web analytics
Connect with us

Opini

Perbincangan Hubungan Seksual

Published

on

Oleh: Wahyu Tanoto
Perbincangan Hubungan Seksual (HUS) antara istri dan suami idealnya bisa dilakukan dengan terbuka. Namun sayangnya masih saja ada sebagian laki-laki (suami) dan perempuan (istri) merasa malu atau bahkan sungkan untuk membahas hubungan seks.

Berdasarkan pengalaman penulis ketika menjadi pemandu forum-forum diskusi di berbagai tempat yang mengulas isu kesetaraan gender, Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) serta hak kesehatan seksual reproduksi (HKSR), terungkap masih ada perempuan menikah yang justru mendapatkan doktrin “haram” membicarakan hubungan seks yang dikehendaki kepada suaminya, atau merasa tidak bebas mengutarakan pendapat meskipun memiliki keinginan kuat.

Penulis berpendapat bahwa saat ini perbincangan mengenai hubungan seks belum menjadi budaya atau masih tabu meskipun dalam era digital, daring dan millenial seperti sekarang ini sebagian besar orang sudah terpapar tampilan-tampilan yang berkaitan dengan seksualitas melalui internet, terutama di media sosial dan aplikasi perpesanan.

Tabu dalam hal ini karena segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas merupakan tampilan yang dianggap sensitif karena berkaitan erat dengan pengalaman pribadi seseorang atau bahkan karena alasan moral. Namun, di sisi yang lain, perbincangan hubungan seks juga dapat membuat seseorang merasa penasaran karena mengandung gairah dan menggoda.

Dampak yang paling terasa jika perbincangan tentang hubungan seks dianggap tabu, maka persoalan seks (baca: pendidikan seks) akan jarang atau bahkan tidak pernah menjadi topik yang dibahas secara mendalam, komprehensif dan terbuka, baik di ranah keluarga (domestik) maupun umum (publik).

Menurut pandangan penulis, ada yang menjadi latar belakang mengapa hubungan seks masih tabu untuk dibicarakan oleh istri – suami.

Pertama, masih ada anggapan yang menyebut bahwa laki-laki adalah figur yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan (patriarki), termasuk urusan hubungan seks. HUS juga dianggap sebagai kewenangan laki-laki. Efeknya, dalam kondisi apa pun, perempuan dituntut untuk bisa melayani hasrat laki-laki.

Bahkan, dalam kasus tertentu, ada sebagian laki-laki yang menggunakan teks ajaran kitab (baca hadis) ketika mengajak berhubungan seks istrinya. Dari sinilah perempuan akhirnya kerap kali dianggap sebagai objek atau pemuas hasrat. Akibatnya, jika suami “memaksa” berhubungan seks terhadap istri terkadang dianggap wajar, atau bahkan lumrah.

Memang benar ada hadis yang menguraikan “ancaman” bagi istri jika menolak ajakan suami berhubungan seks. Istri akan mendapatkan laknat malaikat, yakni; “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh” (HR. Bukhari).

Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bahwa bagi yang mendasarkan tindakannya pada hadis tersebut harus mengingat pula bahwa suami harus tunduk dan patuh pada tindakan yang baik, memuliakan, tidak memaksa (ma’ruf) terhadap istrinya. Artinya, perlakuan baik tersebut tidak hanya dirasakan oleh orang tersebut, namun juga dirasakan oleh orang lain.

Menurut pendapat penulis, hadis tersebut merupakan anjuran kepada istri agar tidak mengecewakan suami. Namun, di sisi lain, ada juga perintah memperlakukan istri dengan baik, yakni suami memperlakukan istri dengan cara-cara yang tidak memaksa atau tidak berbuat semena-mena.

Karena, ada ajaran lain yang menyebutkan bahwa memuliakan istri adalah kewajiban; “Dan perlakukanlah istri dengan cara ma’ruf” (QS an-Nisa: 19), “Bagi wanita berhak mendapatkan perlakuan ma’ruf, sebagaimana ia wajib memperlakukan suaminya dengan ma’ruf ” (QS al-Baqaroh:228).

Dalam kebiasaan yang telanjur mengakar, kita mengetahui bahwa laki-laki sering kali dianggap memiliki kekuasan lebih banyak dibandingkan perempuan. Akibatnya, dalam hal hubungan seks, perempuan hampir selalu dipaksa agar tunduk dan patuh terhadap segala keinginan laki-laki yang akhirnya menjadi penanda bahwa perempuan tidak boleh bahkan dilarang untuk menampakkan hasrat seksualnya.

Jangankan meminta hubungan seks, bertanya tentang seks saja rentan menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Namun di sisi lain, perempuan juga kerap kali mendapatkan cap sebagai individu yang suka menuntut dan memiliki nafsu seks lebih tinggi dibanding laki-laki.

Keberadaan anggapan yang menyebut bahwa laki-laki lebih berkuasa terhadap perempuan akibatnya dapat kita lihat secara kasat mata, yakni makin tingginya kekerasan yang dialami oleh perempuan; Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual dan sosial, serta kekerasan lainnya lebih banyak dialami oleh perempuan. 

Hal ini telah mendapatkan konfirmasi dari data Komnas Perempuan yang menyebutkan bahwa pada 2019 ada kenaikan 14 % kasus kekerasan terhadap perempuan, yaitu sejumlah 406.178 kasus.

Data yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan di atas dihimpun dari tiga sumber, yakni Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR). 

Bahkan Komnas Perempuan mengungkapkan juga tentang perkosaan dalam pernikahan (marital rape), hubungan sedarah (incest), kekerasan dalam pacaran (KDP), cyber crime (kejahatan di dunia maya), dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas.

Kita memahami jika patriarki lahir karena banyak faktor, misalnya masih adanya tafsir-tafsir teks kitab suci yang cenderung “menguntungkan” laki-laki, kebiasaan (habbit) yang dilestarikan sampai saat ini atau bahkan karena mendapatkan legitimasi dari institusi (agama dan umum). 

Dalam hal ranah personal, patriarki adalah akar munculnya berbagai praktik kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan. Dampaknya, laki-laki mendapatkan kekuasaan istimewa yang dianggap kebenarannya oleh sebagian masyarakat.

Kedua, anggapan negatif dari suami. Beberapa pengalaman istri yang pernah mengutarakan keinginan dan pilihannya ketika berhubungan seksual kepada suami justru mendapatkan label negatif (kegatelan) bahkan “olok-olok” yang merendahkan istri dan mencurigai atas ungkapan istri.

Semestinya, jika seorang istri mengungkapkan keinginannya mendapatkan apresiasi atau bahkan mendapat dukungan. Karena, menurut pendapat penulis, perempuan yang mampu mengutarakan pendapatnya tentang hubungan seksual sudah mengerahkan segenap keberaniannya.

Hubungan seksual semestinya tidak bisa dimonopoli seseorang, termasuk laki-laki. Jika kita sepakat bahwa hasrat seksual dimiliki oleh setiap individu, maka perbincangan mengenai hubungan seksual semestinya dilakukan dengan perasaan nyaman, terbuka, waktu yang disepakati, gaya yang dikehendaki masing-masing, rangsangan di tempat/tubuh yang cenderung lebih mudah bangkit gairah seksualnya dan perbincangan lainnya.

Jika hal tersebut dilakukan, menurut penulis, perbincangan hubungan seksual dalam ranah rumah tangga akan menjadi kebiasaan, tradisi atau bahkan akhirnya menjadi budaya. Sehingga sudah tidak ada lagi istilah tabu dalam perbincangan hubungan seksual.

Ketiga, adanya label tidak tahu malu. Perasaan malu yang selama ini diinternalisasi (diamalkan) oleh perempuan merupakan akibat dari “pemaksaan” terhadap nilai, bahwa perempuan dianggap makin anggun jika memiliki rasa malu.

Perasaan malu ini selanjutnya diproduksi dan didistribusikan terus-menerus melalui berbagai media (alat), sehingga tidak terlalu berlebihan jika saya sebut sebagai doktrin baku bahwa menjadi perempuan harus memiliki malu, akhirnya secara tidak langsung ada pembenaran dari khalayak jika perempuan harus memiliki dan lebih mengedepankan rasa malu apalagi berkaitan dengan hubungan seksual.

Menurut pendapat penulis, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat atau keinginannya dengan rasa nyaman, aman, dan gembira. Khususnya bagi istri – suami di dalam ranah rumah tangga. Keduanya memiliki posisi yang setara dalam setiap peran.

Berkaitan dengan hubungan seksual, tidak perlu lagi kita memperdebatkan dan memperselisihkannya karena sudah jelas bahwa hubungan seksual adalah hak setiap orang. Oleh karenanya, ketika muncul hasrat berhubungan seksual, semestinya memperlakukan masing-masing pihak dengan cara-cara yang baik dan dibenarkan.

Penulis meyakini bahwa dengan mengedepankan nilai-nilai saling menghargai, menghormati, saling percaya, saling mendukung, dan menjunjung tinggi konsep keadilan dan kesetaraan sebagai entitas perlakuan, maka hubungan seksual tidak perlu dianggap sebagai wilayah tabu untuk dibicarakan dan bukan pula kekuasaan laki-laki.  

 

 

 

 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Pengalaman Magang di Mitra Wacana Yogyakarta

Published

on

Oleh Eni Nur Chayati
Mahasiswa Universitas Widya Mataram 
 

             Saya adalah mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang sedang menempuh semester akhir. Kewajiban magang membuat saya harus mencari tempat untuk menghabiskan setidaknya dua bulan berkegiatan di luar kampus. Saya mahasiswa jurusan Sosiologi, saya berminat pada pekerjaan sosial dan isu gender, khususnya perempuan. Maka ketika saya menemukan akun Mitra Wacana pada platform Instagram, saya segera mengonfirmasi tentang kesempatan magang di sana. Akhirnya, saya mendapat kesempatan magang di Mitra Wacana dari tanggal 1 Oktober – 30 November 2024 bersama dua teman saya.

               Kesan di hari pertama tiba di kantor Mitra Wacana adalah bingung dan tentu saja, canggung. Tetapi seperti kebanyakan LSM yang saya ketahui, suasana kantornya sangat homey. Kami memilih untuk bergabung ke divisi pendidikan dan pengorganisasian, yang setelah itu saya tahu, dikoordinatori oleh Mas Mansur. Kebingungan berlanjut sampai hari-hari berikutnya, sebab kami harus menentukan sendiri program kerja yang akan kami laksanakan. Dengan kesadaran untuk berkembang dan mencari pengalaman, kami mengajukan tiga proker untuk kegiatan kami selama dua bulan; building capacity, diskusi tematik, dan mini riset.

               Kami mulai berkegiatan pada minggu kedua bulan Oktober. Suasana antara staf dan mahasiswa magang mulai mencair. Saya dan kawan-kawan mulai bisa beradaptasi serta berdiskusi tentang latar belakang dan cerita masing-masing—tak lupa juga melontarkan banyak pertanyaan tanpa henti. Magang di Mitra Wacana sangat fleksibel. Jumlah agenda kami turun lapangan selama magang hanya satu kali, yaitu ke Kulon Progo untuk edukasi pencegahan KDRT. Hal ini dikarenakan pada bulan Oktober kemarin Mitra Wacana baru saja menyelesaikan program tahunan dan sedang dalam masa evaluasi. Maka kami berkegiatan sekenanya sambil berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan pengalaman.

               Banyak ilmu yang saya dapatkan lewat proker yang kami susun. Di diskusi tematik, saya belajar mengorganisir suatu acara, yang pada saat itu bertemakan perempuan marginal, sehingga saya juga mendapat pandangan terkini mengenai isu gender dan marginalisasi perempuan. Pada kegiatan building capacity, saya mengetahui manajemen kerja NGO dan tetek-bengeknya.

     Terakhir, yang menjadi pengalaman paling ‘nano-nano’ adalah pembuatan—pertama kalinya—sebuah mini riset. Pengerjaannya menuntut pikiran dan tenaga tetapi hasilnya begitu memuaskan. Kami berhasil merangkum pengetahuan serta pengalaman staf dalam riset yang berjudul “Perspektif Staf Mitra Wacana Terhadap Marginalisasi Perempuan di Desa Dampingan P3A”. Berbagai hasil dan hal-hal menyenangkan di Mitra Wacana tidak luput dari peran seluruh staf yang menciptakan lingkungan suportif dan sikap keterbukaan kepada mahasiswa magang. Magang di Mitra Wacana mendorong saya untuk berpikir lebih praktikal dan mengambil aksi mengenai isu gender yang selama ini hanya saya pahami dalam kepala.

Sekian, yang dapat saya tuliskan mengenai pengalaman ketika menjadi mahasiswa magang di Mitra Wacana. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih.

Continue Reading

Trending