Opini
Problem Perkawinan Anak di Indonesia
Published
9 years agoon
By
Mitra Wacanaoleh Ahmad Ariefuddin
Seminar yang di adakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM ini bertema “Problem Perkawinan Anak di Indonesia”. Seminar ini sendiri dilakukan tepat pada selasa, 8 maret 2016 yang juga bertepatan dengan Internasional Women’s Day. Seminar yang di moderatori oleh Wahyu Tanoto dari Mitra Wacana ini di narasumberi oleh perwakilan dari PSKK UGM yaitu Prof. Dr. Muhadjir MD, MPA, H. Ahmad Muhsin dari MUI D.I.Y, Anita Triaswati dari PKBI D.I.Y, dan Ibu Khotimatul perwakilan dari Fatayat NU D.I.Y. Seminar ini di laksanakan di Auditorium Gd. Masri Singarimbun, Bulaksumur, UGM Yogyakarta.
Kemudian menilik dari penelitian yang di lakukan oleh PSKK UGM yang bekerja sama dengan Plan Indonesia [1] yang di lakukan pada tahun 2011 di 8 kabupaten di Indonesia, yaitu : Kabuaten Indramayu (Jawa Barat), Kab. Grobokan dan Kab. Rembang (Jawa Tengah), Kab. Tabanan (Bali), Kab. Timor tengah selatan, Kab. Sikka, Kab. Lembata (NTT). Dari kedelapan daerah tersebut, Kabupaten Indramayu merupakan daerah dengan kejadian perkawinan anak tertinggi, sementara Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten terendah. Dalam studi, perkawinan anak adalah perkawinan formal dan ikatan informal antara laki-laki dan perempuan di bawah usia 18 tahun. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa insiden perkawinan anak di Indonesia masih tinggi? Karena masalah perkawinan anak ini sendiri adalah masalah yang kompleks.
Bagaimana tidak masalah ini tidak hanya melibatkan anak itu sendiri, tapi juga ada faktor orang tua, serta sosial-budaya di daerah anak itu berada. Setelah menggabungkan hasil survei kuantitatif dan studi kualitatif, di identifikasi lima faktor penyebab perkawinan anak. 1.) Perilaku seksual dan kehamilan tak dikehendaki 2.) Tradisi/budaya 3.) Rendahnya pengetahuan seksualitas atau kespro dan rendahnya pendidikan orang tua. 4.) Sosio-ekonomi dan geografis 5.) Lemahnya penegakkan hukum. Sekitar 27% perkawinan anak disebabkan “alasan” saling mencintai dan siap menikah walaupun usia mereka kurang dari 18 tahun. Perkawinan yang di dasari oleh alasan tersebut relatif tinggi di Kab. Sikka (55,2%), Kab. Lembata (44%) dan Kab. Indramayu (37,1%). Alasan kedua perkawinan anak yang dominan adalah pergaulan bebas yang berakhir dengan kehamilan tidak diinginkan.
Dua kabupaten dengan insiden kehamilan di luar nikah paling tinggi adalah di kab. Tabanan dan kab. Lembata. 52% perkawinan anak di Lembata disebabkan oleh perilaku seks bebas. Di tabanan lebih tinggi lagi, yakni 66,7%. Untuk faktor tradisi atau budaya, secara kesuluruhan 1 dari 10 perkawinan anak terjadi karena masyarakat memperbolehkannya. Perkawinan anak karena faktor tradisi terjadi terutama di Dompu (37,5%), Grobokan (32,5%), dan Rembang (20%). Di Rembang misalnya, praktik perjodohan masih di jumpai di wilayah pedesaan, seperti di desa Gunem, dalam tradisi “Ngemblok”.
Selain itu, hasil survei di 8 Kabupaten juga menunjukkan-meski bervariasi-rata-rata responden anak dan orang tuanya yang kawin dini mempunyai pengetahuan minim terhadap aspek-aspek seperti kesuburan, kehamilan , kespro dan dampak perkawinan anak. Pengetahuan responden juga sangat rendah mengenai peraturan pembatasan usia pernikahan dalam UU Perkawinan. Secara keseluruhan, 31,9% anak tidak tahu apabila sekali berhubungan seksual bisa menyebabkan kehamilan. Rendahnya pengetahuan orang tua juga secara signifikan punya peluang 4 kali lebih besar untuk mengawinkan anak pada usia belia.
Di Grobokan misalnya, pemahaman orang tua terhadap pentingnya pendidikan anak, menyumbang tingginya angka perkawinan anak. Secara sosio-ekonomi, variabel sumber pendapatan rumah tangga dan kemiskinan juga mempengaruhi insiden perkawinan anak. Probabilitas rumah tangga miskin untuk mengawinkan anak di usia dini 3 kali lebih tinggi dari pada rumah tangga tak miskin. Sementara secara geografis di wilayah rural/pedesaan 2 kali lebih tinggi terjadi perkawinan anak dari pada di wilayah urban. Dalam studi kualitatif, tradisi menikah dini dan kasus perceraian yang tinggi kerap kali berinteraksi dengan kemiskinan.
Keterbatasan ekonomi telah memposisikan perempuan dalam situasi yang rentan terhadap eksploitasi seksual. Kendati di hampir semua wilayah penelitian sebagian besar rumah tangga adalah keluarga miskin/hampir miskin hanya di perdesaan terpencil dan terisolasi, namun kemiskinan jadi faktor utama untuk menikahkan anak di usia dini. Untuk faktor lemahnya penegakkan hukum, ini berkaitan dengan dispensasi perkawinan dalam UU perkawinan no. 1 tahun 1974. Anak yang kawin di bawah usia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, harus mendapatkan dispensasi perkawinan.
Dispensasi perkawinan di keluarkan oleh pengadilan agama serta di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dispensasi tersebut bisa diberikan dengan alasan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Interpretasi soal kemaslahatan rumah tangga dan keluarga inilah yang menjadi ranah kewenangan hakim pengadilan agama. Berdasarkan hasil wawancara, hakim pengadilan agama biasanya akan mengabulkan dispensai untuk kasus anak yang terlanjur hamil. Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam), Dispensasi adalah prosedur legal yang prosesnya cukup panjang serta memakan biaya yang tak sedikit. Karena itu, kerap terjadi jalan pintas di ambil dengan memanipulasi umur anak di KTP agar dapat memenuhi syarat perkawinan.
Jika kita melihat sejarah tentang 8 maret yang di rayakan sebagai hari perempuan internasional. Maka kita akan mengetahui bahwa hari tersebut adalah hari keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik, sosial. Padahal di Indonesia sendiri ada beberapa hari yang menyangkut tema wanita, yaitu 22 Desember sebagai hari Ibu dan 21 April yang di peringati sebagai emansipasi wanita yang di gagas oleh RA. Kartini.
Perkawinan anak di Indonesia sendiri masih menjadi problem yang belum terselesaikan. Pasalnya, pernikahan anak berdampak pada rentannya perempuan secara khusus pada persoalan ekonomi, sosial, budaya. Perkawinan anak juga menyebabkan perempuan menghadapi kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi hingga kematian ibu dan bayi. Belum lagi resiko kanker serviks dan infeksi menular seksual (IMS).
Menurut Prof. Dr. Muhadjir MD, MPA, perkawinan anak itu melanggar HAM karena mayoritas perkawinan anak terjadi karena pemaksaan. Artinya hak anak untuk menentukan masa depannya di curi oleh orang tuanya. Kemudian dalam permasalahan perkawinan dini ini terjadi karena multitafsir UU di negara Indonesia ini. Yaitu dimana dalam Undang-undang yang di harapkan bisa melindungi hak-hak anak justru melegalkan perampasan hak anak tersebut. lebih dari itu Undang-undang justru mengesahkan perkawinan anak itu sendiri. Semisal dalam UU perkawinan nomor 1 tahun 74.
Menurut Ibu Khotimatul perwakilan dari Fatayat NU Yogyakarta ada beberapa sebab pernikahan dini ini terjadi di antaranya: 1. Budaya Patriarkhi, yaitu dimana anak perempuan tidak memiliki hak otonom untuk menentukan masa depannya. Dan dalam hal ini pada perkara dengan siapa ia akan menikah.
Motif Ekonomi, yaitu dimana anak menjadi korban atas orang tuanya yang terlilit hutang sehingga anaknya di jadikan “tumbal” untuk di nikahkan dengan orang kaya.
Pergaulan Bebas, yaitu dimana anak mengalami kurangnya kasih sayang atau perhatian dari orang tua sehingga menyebabkan anak terjerumus pada pergaulan bebas. Dalam hal ini anak tidak bisa di salahkan karena bagaimanapun peran orang tua cukuplah penting. Karena pendidikan anak terjadi pada 3 wilayah, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Hukum adat dan hukum agama, masalah hukum agama di sini paling berperan dalam problem pernikahan anak ini. Karena banyak sekali pernikahan anak terjadi karena telah di legitimasi oleh hukum agama yang di pandang secara tekstual. Dan dalam kasus ini peran para tokoh agama menjadi sentral karena banyak sekali tokoh agama yang tidak peka terhadap permasalahan yang terjadi sekarang.
Kemudian menurut Ibu Anita Triaswati dari PKBI D.I.Y membahas tentang Resiko sekssual dan Reproduksi Perkawinan Anak. Menurut beliau, Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan pada umur 18 tahun kebawah. Yang menjadi masalah adalah organ reproduksi bisa di katakan matang ketika seseorang sudah berumur 20-35 tahun. Dalam masalah perkawinan anak, perempuan lebih beresiko terkena kanker Serviks. Adapun ketika melakukan hubungan seks, perempuan akan lebih besar mengalami kesakitan. Itu di sebabkan karena kurangnya produksi pelumas. Kemudian ketika hamil pada usia muda, akan ada beberapa resiko yang di antaranya, keguguran, hypertensi, anemia, pendarahan bahkan sampai kematian. Terakhir beliau berpesan ada 4 hal yang harus di hindari yaitu, Kehamilan terlalu muda (kurang dari 18 tahun), kehamilan terlalu tua (lebih dari 35 tahun), jarak kehamilan terlalu dekat, dan terlalu banyak anak.
Dan terakhir menurut H. Ahmad Muhsin dari MUI D.I.Y, persoalan perkawinan ini yang menjadu masalah utama adalah pergaulan bebas. Menurut beliau-untuk di D.I.Y sendiri-mayoritas perkawinan anak terjadi 90% karena hamil di luar nikah. Dan itu di akibatkan oleh banyaknya anak yang sibuk dengan alat telekomunikasinya yang di gunakan untuk menonton film atau foto porno.
[1] Organisasi Internasional pengembangan masyarakat dan kemanusiaan yang berpusat pada anak.
Sumber: https://ahmadariefuddin.wordpress.com/2016/03/08/hari-perempuan-internasional-problem-perkawinan-anak-di-indonesia/
You may like
Opini
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum
Published
3 weeks agoon
12 September 2024By
Mitra WacanaDewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).
Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).
Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).
Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).