web analytics
Connect with us

Opini

Pucuk Dicinta Ulam Pun Tiba

Published

on

Dokumentasi pertemuan P3A SEJOLI dengan warga

Oleh Rodiyah (P3A SEJOLI Punggelan Banjarnegara)

Sebelumnya saya merantau di pulau Sumatera, tepatnya di Sorek Riau.Kemudian saya dan suami memutuskan untuk pulang ke kampung saya, desa Bondolharjo.Tepatnya pada bulan Juni 2017 kami tiba di Bondolharjo.Alasan kami pulang kampung adalah karena masa kontrak kerja suami di perkebunan sawit sudah habis dan suami tidak ingin memperpanjang kontrak kerjanya dengan pihak perkebunan.

Selama beberapa minggu di kampung, ada banyak cerita yang saya dengar dari tetangga maupun dari saudara.Banyak peristiwa yang terjadi di desa Bondolharjo selama 6 tahun sejak kepergian saya ke Sumatera.Dan banyak sekali perubahan yang terjadi di Bondolharjo.Dari sekian banyak cerita yang disampaikan oleh para tetangga, saya paling tertarik dengan cerita tentang SEJOLI (Serikat Bondolharjo Peduli) dan MitraWacana WRC.

Menurut cerita, SEJOLIdan Mitra Wacana WRC adalah organisasi dan lembaga yang bergerak dalam bidang perlindungan terhadap perempuan dan anak.Sementara itu saya juga mendengar banyak cerita tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di desa saya.Saya merasa sangat terpanggil untuk ikut bergabung dengan SEJOLI dan MitraWacana, karena sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang ibu, nurani dan empati saya terpanggil untuk memperjuangkan kaum perempuan.

Maksud dan niat saya untuk bergabung dengan SEJOLI dan Mitra Wacana WRC saya sampaikan kepada Bu Yulisah yang kebetulan masih saudara saya serta kepada bu Saminah selaku ketua SEJOLI dan kebetulan juga adalah bibi saya. Kemudian bu Saminah menyampaikan keinginan saya tersebut kepada pendamping SEJOLI, dan saya diperkenankan bergabung dengan SEJOLI dan MitraWacana WRC.Saya pun langsung diperbolehkan untuk ikut dalam kegiatan SEJOLI.

Pertama kali ikut kegiatan SEJOLI adalah saat kegiatan pertemuan rutin SEJOLI dirumah bu Khamiyah, dalam pertemuan ini membahas tentang agenda Syawalan SEJOLI dan Syawalan di Forum Perempuan Punggelan. Dan dari kegiatan tersebut saya menjadi anggota SEJOLI serta aktif dalam kegiatan SEJOLI selanjutnya seperti Sosialisasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak di sekolah, Sosialisasi di Dusun. Dari kegiatan tersebut saya merasa bukan hanya sekedar ibu rumah tangga biasa saja yang tahunya hanya dapur saja tapi bisa melakukan satu hal yaitu berbagi ilmu kepada orang lain dan bisa bertemu dengan para perempuan yang sama seperti saya seorang ibu rumahtangga tapi bersama-sama memiliki tekad untuk berjuang untuk kaum perempuan dan anak-anak, serta pencegahan kekerasan.

Satu hal yang menghambat saya untuk aktif di SEJOLI dan kegiatan MitraWacana WRC adalah saya tidak bisa naik motor dan karena pekerjaan suami saya sebagai penjual sayur keliling membuat saya kadang-kadang tidak bisa mengikuti kegiatan SEJOLI atau Mitra Wacana WRC WRC karena tidak ada yang mengantar dan motor dipakai untuk berjualan.

Namun hal tersebut tidak membuat saya putus asa atau menyerah, walau pun ada beberapa kegiatan yang tidak bisa saya ikuti, tapi saya mencoba untuk selalu mengikuti perkembangan SEJOLI dan Mitra Wacana WRC dengan selalu mencari informasi dari ibu-ibu lain yang datang.

Meskipun baru bergabung dengan SEJOLI dan MitraWacana WRC tapi saya mendapatkan banyak manfaat bukan hanya soal perlindungan perempuan dan anak tapi juga tentang bagaimana mengutarakan ide, bersosialisasi dengan masyarakat, dan berwirausaha. Saya berharap SEJOLI di Bondolharjo kedepan nya akan terus selalu ada dan membawa perubahan untuk desa Bondolharjo menjadi lebih baik.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)

Published

on

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Di balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan. 

Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya. 

Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya? 

Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.

Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi. 

Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme

Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan. 

Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.

Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.

Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi​.

Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi. 

Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.

Gambaran Eksploitasi PRT

Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong. 

Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.

Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku​.

RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT

RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.

Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.

Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.

Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.

Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.

Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.

Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.

Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja. 

Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka​.

Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?

Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.” 

Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.

Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi. 

Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil​.

Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.

Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.

Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.

Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Referensi

  1. hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
  2. Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan

JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending