web analytics
Connect with us

Rilis

Praktik Patriarkhi dalam Budaya Organisasi

Published

on

Gambar: https://ladyclever.com

Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti merupakan definisi patriarkhi secara umum. Patriarkhi dapat terjadi di berbagai intitusi. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Di bawah ini merupakan materi presentasi tentang patriarkhi dalam organisasi. Selengkapnya silahkan unduh:

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Publikasi

Cerpen : Kebencian Malam

Published

on

Maryatul Kuptiah, Sekarang sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Hobi menulis puisi, puisi dan cerpen.

Di penghujung tahun, detik- detik yang di hitung dengan hitungan jari di guyur hujan deras. Jalan tampak sunyi. Aspal basah di hujani, atas rahmat sang kuasa. Harusnya, saat itu semua orang berada di sebuah gubuk yang biasanya orang-orang menyebutnya ‘rumah’. Mata yang sibuk terpejam melawan kerasnya malam, selayaknya ingin merebahkan sekujur  di tempat ternyaman mereka. 

Malam pergantian tahun ini, sudah tanggal 1 Januari. Ada apa dengan alam yang seolah murung. Malam yang sudah gelap, jauh tampak lebih jelas tanpa sinar bulan purnama penuh sebagai penyambutan tamu baru. Air turun di mana-mana, orang-orang tak dapat di merayakannya. Tak ada asap yang mewarnai batas kota, rumah-rumah menutup rapat dari segala arah. Bersama kabut dan rintihan air hujan di sepanjang kota. 

Suara gemuruh kilat membuatku menekap  daun telinga, menarik selimut dan berdoa. Takut yang tak kunjung hilang, saat mendengar suara tajam dari langit itu. Mataku tertuju di jendela yang berada di sisi kiriku. Hal baiknya adalah gorden yang menjutai. Sehingga, cahaya kilat yang berakar itu tidak terlihat jelas olehku. 

Satu jam berlalu, aku menunggu hujan yang tak kunjung reda. Rasa lelah sepanjang hari di tempat kerja membuat ku tertidur. Ponsel yang berada di saku pun bergetar dan membuatku terbangun.

“Nak Naini tidak pulang malam ini?” Tanya bik Arsih. 

“Aku tidak bik, hujan deras. Malam ini sepertinya aku tidur di  rumah sakit. Bibik tidurlah, tidak usah menungguku”. Jawabnya. 

Dengan  terpaksa, aku harus tidur di ruangan bersuhu nol sedikia derajat itu. Itu biasa untukku, tidak ku heran lagi. Kadag kala rasa bosan ini membuatku jengkel. Meskipun begitu, aku malas pulang kerumah. Pulang pun untuk apa, tak ada yang menunggu atau menyambutku. Di rumah itu hanya ada aku dan bik Arsih yang sudah ku anggap sebagai keluarga. 

“Apa ku terobos saja hujan ini? Batinnya.

“Sepertinya, juga sudah mereda. Hanya rinai. Tapi… (melihat jam) ini sudah jam segini. Tapi kasihan bibik yang tinggal di rumah sendiri. Tak apa lah basah sedikit.” Kataku pelan.

Hari-hari mengabdi di tempat bagi orang-orang yang berharap akan manusia yang menjadi perantara Tuhan. Sesekali aku menggerutu akan apa yang aku lakukan sekarang. Padahal itu adalah keinginan ku sejak lama. 

“Dulu ini yang aku mau, tapi sekarang ntah kenapa aku begitu muak. Aku lelah menghadapi hari-hari. Bahkan malam ku pun terusik.” Kataku dengan nada agak marah. 

Sebelum aku berpikir, bahwa hal ini tidak akan menyangkut persoalan malam hari. Bagiku, malam begitu indah untuk di ganggu. Tapi nyatanya, aku sendiri yang merusaknya. Karena saat malam, tanpa terkecuali siapa pun pasti menantinya, utuk bisa merasakan apa saja. Anehnya, bagi beberapa orang, malam buruk bagi wanita. Selalu saja di sangkut pautkan dengan karakter manusia. 

“Aku tak peduli apa yang dipikirkan orang tentangku, apa lagi mereka-mereka…”

Saat itu, malam sudah kembali. Langkahku diterangi oleh bulan sebagian purnama. Kala itu, jalan tak begitu sepi masih banyak yang lalu lalang. Gedung-gedung tinggi terlihat menyala dan berpenghuni yang megurangi sedikit ketakutanku. 

“Huhh… hari ini begitu melelahkan. Sampai saja aku di rumah akan ku dorong raga ini untuk meninggalkan jiwaku sejenak.”

Memang lokasi rumah sakit tidak terlalu jauh dari rumahku. Tetap saja lelah jika harus berjalan kurang lebih 20 menit. Akhirnya, hanya beberapa langkah lagi. Tak sengaja, ia bertemu dengan seorang laki-laki tua.

“Baru pulang kah nak?.” Tanya bapak itu.

“Iya, Pak. Kebetulan rumahku di sebrang jalan itu, Pak?”

Tanpa mengetahui alas anku, bapak itu langsung saja mengatakan.

“Apa kau tidak malu nak? Bukanlah anak seorang wanita? Pulang selarut ini tidak dilihat baik oleh siapapun.” Ketus bapak itu dengan mata melotot. 

“Aku menunggu hujan reda, Pak. Ketika ku lihat sudah reda, aku pulang.” Jawabku pelan. 

“(menggelengkan kepala) ada baiknya besok pagi kau pulang.”

Dengan wajah tertunduk, hatiku rasanya seperti selembar  kertas yang kusut setelah remas-remas. Aku tak berkata-kata apa saat itu, hanya mengangguk dan berkata iya. 

“Tapi saya seorang dokter, Pak”. Jawabku sedikit membentak.

“Sungguh hal yang wajar, jika seorang dokter pulang larut malam pak. Sibuk banget merawat pasien membuat ku lupa apakah ada siang dan malam.” Balas ku sedikit keras.

“Tidak ada alasan. Bapak tak mau hanya karena kamu pulang larut malam. Kompleks lingkungan ini jadi kotor”.

Lidahku kelu, tak bekutik untuk sepatah katapun. Bola mata kuliah lirih akan ucapan bapak itu.

“Apakah aku seburuk itu?” (Tanya batinku).

             Rasa lelah yang terpendam seketika melayang bersama kata per kata yang    keluar dari mulut bapak itu. Aku tak ingin berpikir tentang apa-apa lagi, meskipun apa yang di katakan itu menusuk hati. Aku terus saja berjalan walau dengan wajah murung.

“Kalau di bilang sedih ketika ada orang yang meragukan karekaterku. Itu hak mereka. Tapi… apakah dokter yang pulang malam itu buruk? Hmm.. entah salah ku, atau alam yang sedang tak berpihak kepadaku.”

 

Saat kaki ku tepat di depan pintu, aku tak berpikir apa-apa selain tidur. Terpejam lah mata ini, tak ingin memikirkan perkataan bapak itu. Tapi masih saja terpikir olehku setiap ucapan yang dilontarkan bapak itu kepada ku beberapa menit  yang lalu. 

“Apa salahnya bapak itu mendengarkan penjelasan ku. Sebelum ia menuduhku yang tidak-tidak. Entah apa yang di pikirkan bapak itu. Matanya saat melihatku seolah-olah aku adalah sampah.”

Hampir sekitar 3 menit aku termenung, namun akhirnya rasa kesalku kalah dengan rasa lelahku. 

****

Keesokan paginya, kebetulan aku mendapatkan jadwal shift pagi. Rasa lelah yang belum tuntas, tapi boleh buat apa. Ini adalah resiko setiap apa yang kamu lakukan mau tidak mau harus menerima dengan lapang dada. Berusaha lupa, akan kejadian malam pergantian tahun itu. Alam lagi-lagi mengajakku bercanda dengan manusia-manusia yang menganggap diri mereka adalah orang berdarah putih. 

Kejadian itu tak ada ceritakan kepada siapapun. Terkecuali bapak itu dan aku untuk menjalani hari-hari seperti biasanya. Mencoba tersenyum dengan orang-orang yang harus ku berikan senyuman.

Pagi Minggu di tanggal 1 dengan tahun yang baru, cuaca tampak cerah. Tak seperti kemarin, yang tampak murung. Alam memiliki tangan yang menggandengku dengan terangnya hari ini. Ia memberiku semangat. 

“Berarti kemarin itu memberikan tanda untukku, akan ketemu bapak itu”. Ucapku.

“Tapi sudahlah, itu cerita kemarin”. Lanjutnya.

“Dok, pasien ruangan mawar 2 darurat (bergegas)”.

Di antara kamar-kamar dalam lowongan rumah sakit, terpikir dibenakku kenapa aku harus memikirkan apa yang orang lain katakan. Melakukan apapun tak harus di ketahui banyak orang. Biarlah sang kuasa yang menilai bagaimana aku. Akhirnya, ku tutup cerita kemarin dengan kebaikan hari ini dan selanjutnya. 

Continue Reading

Trending