menjadi pertanggungjawaban yang harus dilakukan pemerintah, maka UU Keterbukaan Informasi akan menjamin hal tersebut. Masyarakat juga bisa apabila ingin berpartisipasi dan ingin mengetahui apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketika keterbukaan ini sudah dibuka maka kran informasi ini akan terus mengalir kepada masyarakat. Hak akses masyarakat sudah dijamin melalui UU Keterbukaan Informasi Publik ini. Namun apabila masyarakat masih merasa dihambat akses informasinya, maka UU ini akan mengamanatkan kepada Komisi Informasi baik pusat maupun daerah untuk bisa menyelesaikan sengketanya. Jadi ketika masyarakat dihambat informasinya maka bisa mengadukan melalui Komisi Informasi untuk diselesaikan, apakah informasi yang diminta adalah informasi yang terbuka ataukah informasi yang dikecualikan sesuai dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik.
Komisi Informasi ini memiliki 2 tugas yakni: mengawal implementasi keterbukaan informasi publik yang dijalankan oleh badan publik baik di pemerintah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dan juga menyelesaikan sengketa informasinya. Selain badan publik tersebut, Komisi Informasi juga menangani pengaduan keterbukaan informasi untuk lembaga Negara lainnya seperti BUMN, bahkan juga LSM dan partai politik. Dalam mengawal UU terkait dengan standar pelayanan publik hal yang bisa diakses adalah semua infromasi yang disediakan dan diumumkan secara berkala maupun serta-merta kecuali yang dirahasiakan. Mislanya terkait dengan profil lembaga, bagaimana strukturnya, tugas pokok dan fungsi suatu lembaga, juga program kerja dan kebijakan yang diambil lembaga dalam menjalankan tugasnya serta anggaran yang sudah diaudit oleh auditor yang berwenang.
Transparansi ini tidak sekedar diatas kertas, namun Komisi Informasi berusaha mendorong budaya keterbukaan informasi publik. Harus ada perubahan paradigma dari badan publik dan masyarakat yang dilakukan secara perlahan dari informasi yang tertutup pada jaman Orde Baru menuju jaman Reformasi. Apabila ada masyarakat yang meminta informasi di tingkatan desa sering dilabeli sebagai orang yang rewel, sehingga ini tidak mudah mengubah kondisi dan masyarakat menjadi enggan serta adanya budaya “ewuh-pekewuh” karena tetangganya yang menjadi pejabat publik. Budaya ini harus perlahan-lahan dirubah menjadi budaya keterbukaan, bahwa hal demikian bukanlah ancaman bagi pejabat publik atau penyelenggara Negara untuk bisa membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Ketika informasi tentang kebijakan dan bagaimana menjalankannya tersebut diketahui oleh masyarakat maka partisipasi publik akan didapatkan karena sudah adanya kepercayaan. UU Keterbukaan Informasi ini adalah salah satu kran dari demokratisasi yang dituliskan dalam UUD 1945 Pasal 28 yang menyatakan Hak Asasi Manusia dan Keterbukaan Informasi Publik.
Ada 3 kategori informasi yakni; harus diumumkan secara berkala, diumumkan secara serta merta dan informasi yang wajib tersedia setiap saat. Semua badan publik berkewajiban menyampaikan informasi lembaganya secara berkala minimal 6 bulan yang selalu diperbaharui dengan jangka maksimal 1 tahun. Hal ini dikarenakan dalam lembaga pemerintahan sering terjadi reposisi dan mutasi sehingga masyarakat bisa tahu bagaimana struktur kelembagaannya. Apabila diumumkan secara serta merta, misalnya jika terjadi bencana atau wabah yang perlu diketahui oleh publik secara serta merta pada saat itu juga sehingga masyarakat bisa mengantisipasi sejak dini. Informasi yang harus tersedia setiap saat, misalnya keputusan-keputusan bidang publik, peraturan atau regulasi yang melingkupi tugas pokok dan fungsi lembaga yang harusnya memberikan informasi tersebut.
Terkait dengan reklamasi siapakah yang berhak memberikan informasi publik? Reklamasi berkaitan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan. Dalam UU Keterbukaan Infromasi Publik pemerintah daerah berkewajiban membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang bertugas memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah. Di tingkat pemerintah daerah disebut dengan PPID Utama, sedangkan di tingkat kedinasan atau lembaga/ badan disebut dengan PPID Pembantu. Masing-masing dinas memiliki PPID sendiri yang terkait dengan bagaimana mengoperasionalisasikan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh kedinasan. Sementara untuk pemerintah daerah, ada kebijakan-kebijakan yang sifatnya lebih strategis untuk diinformasikan kepada masyarakat bagaimana kebijakan itu diambil, apa saja yang harus dijalankan dan dikerjakan sehingga masyarakat mengetahui bagaimana prosesnya berjalan dan bisa mengontrol secara langsung berapa anggarannya, dan lain sebagainya. Masyarakat sudah bisa mengakses itu semua, dan apakah tepat dalam penggunaannya, spesifikasi dan lainnya yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Apakah ada penyimpangan ataupun tidak bisa dikontrol oleh masyarakat.
Sebelum era reformasi, semua informasi bersifat tertutup kecuali yang dibuka. Namun sekarang ini kondisinya berbanding terbalik dengan keterbukaan semua informasi, kecuali informasi yang memang dikecualikan. Terkait informasi yang dikecualikan pada saat ini menurut Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik adalah infomasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum, informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada masyarakat dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha yang tidak sehat, informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada masyarakat dapat membahayakan pertahanan dan keamanan Negara, informasi yang apabila dibuka dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia, informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada masyarakat dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional, informasi publik yang dapat merugikan hubungan luar negeri, informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkap isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir atau wasiat seseorang, informasi yang apabila dibuka dapat mengungkap rahasia pribadi, informasi yang tidak bisa diungkap ke publik karena berbenturan dengan UU lain (misal, UU Kedokteran, UU Ketahanan, UU Perpajakan, dll). Apabila badan publik ingin merahasiakan atau mengecualikan suatu informasi publik maka harus melakukan uji konsekuensi atau uji kepentingan. Apakah kalau informasi itu dibuka akan merugikan kepentingan umum atau sebaliknya.
Fungsi dari Komisi Informasi Daerah salah satunya adalah melakukan monitoring dan evaluasi badan publik. Diantara badan publik yang diawasi adalah PPID Utama (Pemda DIY), PPID Pemda Kabupaten dan Kota, kedinasan baik di propinsi maupun kabupaten, Partai Politik, instansi vertikal yang ketugasan dan wewenangnya berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penilaian yang diberikan mulai tahun 2014-2017, skor menunjukkan kenaikan di angka 60%. Namun masih ada beberapa badan publik yang memiliki skor di bawah 50%. Ini menjadi PR bagi pemerintah daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota untuk mendorong badan publik di wilayah kerjanya masing-masing untuk bisa mengaplikasikan UU Keterbukaan Informasi Publik. Komisi Informasi Daerah mendorong pelayanan informasi yang baik, ada desk pelayanan yang memadai agar masyarakat bisa mengakses infromasi, adanya form isian yang bisa dimintakan setiap orang atau pemohon informasi untuk bisa mengakses informasi yang dibutuhkan. Komisi Informasi Daerah juga sudah bekerja sama dengan Pemerintah Daerah di DIY dan kabupaten/ kota. Sekarang pemerintah daerah di Kabupaten Sleman dan Bantul sudah melakukan monitoring keterbukaan informasi publik secara mandiri. Komisi Informasi Daerah juga melakukan pendampingan dan penyampaian evaluasi agar bisa meningkatkan kualitas kerja.
Struktur Komisi Informasi berada di tingkatan pusat, propinsi dan kabupaten atau kota. Apabila di tingkatan kabupaten belum terbentuk, maka fungsi dan tugasnya bisa diambil wewenangnya oleh Komisi Informasi di tingkatan propinsi. Penyelesaiaan kasus di tingkatan DIY diantaranya adalah aduan sengketa terkait pertanahan yang mana badan publik termohonnya adalah desa, sedangkan pemohonnya adalah penduduk di desa tersebut. Hal yang menarik adalah pemohon informasi ini memang betul-betul menginginkan informasi tersebut. Seperti kasus yang pernah ditemui oleh Komisi Informasi Daerah terkait dengan sengketa tanah yang dimiliki oleh keluarga generasi ke-4. Keluarga tersebut meminta keterangan kepada pihak desa. Namun karena sudah terlalu lama dan jarak yang cukup panjang, akhirnya pemerintah desa tidak berani/ ragu mengeluarkan surat keterangan tersebut.
Maka langkah yang diambil oleh Komisi Informasi Daerah untuk menyelesaikan kasus tersebut adalah melalui 2 cara, yakni mediasi dan ajudikasi non litigasi. Apabila mediasi sudah mencapai kesepakatan dengan dibukanya informasi tersebut maka perlu diperbaiki surat-surat yang dimiliki oleh pemohon. Ketika mediasi sudah bisa selesai maka putusan mediasi sudah bisa diberikan. Sifat putusan ini mengikat kedua belah pihak, yakni pemohon dan termohon. Setelah mediasi ini tidak ada putusan hukum lain seperti banding karena mediasi ini bersifat akhir. Apabila melalui mediasi gagal, maka Majelis Komisioner yang akan memutuskan apakah informasi yang diminta terbuka dan dokumentasinya bisa diberikan ataukah informasi tersebut terbuka sebagian dengan beberapa dokumen yang bisa diberikan, dan itu menjadi ranah Komisi Informasi yang berhak menyelesaikannya melalui sengketa informasi yang disebut dengan ajudikasi non litigasi. Beberapa sengketa informasi yang masuk ke dalam aduan Komisi Informasi selain terkait dengan pertanahan, juga terkait dengan bandara Kulon Progo yang sedang dibangun, informasi pertanahan yang diminta oleh BPN.
Pada tahun 2018, kasus sengketa pertanahan yang ditangani oleh Komisi Informasi Daerah sudah ada 4, dimana 3 kasus sengketa tanah di desa dan 1 sengketa tanah bandara. Terkait dengan kasus bandara, pemohon meminta informasi terkait anggaran yang dikucurkan untuk ganti untung. Tetapi karena badan publiknya menjadi wewenang nasional maka Komisi Informasi Daerah melakukan putusan sela karena bukan kewenangannya.
Dalam fungsinya sebagai lembaga pengaduan, prosedur yang harus dilakukan pemohon untuk mendapatkan informasi dari Komisi Informasi Dearah adalah pemohon informasi mengajukan kepada badan publik, dan apabila tidak puas dengan jawaban maka ada rentang waktu sebelum mengajukan pengaduan ke Komisi Informasi Daerah. Ketika pemohon berkorespondensi kepada badan publik maka diberikan waktu 10 hari kerja untuk badan publik memberikan tanggapan kepada pemohon. Apabila dalam 10 hari masih kurang, maka ada perpanjangan waktu selama 7 hari kepada badan publik untuk memberikan tanggapan. Namun selama rentang 3 hari tersebut diberikan informasi kepada pemohon bahwa informasi yang dimintakan sedang dicari. Apabila informasi yang dimohonkan tersebut sudah ditanggapi tetapi pemohon tidak puas, maka bisa mengajukan surat keberatan kepada PPID yang menjadi atasan badan publik termohon. Untuk menjawab keberatan, diberikan waktu 30 hari kerja kepada PPID untuk bisa memberikan tanggapan balik atas keberatan. Apabila dalam waktu 30 hari tidak dijawab maka ada waktu 14 hari bagi pemohon informasi untuk mengadu kepada Komisi Infromasi Daerah. Namun apabila PPID sudah memberikan tanggapan dan pemohon belum puas, maka bisa langsung mendaftarkan sengketa pengaduannya kepada Komisi Informasi Daerah. Ada waktu 14 hari bagi pemohon untuk melakukan pendaftaran tersebut. Apabila sudah melampaui 14 hari, maka dianggap kadaluarsa. Seluruh sengketa aduan di Komisi Informasi Daerah akan diselesaikan maksimal dalam waktu 100 hari kerja.
Proses penanganan sengketa aduan I Komisi Informasi Daerah dimulai dengan pemeriksaan kasus awal, legal standing, pemohon dan termohon, serta jangka waktu. Apabila semua sudah terpenuhi maka akan dilakukan mediasi dengan penunjukan mediator dari komisioner untuk bisa menangani proses mediasinya. Proses mediasi ini berjangka waktu, setelah melalui mediasi maka dilanjutkan dengan ajudikasi non litigasi. Apabila mediasi sudah selesai, maka ajudikasi non litigasi hanya dilakukan putusan kasus saja. Ajudikasi non litigasi sendiri yakni penyelesaian sengketa secara peradilan di luar pengadilan yang putusannya setara dengan pengadilan. Oleh karena itu, putusan dari ajudikasi non litigasi ini juga bisa dilakukan banding ke PTUN dengan termohon badan publik Negara. Apabila termohonnya bukan badan publik Negara maka banding bisa dilakukan di PN.
Penyediaan informasi menjadi kewajiban setiap penyelenggara Negara dimanapun tingkatannya. Dengan adanya pergeseran perkembangan teknologi maka penyediaan informasi publik juga beralih sistem berbasis daring. Menurut UU juga sudah disebutkan bahwa disamping menyediakan dokumen secara konvensional juga disorong untuk bisa memberikan informasi secara langsung melalui internet, sehingga lebih murah, efektif, mudah, cepat dan informasi yang dibutuhkan bisa diunduh secara langsung. Prinsip tersebut sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Selama ini independensi dari Komisi Informasi Daerah banyak yang mempertanyakan karena anggapan bahwa pembiayaan Komisi tersebut berasal dari APBD. Namun dengan pengangkatan tugas yang melalui seleksi ketat dan amanah dari masyarakat, maka dalam menjalankan tugasnya komisi ini dituntut untuk transparan dan tidak memihak. Selain itu, tuntutan independensi ini juga sudah diatur dalam UU hingga Peraturan Komisi Informasi yang mensyaratkan untuk tetap independen, terutama terkait dengan penyelesaian sengketa. Dalam Komisi Informasi ini juga dibentuk Majelis Komisioner yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa informasi di Komisi Informasi. Siapapun tidak boleh mengintervensi lembaga ini bilamana Majelis Komisioner ini sedang melaksanakan tugasnya. Disinilah letak kemandirian dan independensinya. Majelis Komisioner sendiri terdiri dari 3 orang yakni; ketua majlis dan 2 anggota, juga 1 orang mediator untuk menangani mediasinya.
*Disarikan dari talkshow radio
Berita
Coaching Local Fundrising (LFR) Mitra Wacana
Published
2 months agoon
24 September 2024By
Mitra Wacana
Mitra Wacana mengadakan Coaching Local Fundrising (LFR) bersama Karel Tuhehay fasilitator Yayasan Satunama pada Selasa (24/9/24) pukul 10.00 s/d 12.00 WIB di Mitra Wacana.
Acara ini berkaitan dengan tindak lanjut pelatihan di Yayasan Satunama pada Maret 2024 yang lalu tentang Local Fundrising (LFR).