Opini
Pengalaman yang Tak Bisa Kulupakan

Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana
Nur Chotijah (Anggota P3A Women Care)
Dulu pada waktu hari Jum’at 17 Oktober 2014 sekelompok perempuan di desa Karangjati P3A ( Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak ) yaitu WOMAN CARE (WOCA) . Di awal-awal jujur aku merasa bahwa perkumpulan aku merasa capek dan menghabiskan waktu.
Berangkat dari jam 9 pagi pulang jam 3 sore. Yang aku kagumi kok ya ada jam istirahat dan makan siang. Terus pulang juga di kasih transport dalam hatiku bertanya-tanya dana dari mana. Padahal dana itu begitu banyaknyang di keluarkan . waktu demi waktu aku jalani aku juga dapat dukungan dari anak . aku jalani dengan ikhlas aku juga merasa senang. Bila kenal sama orang-orang pintar dan berpendidikan . apa lagi pernah juga kenal sama orang asing dari AWO Internasional. Kalau gak salah materi pertama :
Mengenal dampak kekerasan aku belajar bersama di Mitra Wacana WRC, aku jadi tau dan mengerti kekerasan itu apa. Ternyata kekerasan itu ada lima (5) jenis; Kekerasan fisik, Kekerasan psikis, Kekerasan ekonomi, Kekerasan sosial, Kekerasan seksual.
Selama aku belajar di Mitra wacanaW RC tentang kekerasan, ternyata aku sendiri dulu juga mengalami kekerasan, yaitu kekerasan psikis dari suami . Dulu waktu belum tau apa itu kekerasan. Aku juga terima karena aku belum tau apa itu kekerasan. Aku juga terima karena aku anggap itu suatu bunga kehidupan rumah tangga. Aku belajar dari Mitra Wacana, WRC : banyak banget materi yang di berikan.
Materi tentang korban kekerasan, pendampingan kasus , mengenal dampak kekerasan , menggali permasalahan, management kasus, Pencatat kasus konselor- konseling masih banyak materi yag di berikan Mitra Wacana, WRC dan sangatlah penting, aku jadi tahu apa itu kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi.
Semua ilmu yang sudah di berikan dari Mitra Wacana,WRC aku belajar dan aku terapkan pada diri sendiri dan buat anak-anak dan keluarga. Selama ini aku belajar di Mitra Wacana, WRC bersama-sama teman aku sangatlah senang dan pengalaman jadi tambah dan banyak teman.
Setelah belajar bersama di Mitra Wacana WRC banyak ilmu yang aku sedikit tau. Tapi belum bisa menyampaikan ke forum. Tapi aku kan selalu belajar dan belajar. Semoga semua ilmu aku bisa bagaimana cara menyampaikan kepada orang banyak. Semoga kedepan nya kan lebih baik. Terimakasih Mitra Wacana WRC.
Opini
Catatan dari IGD: Anak Itu Pergi Setelah Disapa Sungai

Published
1 hour agoon
14 July 2025By
Mitra Wacana
Oleh : Ferdi Ardian Saputra mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas
Hari itu aku datang ke kampus Universitas Andalas dengan satu tujuan: latihan teater. Kami tengah bersiap untuk sebuah pertunjukan yang akan digelar bulan Juli mendatang. Latihan berjalan seperti biasa di salah satu sudut kampus yang ramai. Tapi suasana mendadak berubah ketika seorang anggota kelompok teater lain tiba-tiba jatuh pingsan.
Perempuan itu kira-kira setinggi bahuku—dan tinggi badanku 175 sentimeter. Ia mengenakan rok hitam, atasan bergaris biru-putih, dan jilbab hitam. Sekelompok teman perempuan dan beberapa senior laki-laki segera mengerubunginya. Bersama salah satu temannya, aku membawanya ke IGD Rumah Sakit Universitas Andalas.
Namun catatan ini bukan tentang dia, bukan tentang Intan—nama perempuan itu—melainkan tentang seseorang yang kutemui secara tak terduga di ruang gawat darurat itu. Seorang anak laki-laki, mungkin seusia murid kelas enam sekolah dasar, terbaring di atas kasur besi, tepat di zona merah—”redline”—ruang rawat bagi pasien paling kritis.
Tubuhnya kecil dan pucat, nyaris tak bergerak. Di sekelilingnya berdiri keluarga—ibu, nenek, sanak saudara. Wajah mereka penuh kecemasan, gelisah, dan mungkin sudah setengah pasrah. Saat itu, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan. Ia mengenakan jas putih khas dokter, masker biru, jilbab putih, dan kemeja biru muda yang mengintip dari balik jasnya.
Dengan suara lembut namun serius, ia berbicara kepada ibu anak itu.
“Bu, kami minta izin untuk menangani anak Ibu. Kalau diizinkan, apa pun yang terjadi, Ibu harus ikhlas ya.”
Seketika, dunia seakan diam. Sang ibu menunduk, menahan tangis, lalu mengangguk. Hanya itu. Isyarat kecil yang membawa beban besar: menyerahkan nasib anaknya sepenuhnya pada tangan-tangan medis.
Aku berdiri agak jauh, hanya bisa menyaksikan. Tapi rasa penasaran mendorongku bertanya pada seorang nenek yang duduk tak jauh dariku. Ia ternyata nenek dari si anak. Dengan suara pelan, ia mulai bercerita.
“Anak ko pai main ka Batu Busuk patang jo kawan-kawannyo, pulang dari sinan langsung lameh… ternyata nyo tasapo dek mandi-mandi di sinan.”
Tersapa. Dalam kepercayaan masyarakat sekitar, “tersapa” berarti terkena gangguan halus—dalam hal ini, saat bermain di kawasan Batu Busuk. Bukannya langsung dibawa ke rumah sakit, sang anak justru dibawa ke seorang medium kampung. Upaya tradisional itu berlangsung berhari-hari, hingga minggu ketiga. Saat kondisinya makin menurun, barulah ia dilarikan ke rumah sakit.
Waktu terus berjalan. Suasana IGD penuh dengan ketegangan tak bersuara. Tiba-tiba, dokter yang tadi keluar lagi dari balik pintu. Kali ini ia tak membawa harapan.
“Maaf, Bu… kami sudah mencoba. Kami mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan anak Ibu.”
Sejurus kemudian, rumah sakit seperti runtuh oleh tangisan. Ibu itu meraung. Keluarga menjerit. Para petugas medis hanya bisa berdiri—mereka sudah terbiasa, tapi tak pernah benar-benar kebal terhadap duka yang berulang.
Di pojok ruangan, aku berdiri mematung. Baru saja tadi aku datang untuk latihan teater. Tapi di rumah sakit itu, aku menyaksikan panggung yang jauh lebih nyata—tentang kehilangan, pasrah, dan seorang anak kecil yang berpulang setelah “disapa” oleh sesuatu yang tak kasatmata.
Satu hal yang membuat aku tersendu, ketika kakak anak ini berkata “Maaf dek, ini salah kakak, kakak yang tidak melarang kamu untuk kesana”.