web analytics
Connect with us

Publikasi

Resiliensi Perempuan Desa dalam Menghadapi IRET

Published

on

Rindang Farihah PSG UNU Yogyakarta

Rindang Farihah

Bagian 1 Buku Menyuarakan Kesunyian

Gambaran umum

Kasus kekerasan berlatar belakang agama menjadi wacana baru dalam gerakan perempuan, manakala menemukan data tentang aksi kekerasan terorisme yang melibatkan perempuan dan anak di dalamnya. Tahun 2012, masyarakat dikejutkan teror bom gas LPG di Mapolsek Pasar Kliwon Solo. Saat itu, kedua istri pelaku menyatakan bahwa baru mengetahui jika suaminya selama ini bergabung dengan jaringan kelompok terorisme. Hal ini menunjukkan pada tahun- tahun tersebut belum menunjukkan adanya keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme.

Pada tahun 2016,  Dian  Yulia  Novi,  perempuan yang merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara. Dalam kasus Dian Yulia Novi ditemukan adanya proses indoktrinasi yang dinamakan sebagai jihad qital. Perkembangan teknologi informasi, rupanya telah menjadi satu faktor pendukung bertambahnya perempuan yang terlibat dalam jaringan aksi terorisme.

Dari kasus Dian Yulia Novi di atas, selanjutnya kasus ekstremisme bertambah. Pada 2017, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menerima deportan total berjumlah 300 orang, hampir separuhnya adalah perempuan. Haula Noor  menyebutkan faktor yang membuat perempuan dan anak masuk dalam gerakan terorisme, adalah keluarga mereka sendiri. Relasi atau ikatan keluarga memiliki kedekatan emosional tersendiri, hal ini menjadikannya sebagai model perekrutan secara langsung.

Sebagaimana diketahui, keluarga selama ini menjadi tempat untuk melakukan transfer nilai-nilai dari ideologi yang dianut, sehingga ini sebuah strategi efektif dalam proses perekrutan. Hal lain adalah kelompok muda millennial yang khas dengan penggunaan internet sebagai rujukan banyak hal. Perilaku seperti mereka mudah terpapar ideologi ektremisme, ideologi jihad menyajikan informasi yang mudah dipahami, hitam dan putih. Dengan data tersebut, maka keluarga harus mampu menjadi tempat ternyaman dan menyajikan figur yang kharismatik, menjadi panutan dan rujukan mereka.

Selain perempuan dan anak, terdapat pekerja migran sebagai kelompok rentan terpapar ekstremisme. Menurut Musdah Mulia, berada pada situasi yang asing (merasa teralineasi) di lingkungan yang jauh dari rumah tinggal membuat mereka sangat mudah didekati. Kasus Ika Puspita Sari (36 tahun) ditangkap Densus 88 di Purworejo pada tahun 2016 merupakan contoh pekerja migran yang terpapar ektremisme.

Aksi kekerasan berlatar belakang fundamentalisme dalam beragama juga beberapa kali terjadi di Yogyakarta. Pada 2012, telah terjadi penyerangan oleh massa dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di kantor Yayasan LKiS. Kasus ini berawal dari penyelengaraan diskusi buku karya Irshad Manji berjudul “Beriman Tanpa Rasa Takut”. Korban kurang lebih berjumlah 6 orang yang segera dilarikan ke RS. Sedangkan massa MMI sendiri diperkirakan sejumlah 100an orang. Yogyakarta yang selama ini dijuluki sebagai City of Tolerance nyatanya mengalami kenaikan data dari 2015-2016. Pada 2016 Intoleransi ditemukan sebanyak 23, berupa penyerangan hak kebebasan beragama dan ekspresi.

Program yang dijalankan

Terhitung sejak akhir 2014, Mitra Wacana bekerja di 3 desa yang berada di  3  kecamatan  Kabupaten Kulon Progo. Awal mulanya, Mitra Wacana masuk di Kulon Progo merespon isu pekerja migran. Program bertujuan melakukan pencegahan human trafficking dengan  melakukan   penyadaran   pada   masyarakat dan pemerintah desa tentang kerentanan dan risiko perdagangan manusia. Program ini memiliki dua sasaran yakni pemerintah desa dan perempuan mantan pekerja migran yang rentan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan dan menginginkan berangkat ke luar negeri.

Pengambilan data awal di lapangan menunjukkan bahwa faktor terbesar yang menjadi latar belakang perempuan menjadi pekerja migran adalah kebutuhan ekonomi. Mereka memutuskan berangkat ke luar negeri, karena memiliki hutang. Setiap hari harus menghadapi para penagih hutang. Pada saat yang sama, suami mereka “menghilang” atau sengaja bersembunyi. Kondisi ini memposisikan perempuan sebagai istri yang tidak berdaya secara ekonomi dan tertekan dalam belitan hutang. Faktor selanjutnya adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), menjadi korban KDRT membuat mereka nekad meninggalkan rumah. Pendekatan gender dan inklusi dalam melakukan baseline riset, berhasil menguak beberapa data dimana perempuan dihadapkan pada situasi sulit sehingga memutuskan berangkat keluar negeri.

Program pencegahan intoleransi, radikalisme, ektremisme dan terorisme (IRET) berbasis masyarakat desa oleh Mitra Wacana diawali dengan riset. Tujuan riset yaitu: (1) Mengungkapkan organisasi, kelompok, atau orang yang dianggap memiliki pola pemikiran, sikap, atau gerakan IRET berbasis keagamaan di masyarakat, (2) Menjelaskan secara deskriptif potensi-potensi IRET di masyarakat, dan (3) Menjelaskan secara deskriptif modal sosial yang masih hidup di masyarakat untuk menyusun strategi pencegahan IRET berbasis masyarakat.

Program  pencegahan   IRET   berlangsung   selama 12 bulan. Sebanyak 9 desa- sebagaimana  dijelaskan pada paragraf sebelumnya-menjadi desa dampingan Mitra Wacana untuk pencegahan human trafficking (perdagangan orang). Pelaksanaan program dimulai dengan pengambilan data awal. Setelah itu secara maraton dilanjutkan dengan berbagai even, diantaranya; Diseminasi dan diskusi publik hasil pengambilan data, pelatihan, diskusi tematik dan pertemuan-pertemuan penguatan kapasitas kelompok sasaran. Loka karya pencegahan IRET dengan mengundang tokoh agama, tokoh perempuan, dinas terkait dan perempuan komunitas dampingan.

Berdasarkan data yang diperoleh, keterkaitan program pencegahan ektremisme dengan pekerja migran menjadi relevan. Kasus Novi sebagai perempuan pengantin bom pertama dan Ika Puspita Sari perempuan pekerja migran menjadi dasar pentingnya melaksanakan program yang bertujuan mendorong partisipasi perempuan pekerja migran untuk penguatan kapasitas dan meningkatkan kesadaran perempuan. Proses bagaimana resiliensi perempuan terbangun sehingga mampu menghadapi sekaligus memberikan pendidikan kepada anak-anak dan keluarga terdekat mereka.

Dalam perspektif kesetaraan gender, perempuan dipandang memiliki potensi yang sama dengan warga masyarakat lainnya. Pandangan kesetaraan gender memperjuangkan perempuan sebagai subyek, baik dalam pembangunan maupun proyek sosial berbasis kemasyarakatan lainnya. Program pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan perspektif kesetaraan gender inilah yang kemudian berhasil membantu para perempuan menggali dan mendayagunakan potensi yang mereka miliki.

Program yang telah dijalankan oleh Mitra Wacana memiliki 3 tujuan besar, yaitu: pertama perempuan komunitas mampu melakukan pemetaan potensi IRET melalui perilaku warga di sekitarnya. Deteksi dini terhadap perilaku IRET disekitarnya ini dilakukan dengan mencermati pendidikan anak, ceramah agama, kelompok agama dan seterusnya. Kedua, perempuan memiliki resiliensi (kelenturan) sebagai bentuk ketahanan mereka untuk tidak mudah terpengaruh dengan aksi-aksi IRET dan istilah-istilah keagamaan yang menstigma negatif kelompok tertentu, misalnya sesat dan kafir (istilah yang kerap digunakan oleh kelompok fundamentalis). Ketiga, perempuan komunitas menjadi mitra pemerintah desa mempromosikan nilai-nilai perdamaian dan bekerja bersama mencegah IRET.

Sistem Peringatan Dini Ekstremisme

Kegiatan dalam rangka mewujudkan pencegahan IRET,  meliputi:  pertama  peningkatan  kapasitas, kedua mewujudkan kesadaran komunitas dan ketiga meningkatnya keterampilan melakukan monitoring sebagai upaya deteksi dini ancaman-ancaman kekerasan akibat aksi radikalisme dan terorisme. Menjadi pengetahuan penting, bahwa dalam praktik radikalisme dan terorisme mengandung praktik kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut, maka deteksi dini merupakan hal yang urgent karena bisa melindungi anggota keluarga mereka dan secara luas membantu desa mereka terbebas dari ancaman radikalisme dan terorisme.

Pertama, terkait memperkuat pengetahuan. Kegiatan ini diawali dengan langkah memberikan referensi pengetahuan pada komunitas terkait perbedaan istilah- istilah. Dikarenakan aksi-aksi intoleran rentan mengarah pada aksi radikalisme, ektremisme dan terorisme inilah kemudian program Mitra Wacana menjadikan keempat hal tersebut menjadi satu kesatuan yang kemudian disebut dengan istilah IRET.

Pemahaman agama yang humanis juga dikenalkan kepada komunitas dampingan. Contohnya, pandangan- pandangan atau dalil agama yang ramah, atau sebaliknya dalil yang tidak ramah juga dalil mana saja yang kerap menjadi argumen kelompok ekstremis ketika melakukan aksi propaganda-memengaruhi-publik. Dengan pemahaman agama yang kritis diyakini bisa menjadi bekal atau benteng dari ajakan-ajakan para jihadis dan simpatisannya. Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan bagaimana Islam memandang jihad, aksi kekerasan terhadap sesama, praktik Sweeping, pembubaran paksa acara ibadah umat lain yang dianggap berbeda, serta tradisi-tradisi masyarakat karena dianggap sesat.

Pembedaan aksi IRET dan pemahaman agama yang ramah di atas, bertujuan agar komunitas memiliki keterampilan mengidentifikasi gejala IRET dan mampu memberikan penilaian ketika ada organisasi atau lembaga serta kegiatan keagamaan yang mengancam desa.

Kedua, menumbuhkan kesadaran komunitas. Setelah memiliki kemampuan melakukan identifikasi IRET, mereka memiliki kepekaan serta kepedulian jika terdapat kegiatan atau hal-hal yang dirasa mengarah pada aksi IRET. Misalnya dalam program ini ada informasi dari penerima manfaat bahwa sekitar tahun 1980an, di Kulon Progo pernah ada seorang laki-laki yang di anggap aneh, karena menolak mengibarkan dan hormat pada bendera merah putih.

Ketiga, menjadi agen perdamaian. Dalam program ini Mitra Wacana membagikan buku saku kepada perempuan komunitas. Buku saku disusun dengan tujuan menjadi bacaan bagi perempuan. Buku ini berisikan beberapa penjelasan perbedaan IRET yang dilengkapi tools berupa pertanyaan-pertanyaan kunci yang memandu komunitas mengenali radikalisme di desa. Perempuan komunitas juga bisa mengisi lampiran-lampiran dalam tools yang akan menjadi bahan monitoring terhadap aksi IRET di desa.

Penutup

Dalam aksi IRET, perempuan memiliki posisi beragam sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapinya masing-masing. Namun dengan pendekatan pemberdayaan yang dilakukan Mitra Wacana, perempuan bisa memiliki kesadaran dan mengambil keputusan agar mampu melindungi dirinya terlibat dari aksi IRET. Jika sebelumnya perempuan menjadi korban, namun seiring perkembangannya perempuan melibatkan dirinya secara sadar atau sebagai pelaku.

Dalam konteks ini ketika perempuan mengalami tekanan psikis dan beban ekonomi akibat tindakan suaminya, istri menjadi korban. Praktik deteksi dini melalui buku saku yang diterbitkan Mitra Wacana untuk mendukung implementasi program  pencegahan  IRET di desa-desa membantu para perempuan komunitas melakukan deteksi dini dan kemudian melaporkan hasil pengamatannya kepada pemerintah desa. Langkah- langkah bersama bersifat konsolidatif ini yang kemudian membuat perempuan menjadi bagian dari early warning system (sitem deteksi dini) di desanya masing-masing.

 

Sumber referensi :

  • https://iqra.id/transformasi-peran-perempuan-dalam-kasus- terorisme-234314/
  • https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/perempuan-dan-terorisme-ketidakberdayaan-relasi-kuasa-dan- stigma
  • https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/perempuan-dan-terorisme-ketidakberdayaan-relasi-kuasa-dan- stigma
  • https://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/20/ika-puspitasari-calon-pengantin-kedua-dari-purworejo
  • R  V  =  2  /  R  E  =  1  6  5  8  2  3  7  2  5  3  /  R  O  =  1  0  /RU=https%3a%2f%2fnasional.tempo.co%2fread%2f403134%2 fdiskusi-irshadmanji -mmi-dilaporkan-ke-polda/RK=2/ RS=zKrlApAtUCuBq11aZxILlO0yO6k-
  • Catatan ANBT (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika). https://kumparan.com/tugujogja/kasus-intoleransi-di-yogyakarta- meningkat-10-kampus-ini-akan-jadi-bahan-riset/1
  • https://www.suara.com/wawancara/2017/10/30/070000/ irfan-idris-perempuan-di-lingkaran-terorisme
  • https://theconversation.com/bagaimana-perempuan-anak-muda-terlibat-dalam-aksi-terorisme-158378

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Dongeng Sepiring Nasi Dalam Tatanan Negara Demokrasi

Published

on

Oleh : Denmas Amirul Haq (Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Islam Malang)

“Sebelum Pesta Demokrasi Mereka Selalu berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada Satupun sungai Disana”. Nikita Krushchev : 1970

Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum yang dilakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, tidak hanya mekanisme penyelenggaraan semata. Oleh karenanya, Pemlilihan umum menjadi suatu rutinitas bagi kebanyakan negara demokrasi, meskipun kadang-kadang praktek politik di negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan Pemilu tetap dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif; sebagai prasyarat prosedural demokrasi.

Tak jarangpula kita sering menemukan Pemilu hanya dijadikan sebagai ajang kompetisi untuk meraih jabatan-jabatan publik, apakah menjadi anggota legisltaif ?, eksekutif ?, atau paling penting menjadi kepala daerah ?, menteri ?, bahkan tak jarang presiden ?. (Puspitasari, 2004)

Ihwal, di Indonesia mulanya pemilihan umum masih banyak dimaknai sebagai realisasi kedaulatan rakyat dan juga dimaknai sebagai sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. Meskipun secara realnya mereka hanya ibarat membangun jembatan yang kadang tak satupun didapati sungai. Buawaian tersebut makin memperkuat bahwa negara demokrasi hanyalah bungkus dari kepentingan yang tersusun rapi untuk mendapatkan suara dan lagitimate rakyat.

Dewasa kini, Hubungan demokrasi dan Pemilu dapat dirangkaikan dalam sebuah kalimat;

“Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu”.

Pemilu menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan demokrasi. Pemilu menjadi sebuah jalan bagi terwujudnya demokrasi. Tetapi mewujudkan pemilu yang demokratis bukanlah pekerjaan mudah sebab hari ini kita ketahui bersama praktek pemilu hanya digunakan sebagai sebuah perhelatan prosedural untuk menggantikan kekuasaan atau untuk membentuk lembaga-Iembaga politik.

Secara prosedural praktek pemilu selanjutnya dibedakan menjadi dua. Sebagai formalitas politik; dan kedua pemilu sebagai alat demokrasi. Meskipun kebanyakan kita jumpai pemilu hanya sebatas formalitas politik, alat legalitas pemerintahan dan yang lebih parah dijalankan dengan cara yang tidak demokratis dengan mahakarya rekayasa demi memenangkan pasangan dan partai politik tertentu.

Bagi bangsa Indonesia, relasi antara pemilu dan demokrasi terletak pada nilai keadilan bagi seluruh kehidupan bernegara yang tecermin dalam Pancasila. Falsafah ini lahir sebagai jawaban atas peristiwa masa lalu; eksploitasi kolonialisme.

Perwujudan itu sejatinya harus ditilik dari subtansi nilai Keadilan meskipun hal inilah yang paling kompleks. Hari ini melalui gelaran pesta demokrasi, kita banyak menyaksikan rakyat yang masih sangat setia melaksanakan amanat konstitusi. Bahkan hingga akar runput  mereka masih sangat teguh menjunjung tinggi moral.

Meskipun faktanya begitu cepat, politisi bersekongkol dengan birokrasi hingga tega menjual kekayaan negara. begitu cepat, aparatur negara gesit menghalalkan segala cara memburu tahta dengan menimbulkan bencana dan angkara murka. Selamat datang di negeri dongeng yang dipenuhi begitu banyak drama pencitraan dan janji. Demkokrasi dalam sepiring nasi adalah benar adanya yang hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki piring sementara bagi rakyat kesejahteraan hanya mimpi yang terus jadi harapan semu.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending