Opini
Potret Kekerasan Terhadap Perempuan

Published
11 years agoon
By
Mitra Wacana

Arif Sugeng Widodo
Oleh Arif Sugeng Widodo
Kasus kekerasan, tindakan diskriminatif, dan pelecehan terhadap perempuan masih sering terdengar dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini. Kasus perkosaan masih marak terjadi dengan korban rata-rata adalah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi juga masih banyak korbannya adalah perempuan walaupun dalam beberapa kasus laki-laki sebagai korban juga ada. Tindakan diskriminatif pada TKW (Tenaga Kerja Wanita) juga masih sering terjadi pada saat keberangkatan, saat diluar negeri dan juga saat pulang ke Indonesia. Upah buruh perempuan di beberapa kasus juga masih dibedakan dengan upah buruh laki-laki.
Tidak saja di Indonesia, beberapa negara lain juga masih dijumpai tindakan diskriminatif, kekerasan dan pelecehan pada perempuan yang sangat jelas. Arab Saudi yang mengatas namakan diri sebagai negara Islam membatasi ruang gerak perempuan dalam ranah publik, tidak itu saja dalam relasi dengan laki-laki, perempuan disana menjadi manusia kelas dua karena yang punya kekuasaan adalah laki-laki. Di Afganistan saat dikuasai oleh kelompok Taliban, perempuan bahkan tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan, perempuan dibatasi kegiatannya di luar rumah, kalaupun ke luar rumah wajib memakai burqa.
Di India, kasus perkosaan terhadap perempuan, baik perempuan India maupun turis asing, beberapa tahun belakangan sangat sering terjadi. Kasus yang menjadi isu internasional adalah kasus perkosaan disertai tindakan kekerasan yang terjadi pada mahasiswi kedokteran yang dilakukan oleh beberapa orang di sebuah bus menjadi berita yang menyedihkan tidak saja India tapi juga dunia. Pada akhirnya mahasiswi tersebut meninggal karena luka-luka yang dideritanya. Kasus perkosaan yang dilakukan beramai-ramai tersebut tidak saja terjadi di India tapi juga di beberapa negara lain termasuk Indonesia.
Kasus perkosaan oleh kepala adat dan teman-temannya di Pakistan juga berita yang memprihatinkan. Tindakan keji tetua adat dilakukan dengan dalih perempuan muda tersebut telah melanggar adat sehingga mendapat hukuman adat, diperkosa beramai-ramai didepan umum. Tindakan yang tidak saja memilukan tapi telah benar-benar tidak berperikemanusiaan. Kasus yang belum lama terjadi di Afghanistan yaitu penembakan pada gadis remaja Afganistan (Malala nama gadis tersebut) karena pergi sekolah untuk belajar. Taliban mengakui bahwa penembakan tersebut dilakukan oleh kelompok mereka. Apa yang dilakukan oleh Taliban tersebut menjadi salah satu kasus bukti sulitnya perempuan mendapatkan hak-haknya. Berbagai kasus diatas menjadi kritik bahwa keadilan dan kesetaraan gender di dunia saat ini masih dalam proses perjuangan.
Kasus kekerasan maupun pembunuhan terhadap anak perempuan oleh keluarganya sendiri sering terjadi di Pakistan. Hal tersebut dilakukan karena ingin menegakkan kehormatan keluarga. Saat anak perempuan menikah dengan pilihannya sendiri tapi tidak disetujui oleh keluarga maka kekerasan sampai pembunuhan menjadi hal yang lumrah di beberapa wilayah di Pakistan. Anak perempuan tidak bisa memilih kehidupannya sendiri tapi harus tunduk pada budaya yang ada dalam masyarakat tersebut, dan budaya yang berkembang di wilayah tersebut adalah budaya patriarki. Budaya patriarki melegitimasi posisi laki-laki yang lebih dominan daripada perempuan.
Gerakan feminisme telah lama memperjuangkan hak-hak perempuan tersebut dalam berbagai bentuknya. Usaha-usaha tersebut saat ini sudah mulai kelihatan dampaknya, isu-isu gender telah menjadi isu internasional dan diakui juga oleh PBB. Perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan saat ini masih gencar dilakukan tidak saja oleh gerakan masyarakat sipil tapi juga sudah dilakukan oleh negara. Sayangnya tidak semua negara atau wilayah dalam suatu negara dapat dengan mudah menerima isu-isu perjuangan keadilan gender tersebut. Budaya patriarki masih begitu lekat dalam diri para pemegang kekuasaan yang pada umumnya masih dipegang oleh kaum laki-laki. Adanya beberapa penolakan terhadap isu-isu keadilan gender tersebut tentunya merupakan suatu tantangan tersendiri bagi gerakan feminisme.
Gerakan feniminisme sudah begitu beragam dan tersebar hampir diberbagai wilayah di dunia. Gerakan feminis sudah begitu berkembang tidak saja disuarakan oleh gerakan masyarakat sipil saja tapi saat ini berbagai elemen ikut terlibat dalam usaha memperjuangkan dan menyuarakan keadilan gender. Bahkan di Jogja muncul suatu gerakan baru yang digagas oleh para aktivis laki-laki untuk terlibat aktif memperjuangkan isu-isu keadilan gender di masyarakat. Gerakan tersebut lahir di Jogjakarta dan dikenal sebagai Aliansi laki-laki-laki baru. Sebagai gerakan yang basis anggotanya laki-laki, Aliansi Laki-laki baru berusaha berjuang merubah pandangan maskulinatas laki-laki yang patriarkhi, yang dominan dan berkuasa terhadap perempuan menjadi relasi yang adil dan setara. Didaerah lain juga ada gerakan serupa, di NTT, NTB, Bengkulu dan Jakarta. Selain laki-laki baru ada juga lembaga yang menamakan dirinya dengan MensCare yang berada di Jogjakarta, jawa timur, lampung dan Jakarta.
Aliansi laki-laki baru merupakan suatu gerakan revolutif dalam isu-isu gender karena mencoba melakukan pendekatan yang berbeda dalam isu tersebut. Aliansi laki-laki baru mencoba menyadarkan laki-laki sebagai sosok yang dominan karena dibesarkan dengan budaya androsentris menjdi laki-laki yang adil gender. Karena sejauh ini setiap berdiskusi tentang isu gender yang dipahami adalah pembahasan isu tersebut untuk perempuan dan laki-laki tidak perlu terlibat. Sehingga sering terjadi pada saat diskusi maupun seminar isu gender pesertanya kebanyakan perempuan.
Kesadaraan adil gender tidak hanya harus dimiliki perempuan sebagai kaum “subordinat” tapi juga wajib juga terhadap kaum laki laki yang memposisikan diri lebih “superior”. Dengan melibatkan laki-laki dalam isu gender tersebut maka pemahaman terhadap isu gender dalam frekuensi yang sama sehingga akan mengurangi kecurigaan terhadap perempuan. Tanpa pelibatan laki-laki isu gender dipandang sebagai upaya perempuan untuk memberontak dan menentang laki-laki. Hal tersebut berdampak konflik serta relasi yang tidak adil terus saja terjadi pada perempuan. Keberanian aliansi laki-laki baru mendekati laki-laki sebagi subjek perubahan sosial bersama perempuan merupakan usaha membuat dunia menjadi lebih baik dan mencegah kekerasan terhadap perempuan agar tidak terjadi lagi.
You may like
Opini
Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Published
12 hours agoon
12 June 2025By
Mitra Wacana
Oleh: Dhia Qatrunnada Afiluman
Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, Seno Gumira Ajidarma dikenal bukan hanya sebagai penulis yang peka terhadap realitas sosial, tetapi juga sebagai seniman kata yang kerap menjungkirbalikkan logika narasi demi mengeksplorasi makna yang lebih dalam. Salah satu cerpen terkenalnya, Dodolitdodolitdodolibret, adalah contoh nyata bagaimana absurditas, bunyi, dan humor bisa menjadi alat yang ampuh untuk menertawakan kekuasaan yang membatu, terutama kekuasaan yang menjelma dalam bentuk spiritualisme tanpa makna.
Cerpen ini berkisah tentang Kiplik, seorang tokoh yang merenungkan makna dari doa yang benar. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang dapat mencapai “berjalan di atas air” hanya dengan berdoa, sebagaimana diceritakan dalam dongeng yang ia dengar. Namun alih-alih menolak logika spiritual itu, Kiplik justru memperdalam “ilmu berdoa”, sebuah proses yang semakin absurd dan ritualistik. Ia mengajarkan bahwa agar doa berhasil, gerakannya harus tepat, ucapannya tidak keliru, dan waktunya sesuai. Ia pun akhirnya dikenal sebagai Guru Kiplik, sang pengajar “cara berdoa yang benar.”
Namun yang menjadikan cerpen ini luar biasa bukan sekadar premisnya, melainkan bagaimana Seno menggunakan bunyi absurd dalam judul cerpennya dodolitdodolitdodolibret, untuk membongkar absurditas sistem kepercayaan yang kehilangan esensi. Bunyi ini muncul seperti mantra, tidak bisa dijelaskan artinya, namun dipercayai memiliki kekuatan. Di sinilah estetika bunyi menjadi strategi naratif yang kritis. Bunyi-bunyi kosong ini mengejek sistem spiritual atau ideologis yang memaksa ketaatan pada simbol tanpa menjelaskan substansi di baliknya.
Cerpen ini bekerja seperti cermin jenaka yang memantulkan wajah serius para pemuja “doa yang benar.” Lewat Kiplik, Seno menyindir betapa masyarakat kerap mengagung-agungkan tata cara, upacara, dan formula, tetapi melupakan makna. Ritual menjadi teater, dan keyakinan menjadi pertunjukan formal. Guru Kiplik tidak pernah menyebut dirinya nabi, namun dielu-elukan, dimintai izin untuk diikuti, bahkan dipuja seolah ia sumber keselamatan. Seno menghadirkan kritik halus terhadap bagaimana kekuasaan spiritual sering kali dibentuk oleh kharisma dan kebutuhan kolektif akan kepastian, bukan oleh makna sejati yang dirasakan.
Menariknya disini, Seno tidak menyampaikan kritiknya dengan murka atau agitasi. Ia menggunakan humor, ironi, dan absurditas. Dalam satu bagian akhir cerpen, sembilan murid Guru Kiplik yang berhasil “berdoa dengan benar” justru berlari-lari di atas air sambil berteriak panik karena lupa cara berdoa yang benar. Seno menyisipkan pertanyaan mendalam dalam kelucuan itu: apakah yang kita cari dari kekuatan spiritual? Ketenangan, keselamatan, atau sekadar rasa bahwa kita “berada di jalur yang benar”? Dan betapa mudahnya “doa” menjadi beban, bukan pembebasan, jika dimaknai hanya sebagai aturan, bukan relasi batin.
Melalui estetika bunyi dan narasi yang ditenun dari absurditas, Dodolitdodolitdodolibret menghadirkan refleksi tentang kekuasaan: bukan hanya yang berwujud negara atau agama, tapi juga kekuasaan simbol dan kepercayaan yang hidup dalam pikiran kolektif. Ia menertawakan, bukan menghina kekuasaan itu. Tertawa dalam cerpen ini bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk resistensi halus, sekaligus pengingat bahwa ketika makna dikunci oleh kekuasaan simbolik, suara manusia akan tetap mencari celah untuk menyelinap keluar, entah lewat satire, entah lewat bunyi tak bermakna: dodolitdodolitdodolibret.

Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Kebangkitan “Malam” oleh Elie Wiesel: Memoar yang Hampir Terlupakan
