Opini
Mengelola Emosi di Masa Pandemi

Published
5 years agoon
By
Mitra Wacana
Di masa wabah ini, saya tahu saya mungkin bersikap tidak adil pada sebagian orang karena seolah melarang mereka menyimpan secercah harapan di tengah realitas yang menyesakkan. Sungguh maksud saya bukan demikian. Saya hanya berharap lebih banyak orang tidak berusaha menghindari emosi yang dipandang negatif seperti ketakutan, kepanikan, kecemasan.
Setiap emosi punya dua sisi. Semua emosi bisa menjadi negatif maupun positif. Emosi yang dianggap positif seperti cinta pun bisa menjadi negatif ketika berlebihan dan menjadi obsesi yang tidak berpijak pada realitas. Pernah jadi sasaran obsesi seperti ini? Saya pernah. Dan sungguh, bagi si penerima, emosi macam itu tidak ada positif-positifnya. Optmisime berlebihan juga demikian. Ia dapat membuat kita lengah dan mengendurkan upaya di saat perjuangan belum berhasil, perjalanan belum usai.
Pada masa wabah ini rasa cemas dan takut mungkin akan menjadi teman kita dalam jangka cukup panjang. Vaksin tak akan ditemukan dalam beberapa hari ke depan. Kematian demi kematian akan menjadi kabar rutin bagi kita selama beberapa waktu. Resesi ekonomi akan terjadi di seluruh dunia apapun langkah yang diambil pemerintah dan lembaga kesehatan dunia. Entah itu lockdown, PSBB, social distancing, apa pun.
Kita akan menghadapi hari-hari penuh ketidakpastian dan penuh berita kematian seperti ini bukan hanya dalam hitungan minggu. Bahkan mungkin bukan hanya bulan.
Pesimis? Tidak. Ini realistis. Karena itu, wajar bila banyak orang terlanda kepanikan, ketakutan, kesedihan dalam kadar yang jauh lebih tinggi daripada normal. Jauh di atas ambang batas yang dapat mereka toleransi biasanya.
Namun, sebagai mantan penderita gangguan emosi yang suicidal, izinkan saya berbagi pemahaman yang saya peroleh susah payah: Emosi itu cuma seperti lampu indikator yang boleh diabaikan. Kadang, lampu itu menyala sekadar akibat instalasi yang keliru. Emosi tak selalu merepresentasikan realitas. Ia bukan titah yang harus selalu dipatuhi. Ia hanya pemberi pesan. Andalah penentu tindak lanjutnya.
Di sisi lain, emosi adalah sumber motivasi atau pendorong tindakan. Emosi kuat yang dilandasi realitas seharusnya bukan dihindari, tapi dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Rasa takut misalnya, tidak buruk dalam dirinya sendiri. Bila dimanfaatkan dengan baik, ia bisa menjadi motivasi sangat kuat untuk menghindari hal-hal yang bisa berbahaya, semisal keluar rumah selama wabah.
Dalam diri saya emosi takut ini nampaknya melandasi ketertarikan semi obsesif pada berbagai artikel tentang covid-19, termasuk data-data rumit penuh angka dan tabel. Saya bahkan termotivasi untuk belajar tentang istilah teknis kesehatan yang biasanya saya skip begitu saja.
See, emosi seperti takut pun bisa menjadi peluang untuk belajar dan bertumbuh. Kita hanya harus bisa mengendalikannya. Kendalikan dan arahkan emosi, jangan sampai terlindas olehnya. Bagaimana caranya? Sebagian sudah pernah saya singgung di tulisan lain.
Satu tips tambahan: bila emosi kuat sedang melanda, cari pereda sementara. Redakan dulu gejala fisik yang mengganggu seperti detakan keras jantung dan napas yang memburu dengan teknik pernapasan, meditasi, atau zikir. Alihkan perhatian pada sesuatu yang menyenangkan seperti menonton film atau memasak bersama keluarga.
Namun setelah intensitas emosi turun, jangan tolak atau sangkal realitas. Berlatihlah kembali menatap informasi dan data. Terimalah rasa cemas dan takut sebagai suatu kewajaran dan manfaatkan emosi-emosi itu. Iya. Manfaatkan. Emosi-emosi ini bisa sangat berguna.
Bukankah rasa cemas yang menggerakkan orang-orang untuk membuat berbagai aksi sosial di tengah wabah ini? Tentu empati berperan di situ, tapi empati adalah kemampuan merasakan emosi orang lain, termasuk emosi cemas, sedih dan takut karena wabah ini. Merasakan emosi negatif orang lain membuat kita mengambil langkah-langkah yang bernilai positif karena bermanfaat bagi banyak orang.
Tapi bagaimana kalau berlebihan hingga mengganggu fungsi mental normal? Ya kembali lagi ke kata kunci: kendalikan. Bila Anda belum sanggup melakukannya sendiri, anda bisa meminta bantuan. Entah itu dari orang-orang tercinta, sahabat terpercaya, atau konselor profesional.
Yang saya minta cuma satu: jangan sekali-kali menghindari rasa takut, panik, cemas, dengan cara mengaburkan atau bahkan menolak kenyataan. Terlalu menekankan banyaknya pasien yang sembuh atau berbagai “keberhasilan” penanganan covid-19 di luar segala bolong yang seharusnya masih bisa ditambal, berpotensi melonggarkan kewaspadaan. Di masa pandemi, bila ini Anda lakukan, Anda berisiko membahayakan bukan hanya diri Anda, tapi banyak orang.
Sulit? Iya memang. Tapi jangan khawatir. Tubuh kita luar biasa. Ada mekanisme stres yang dapat menurunkan imunitas bila dibiarkan berlarut-larut, tapi ada pula mekanisme agar stres itu memotivasi kita mencari solusi, mengulurkan tangan pada orang lain, merekatkan hubungan, menguatkan ketahanan mental. Ada adrenalin, tapi ada juga oxytocin.
Wabah ini membuat kita tidak bisa pergi jauh dari rumah, jadi ini waktu yang sangat tepat untuk memulai perjalanan yang paling penting: perjalanan ke dalam diri sendiri.
Opini ini juga diterbitkan di: https://neswa.id/artikel/mengelola-emosi-di-masa-pandemi/
You may like
Opini
Perempuan 24 Jam, Kisah Seorang Istri dalam The Great Indian Kitchen

Published
6 days agoon
14 April 2025By
Mitra Wacana
Pesta telah usai. Musik berhenti. Tawa dan ucapan selamat menguap bersama bunga-bunga yang mulai layu di atas meja. Akan tetapi ada cerita lain di tengah kemeriahan resepsi pernikahan, hidup seorang perempuan justru baru saja dimulai. Bukan dari kamar tidur atau ruang keluarga, tetapi dari dapur.
Dapur, Awal Penjara Domestik?
Dalam film The Great Indian Kitchen, pagi pertama setelah menjadi istri bukan tentang bahagianya bulan madu atau merencanakan masa depan, melainkan dihadapkan dengan rutinitas tanpa henti. Dimulai bangun tidur dilanjutkan memasak, menyuguhkan teh, mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur, menyiapkan peralatan ibadah, bahkan mengulurkan sikat gigi untuk mertuanya. Semua itu berulang setiap hari, tanpa jeda.
Oiya, film ini dirilis di platform Neestream pada 15 Januari 2021. Film tersebut mendapatkan pujian dan meraih sejumlah penghargaan dalam Kerala State Film Award, termasuk Film Terbaik, Skenario Terbaik untuk Jeo Baby, dan Penata Suara Terbaik untuk Tony Babu.
Sang sutradara, Jeo Baby, tidak menambahkan bumbu musik dramatis atau dialog untuk menggugah emosi penonton. Justru melalui keheningan dan repetisi itulah kita bisa merasakan. “Wah tentu hal ini bukan pekerjaan rumah. Suatu rutinitas yang menjelma menjadi penjara bagi perempuan.”
Repetisi dan Tubuh Perempuan yang Kelelahan
Saya menonton sambil gemas campur jengkel. Bukan karena ada adegan kekerasan. Tapi karena tidak ada ruang bernapas, tidak ada jeda sama sekali. Bahkan saat malam hari, ketika kondisi fisik si istri sudah sempoyongan nyaris roboh, ia tetap harus “melayani” suaminya. Tidak ada ruang untuk berkata, “Aku capek.” Bahkan tidak ada kesempatan untuk berkeluh kesah pada suami.
Lebih miris lagi ketika ada adegan istri sedang menjalani siklus biologis menstruasi, yang semestinya bisa menjadi ruang untuk sekedar menghela napas dan istirahat, justru diasingkan. Dianggap kotor dan najis. Tidak layak menyentuh dapur, tidak layak menyentuh siapa pun.
Hemat saya, setiap adegan dalam film ini terasa menyakitkan karena terlalu nyata. Terlalu akrab, terlalu dekat dengan kehidupan banyak perempuan yang saya jumpai setiap hari. Boleh jadi termasuk perempuan di rumahmu, yang kau panggil ibu atau bahkan istri.
Saya bertanya-tanya, seberapa sering kita, para laki-laki, benar-benar memahami beban domestik? Maksud saya bahwa “mengurus rumah” itu sungguh melelahkan. Karena, melipat baju bukan sekedar menumpuk kain jadi rapi. Tapi tentang mengulang-ulang rutinitas yang orang anggap remeh. Karena dapur bukan cuma tentang memproses dan menghidangkan makanan, tapi bisa jadi ruang terkecil yang mengurung “tubuh dan waktu” seorang perempuan.
Dan, ketika perempuan mulai bicara tentang ingin istirahat, ingin waktu untuk diri sendiri, atau tidak ingin hanya jadi “pelayan keluarga”, kenapa ada sebagian dari kita tersinggung? Atau merasa diserang? Padahal, mungkin saja kita belum pernah bertanya kepada istri, “Apa kamu lelah? Kamu bahagia? Atau apa kamu pengen dibantu…,?”
Guyonan “waktu 24 jam itu kurang” yang sering kita dengar dari para perempuan ternyata bukan lelucon belaka. Agaknya lebih pas jika disebut sebagai jeritan yang dibungkus tawa agar tidak dianggap mengeluh. Karena sejak kecil, perempuan diminta (didoktrin) untuk melayani. Harus tahan banting, dipaksa tetap diam meskipun remuk.
Maka ketika tiba waktunya menikah, banyak dari mereka langsung “aktif mode otomatisnya”. Bersikap lembut, menyambut suami sepulang aktivitas, nyiapin kopi, memasak, mengurus anak, menyetrika baju, menemani suami, bahkan mematikan lampu sebelum tidur. Semuanya dikerjakan seolah-olah sebagai kewajiban kodrati. Bagaimana jika nggak bisa? Rasa bersalah langsung datang tanpa diundang.
Mulai dari Berbagi Beban
Ironisnya, saat perempuan mulai memiliki kesempatan di ruang publik seperti sekolah, bekerja, aktif di komunitas, pekerjaan rumah tidak otomatis berubah menjadi tanggung jawab bersama. Mereka harus menjalani dua shift; pagi-siang di luar rumah, malam di dalam rumah. Tanpa gaji, tanpa tunjangan, bahkan tanpa ucapan terima kasih.
Bagaimana dengan laki-laki? Saat ada yang mulai terjun ke dapur untuk memasak, atau menyapu, menjemur pakaian, dan mencuci terkadang malah dianggap “kurang jantan”. Seolah pekerjaan rumah tangga seperti sebagai ancaman buat maskulinitas.
Padahal, sejujurnya kita sama-sama terjebak. Perempuan sedang memendam kelelahan sedangkan laki-laki juga dikurung oleh stereotip dominasi. Tapi anehnya, hanya perempuan yang terus diminta untuk kuat, sabar, dan tidak mengeluh.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi mengajak setiap orang untuk bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman laki-laki, atau siapa pun yang ingin (atau sedang) membangun rumah tangga. “Apakah kamu sudah siap untuk berbagi beban?”
Hemat penulis, cinta bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji hidup bahagia. Namun, tentang keberanian mengambil peran kepada orang yang dicintai, dan dengan ringan mengucapkan, “Sini aku yang mengerjakan, supaya kamu bisa istirahat.”
Kesadaran Baru Bisa Dimulai dari Dapur
Perubahan tidak harus menunggu revolusi. Kadang cukup dari satu piring yang dicuci bersama. Satu sapu yang dipegang tanpa disuruh. Satu kalimat kecil yang keluar dari mulut laki-laki secara sadar, “Sudah sana kamu istirahat, biar aku yang beresin.”
Sebab mungkin, kemerdekaan pertama yang bisa dirasakan perempuan dalam rumah tangga adalah saat tubuhnya tidak lagi dianggap mesin. Saat secara sadar mendapatkan ruang untuk jadi manusia biasa, yang bisa lelah, bisa istirahat, dan boleh berkata, “Hari ini aku ingin diam saja.”
Dan buat para laki-laki, mari jujur. Mungkin yang bikin kamu ngerasa “terancam” itu bukan karena pekerjaan rumahnya, tapi karena kamu belum pernah benar-benar ikut hidup bareng, cuma numpang dilayani. Jadi, sudahkah kamu hari ini bantu cuci piring? Kalau belum, ya… Semoga kamu bukan bagian dari masalah.
Wahyu Tanoto
Pengurus Perkumpulan Mitra Wacana